DEVON 9 - Tawaran diterima

1033 Kata
Devi keluar ruangan Devon dengan pikiran kalut. Dijatuhkan tubuhnya di atas kursi kerjanya, memijit pelipis nya pelan sambil memejamkan mata. Semua serba rumit. Mendapati kesedihan yang tergambar di mata Devon membuat hati Devi terasa tercubit. Bagaimana mungkin selama ini ia telah menutup mata dan telinga atas penderitaan wanita lain hanya karena dia yang dengan tega berada di antara Darco dengan istrinya. Devi tak bisa menyalahkan dirinya sendiri. Ini bukan murni kesalahan nya saja, melainkan juga karena Darco. Bagaimana awal pertemuan nya dengan Darco beberapa tahun silam hingga membuat Devi mau saja menjadi perempuan penghibur untuk lelaki tua itu. Di antara kegalauan nya, wajah mamanya yang tergambar jelas di ingatan Devi. Bagaimanapun juga Devi masih membutuhkan banyak uang untuk menunjang finansial. Tapi di sisi lain hatinya bergejolak dan memaksa agar bisa melepaskan Darco. 'Haruskah ia menerima tawaran Devon untuk menikah?' pertanyaan yang belum bisa dijawab oleh Devi. Devi berpikir, seandainya dia dan Devon menikah, akan jadi apa rumah tangganya kelak. Pernikahan yang hanya didasari akan uang. Dan lagi perilaku Devon yang menyimpang. Devi yakin jika dirinya hanya akan digunakan sebagai alibi Devon untuk menunjukkan ke semua orang jika lelaki itu tak pernah ada masalah meski sebenarnya Devon adalah salah seorang gay. Tak mau lagi memikirkan tentang Devon tapi dia tak bisa. Bayang-bayang uang yang akan Devon berikan bisa saja lebih besar dari yang Darco beri untuknya selama ini. Lantas jika ia meninggalkan Darco apakah lelaki tua itu tak akan marah padanya . Devi mengetukkan jari di atas meja dan sepertinya tak ada salahnya menerima permitaan Devon. Selain dia bisa mendapatkan jodoh setelah sekian lama cercaan menjadi perawan tua dan juga simpanan om om kaya begitu melekat dalam dirinya . Andai dia menikah dengan Devon, maka ibu-ibu yang merupakan tetangga di rumah kontrakan nya tak akan lagi bisa meremehkan nya . Huft ... baiklah . Dia akan terima tawaran Devon, Semua demi mama. Waktu yang Devon berikan untuknya berpikir dan memberi jawaban akan kembali ia pertimbangkan . Mungkin nanti malam Devi perlu bersemedi untuk menemukan jawaban yang pasti. **** Keesokan harinya , kembali Devi mengikuti Devon masuk ke dalam ruangan bosnya itu, sesaat setelah lelaki itu sampai di kantor. Membacakan agenda Devon hingga sehari kedepan sudah menjadi rutinitas Devi setiap pagi . " Apa hanya itu saja jadwalku hari ini ?" tanya Devon tak percaya, karena biasanya jadwal keseharian nya sangat padat. Sementara hari ini dia hanya ada tiga jadwal penting . Setelahnya dia free. Seharusnya Devon senang karena dia bisa memiiki banyak waktu luang nanti malam. Tapi karena Denzel sedang tidak ada, jadilah Devon merasa tidak suka. Dia akan kesepian tanpa adanya Denzel. Dan jika Devon memiliki jadwal yang padat merayap maka dia bisa sedikit mengabaikan Denzel karena seluruh perhatian tercurah pada pekerjaan. " Apa ada lagi yang Bapak perlukan dari saya ?" tanya Devi kala dilihatnya Devon yang hanya berdiam diri dengan tangan berada di dagu lelaki itu, seolah bosnya itu sedang berpikir sesuatu. Devon mengibaskan tangan nya sebagai isyarat agar Devi meninggalkan ruang kerjanya . Devi mengangguk lalu membalikkan badan nya berjalan keluar menuju pintu. "Devi ...!" panggilan Devon kala Devi sudah membuka pintu ruangan dan berniat keluar. "Iya, Pak ." "Apa kau sudah menyiapkan jawaban