Sudah tiga hari Amanda menjalani profesi sebagai Sales Promotion Girl produk mobil dari satu perusahaan ternama.
Dia berdiri menyapa beberapa orang yang datang, menawarkan mobilnya sambil menjelaskan dengan rinci kelebihan mobil yang dipamerkannya dibandingkan mobil lain pada umumnya.
Tutur katanya sopan dan lembut, sangat berbeda dengan kebiasaannya sehari-hari.
Hari minggu ini lebih ramai dibanding hari biasanya, meskipun lelah dia tetap harus bersikap profesional dengan terus tersenyum dan bersikap ramah.
Di luar sangat terik sekali, wajar karena sekarang sudah pukul satu siang, beruntung ruangan ini full AC sehingga udaranya tetap sejuk.
“Hai,” sapa Dennis yang tiba-tiba sudah berada di hadapan Amanda. Amanda tersenyum dan memperhatikan pria itu dari atas ke bawah, Dennis memakai kaos putih dengan kemeja flanel yang tidak dikancingkan. Sebuah jam tangan yang harganya cukup mahal melingkar di tangannya, dengan celana jeans dan sepatu ketsnya. Nampak cool.
Dennis pun memperhatikan Amanda dari bawah ke atas, stilleto berwarna putih, dengan rok mini berwarna hitam yang menutupi hanya separuh pahanya. Kakinya terlihat jauh lebih jenjang. Bagian atas tubuh ditutupi kemeja putih ketat yang bergambar logo perusahaan mobil yang dipasari-nya. Lekuk tubuhnya terlihat jelas dengan pakaian itu.
Rambutnya digerai dengan make up yang cukup tebal tapi terlihat pas menghiasi wajahnya yang terlihat cantik. Bibirnya pun diberi pewarna pink, dengan bulu mata palsu yang membuat bulu matanya terlihat jauh lebih panjang. Siapa yang akan menyangka wanita ini berkelakuan sangat jorok di rumah jika melihat penampilannya saat ini.
“Ngapain Mas kesini?” sapa Amanda memperhatikan sekitarnya, dia sempat berfikir bahwa Dennis membawa Raya, tunangannya, tapi nyatanya pria itu hanya sendiri.
“Jalan-jalan aja iseng. Bagaimana mobilnya? Laku?”
“Lumayan, tapi penjualan urusan sales yang di sana sih.” Amanda menoleh ketika merasa bahunya ditepuk seseorang, wanita yang berpakaian sama dengannya. Melirik penuh tertarik pada pria dihadapan Amanda.
“Siapa nih?” wanita itu melirik ke Amanda dan Dennis bergantian, memberikan kode untuk dikenalkan.
“Oiya Del, ini kakak aku Dennis.” Rupanya Amanda benar-benar serius akan ucapannya untuk menganggap Dennis kakaknya, dia bahkan mengenalkan Dennis dengan status ‘kakak’.
“Hai, aku Dela.” Dela menjabat tangan Dennis, Dennis pun menyebutkan namanya sambil membalas jabatan tangan Dela
“Jangan ganjen deh, udah mau nikah dia.” Amanda menyenggol bahu Dela yang flirting ke Dennis, pasalnya dia melihat dengan jelas kalau Dennis merasa risih.
“Yah, dikira masih jomblo ... eiya Man, ini udah jam istirahat kamu, makan dulu sana.” Dela tersenyum ke arah Amanda, wanita itu melirik jam tangannya dan membalas senyuman Dela, teman yang sebenarnya baru dikenal tiga hari ini.
Amanda menyerahkan tumpukan kertas berisi gambar mobil dengan spesifikasinya ke Dela, lalu dia berpamitan untuk keluar.
“Temenin aku makan yuk mas,” ajak Amanda, Dennis mengangguk dan mengekori Amanda, tatapannya terus beralih ke ponsel, sibuk dengan ponselnya dan sesekali melirik ke Amanda yang berjalan di depannya.
Hingga wanita itu berhenti di depan penjual ketoprak dan menawarkan Dennis makan di sana. Dennis menurut saja, toh pikirannya memang sedang terbagi sekarang, antara ke ponsel yang berisi chat dengan Raya, calon istrinya dan ke Amanda yang sesekali mengajaknya berbicara.
Dennis baru benar-benar meraih kesadarannya ketika duduk di kursi panjang khas penjual ketoprak. Jam makan siang, banyak sekali orang yang makan di sana terutama laki-laki karena Amanda sendiri tadi sempat bilang bahwa penjual ketoprak ini menjual makanan yang murah namun porsinya besar.
Mata Dennis menyelidik ke seluruh pembeli yang seringkali mencuri pandangan ke arah Amanda, Dennis akui Amanda memang terlihat sangat cantik, namun ... dia pun menyadari bahwa yang mereka lirik bukan hanya ke wajah Amanda, mereka lebih sering mencuri pandang ke arah paha manda yang terlihat terbuka karena rok mininya yang terangkat akibat duduk.
Dennis pun mengusap mukanya dan membuka flanel yang dipakainya, segera dia letakkan di pangkuan Amanda. Amanda menatap Dennis yang memelototinya sambil melirik ke pahanya yang terbuka. Amanda pun sadar dan menutupi pahanya dengan flanel Dennis. Setelah itu para lelaki yang mengiler tadi mulai sibuk dengan kegiatan masing-masing.
“Selama jadi SPG mobil itu, ada yang gangguin lo gak sih? Ya gue denger kan banyak yang nakal tuh.”
“Enggaklah Mas, ada sih yang iseng nanya nomor handphone, akun IG dan sebagainya tapi enggak kita ladenin juga. Lagian mereka nakal kan klo ada kesempatan. Tapi klo dari kita, objeknya enggak ngasih mereka kesempatan ya mereka juga ngerti lah mundur teratur.” Amanda menyerahkan ketoprak sepiring penuh ke arah Dennis, sementara dia mengambil sepiring lagi untuknya lalu mulai menyuap makanan ke mulutnya.
Dennis mencecap ketoprak itu, rasanya enak dan benar kata Amanda porsinya memang sangat besar, dia memperhatikan Amanda yang makan dengan cuek, sesaat dia sempat membandingkan porsi makannya dengan Raya, yang paling hanya mampu menampung seperempat dari porsi ini.
Terlebih Raya memang jarang sekali mau makan di pinggiran jalan seperti ini. Yah kelas mereka berbeda. Raya yang sibuk dengan dunia modelling sementara Amanda sibuk dengan dunia acakadut ciptaannya.
“Bagaimana tiga hari enggak ada aku di rumah? Kangen ya? Sampai nyamperin kesini,” goda Amanda, Dennis lagi-lagi memberinya toyoran di kepala, kali ini dengan lebih pelan.
“Ngaco! Nanti liat pas pulang, rumah kamu sudah rapih banget, bersih kayak masih baru. Karena enggak ada makhluk absurd yang bisanya cuma berantakin rumah aja!” ketus Dennis, tak memperhatikan Amanda yang mencibir.
“Dikira kangen,” desah Amanda putus asa. Padahal sebenarnya dia yang kangen sama Dennis, kangen ngerjain pria itu lagi. Entahlah, setiap hari melihat Dennis di rumah, rasanya sangat berbeda jika jauh darinya. Tapi Amanda yakin perasaan itu bukan cinta. Dia pernah jatuh cinta sebelumnya dan rasanya berbeda. Dia hanya merasa nyaman berbagi dengan Dennis yang bisa dianggap keluarga baru baginya.
Setelah membayar ketoprak, Dennis berjalan disamping Amanda yang sebelumnya kembali menyerahkan flanel Dennis, pria itu memandang ke beberapa pengguna jalan yang matanya mengarah ke tubuh Amanda, seperti serigala yang kelaparan. Bahkan ada beberapa yang menyiulinya. Akhirnya Dennis mendahului Amanda dan menghentikan langkah Amanda, dia melingkarkan flanel itu ke pinggangnya lalu menarik bagian lengan baju dan diikat di depan perut Amanda, cukup menghalangi pria-pria yang nampak kehausan melihat tubuh Amanda.
“Ngapain sih Mas?” Amanda hampir saja membuka ikatan baju itu ketika Dennis memegang kedua tangannya dan menatapnya lekat.
“Kamu lihat semua cowok itu ngeliatin kamu kayak bagaimana? Kalau di dalam ruangan sih masih bisa ditoleransi.”
“Ya trus kenapa Mas peduli? Cuekin aja sih, mereka punya mata.”
“Dan kamu punya tubuh yang enggak seharusnya kamu pamerin kayak begini! Nurut deh!” teriak Dennis, Amanda mengentakkan kakinya kasar dan berjalan lebih dahulu meninggalkan Dennis yang masih melongo. Bingung dengan dirinya sendiri. Kenapa dia merasa menjadi over protektif pada Amanda?
Padahal dia biasa melihat orang-orang memandangi Raya yang sering mengenakan rok pendek atau gaun mini dan dia seolah biasa saja. Apalagi Raya yang memang sering berjalan di catwalk karena dunia modellingnya. Malah Dennis bangga, tapi sekarang? Dia justru merasa tidak suka melihat pria-pria jelalatan itu memandang penuh hasrat pada Amanda.
Apa mungkin karena perkataan Amanda yang menganggapnya kakak, membuat Dennis merasa perlu melindungi gadis itu?
Tapi bukankah seharusnya lebih perlu melindungi calon istri? Dennis menggeleng frustasi, dikejarnya Amanda yang kini sudah berdiri di depan penjual harumanis.
“Masih ngambek?” tanya Dennis, Amanda mendengus dan meminta dibelikan kapas manis tersebut. Dennis lagi-lagi mengeluarkan uang untuk membelikannya makanan.
Sepertinya Amanda memang tipikal gadis yang tidak mendendam, kini dia sudah bisa berceloteh lagi berbicara banyak hal sambil tangannya terus menyuapi kapas manis itu.
Setelah sampai depan gedung pameran, dia melepaskan flanel yang mengikat tubuhnya.
“Thanks,” ucapnya, Dennis tersenyum menerima uluran flanel itu.
“Pulang hari apa?”
“Senin depan.”
“Jam?”
“Hmm malem kayaknya mungkin sekitar jam dua belasan, kenapa?” Dennis menggeleng dan pamit pada Amanda.
Sementara Amanda bergegas menuju toilet karena harus merapikan make upnya.
***
Dennis menutup pintu rumah dan menguncinya, baru kemudian menyalakan saklar lampu. Rumah memang terlihat rapih dan bersih namun... sepi.
Ya tidak ada Amanda yang biasanya duduk sambil nonton televisi dan nyengir ke arahnya ketika Dennis melangkahkan kaki ke dalam, sambil bilang, “baru pulang mas?” jam berapapun Amanda selalu ada di sana, terkadang Dennis merasa wanita itu menunggunya pulang kerumah.
Karena tidak lama setelah Dennis masuk kamar dia selalu mendengar pintu kamar Amanda yang ditutup.
Dan setiap pagi dia akan melihat Amanda dengan rambut acak-acakan bahkan seringkali melihat bekas liur menempel di sudut bibirnya. Hal yang pertama Amanda lakukan ketika bangun tidur adalah minum. Sambil garuk-garuk b****g atau kepalanya. Lalu menyapa Dennis dan masuk kembali ke kamar untuk tidur. Terkadang dia merebahkan diri di sofa ruang televisi dan melanjutkan tidurnya kembali.
Dennis membuka pintu kamar Amanda yang tidak terkunci, didapatinya sebuah kamar yang persis seperti sarang. Berantakan sekali dengan kondisi selimut dan seprai yang acak-acakan. Juga bantal yang berjatuhan di karpet.
Dennis menghela napas kasar, lalu menutup pintu kamar itu. Berusaha mengenyahkan bayangan tempat berantakan yang baru saja dia lihat.
Tapi rasanya sukar sekali, karena sedari kecil Dennis terbiasa hidup rapih. Apalagi ibunya yang tak pernah bisa melihat barang berserakan, membuatnya menjadi pribadi yang disiplin dan cinta kebersihan.
Dennis menggeleng kasar lalu masuk ke kamarnya, mengunci pintu kamar itu sambil menekan keinginan kuatnya untuk merapikan kamar Amanda.
Tapi seberapa keras pun usahanya, dia tak akan berhasil. Karena bayangan kamar berantakan itu seolah menghantuinya, mengikuti kemana pun dia melangkah. Akhirnya Dennis membanting pintu kamarnya dengan kencang lalu bergegas menuju kamar Amanda. Mulai menarik selimut, seprai dan sarung bantal, mengumpulkannya di satu pojokan. Urusan Amanda marah itu belakangan, meskipun sebenarnya satu tempat terlarang yang dimasuki Dennis tanpa seizinnya adalah kamar Amanda.
Tapi dia tak peduli, dari pada dia gelisah tak jelas. Lebih baik dia membereskan kamar itu sekarang juga.
Dennis membuka lemari Amanda, niatnya untuk mencari sarung bantal dan seprai yang masih bersih. Namun ketika pintu lemari itu terbuka, tubuh Dennis justru tertimpa baju-baju Amanda yang berjubelan dari dalam. Pasti wanita itu meletakkannya secara sembarangan!
Lagi ... Dennis menarik napas panjang dan menurunkan semua pakaian Amanda dari dalam lemari, sudah terlanjur jatuh, dia akan membereskannya sekalian.
Setelah urusan baju di lemari beres, Dennis mulai mengganti sarung bantal Amanda, lengkap dengan seprai dan selimut bersihnya. Dan melihat dari onggokan kain kotor tersebut Dennis akan mengeluarkan sedikit kocek untuk