untuk ku. " Devi terdiam. Lelaki itu menanyakan hal itu lagi . Devi berdiri mematung di sebelah pintu yang terbuka menatap Devon lurus, lalu kepalanya mengangguk. "Apa jawabanmu ? " Harap - harap cemas Devon menanti jawaban yang terlontar dari mulut Devi. " Ya, saya terima penawaran Bapak. " Devon seolah tak percaya dengan jawaban Devi. Sampai - sampai lelaki itu menegakkan punggungnya . Memastikan dia tak salah dengar. " Kau serius Dev?" "Kenapa ? Apa bapak main - main kala memberikan tawaran itu kepada saya ." "Tidak , aku tak pernah bilang jika aku main - main, Aku serius dengan semua yang kuucapkan padamu." Devi hanya mengangguk. Mencoba mencerna kembali semua jawaban yang baru saja ia beri untuk Devon. Devon menatap Devi dengan seringaian. Dia tak menyangka jika Devi menerima semua penawaran nya. Devon pikir Devi akan menolak dan tetap memilih bersama Darco. Tapi nyatanya, Devi memilihny. Entah apa alasan Devi mau menerima tawaran menikah darinya. Semoga saja tak ada rencana terselubung yang  ada di pikiran Devi. Devon merasa menang dan sebentar lagi dia akan melihat kekalahan Darco. Wanita yang dipuja Darco lebih memilih bersamanya. Jelas saja Devi lebih memilih dirinya. Dari segi usia, Devon jauh lebih muda dari Darco. Dan dari segi ketampanan, meski tak beda jauh tapi kualitas ketampanan Devon tak bisa dikalahkan oleh Darco. Satu lagi, uang. Memang uang Darco lebih banyak dari Devon. Tapi Devon yakin semua aset Darco suatu saat pasti akan jatuh ke tangan nya. Karena dalam keluarga Jurg, hanya dia yang menjadi ahli waris tunggal. "Pak Devon...." "Ada apa?" "Jika Bapak benar akan menikahi saya, lantas bagaimana dengan teman lelaki Bapak." "Siapa? Denzel?" Devi mengangguk. Sial, kenapa Devon tak berpikir sejauh itu. Haruskah ia mengatakan tentang rencana gilanya ini pada sang kekasih. Apakah Denzel tak akan marah nantinya. Ah, masa bodoh dengan Denzel. Itu urusan belakangan. Yang harus Devon selesaikan saat ini adalah Darco. "Denzel akan menjadi urusanku. Dan kau tak perlu ikut campur dalam masalah pribadiku." "Baiklah jika seperti itu, Pak. Jika tidak ada hal lagi yang ingin Bapak sampaikan, saya permisi dulu." Devi pun masa bodoh dengan kekasih Devon yang bernama Denzel. Jika sampai Denzel tahu dan marah. Itu adalah urusan Devon. Devi hanya akan mengikuti permainan Devon. Itu saja. Karena Devon hanya diam, Devi pun beranjak dari duduk nya. " Dev...! " " Iya. Pak." "Nanti malam kau ikut aku." "Ikut Bapak? Ikut kemana Pak?" tanya Devi penasaran. "Bertemu mamaku." "Apa, pak? Bertemu mama anda? Untuk apa Pak Devon mengajak saya bertemu mama Bapak?" rasa terkejut Devi luar biasa. Bagaimana mungkin Devon ingin membawanya bertemu dengan mamanya. "Aku hanya ingin mengenalkan calon istriku pada mama. Itu saja." jawab Devon enteng. Devi menelan ludah susah payah. Dia ingin menolak tapi tak mampu ia lakukan. "Kita hanya makan malam biasa. Sekaligus membicarakan mengenai rencana pernikahan kita" Lagi-lagi Devon berkata tanpa beban. Tak tahu jika Devi sudah kepikiran luar biasa. Haruskah secepat ini Devon akan mengajaknya menikah. "Aku tak ingin menunda rencana ini terlalu lama. Karena aku tak ingin kau berubah pikiran. Jadi... Dalam waktu dekat kita akan segera menikah. Dan kuharap kau benar-benar yakin akan keputusanmu. Jangan sampai kau mengecewakanku. Paham!" "Paham, Pak." "Bagus." Lagi, Devon menyeringai penuh kemenangan tanpa disadari oleh Devi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN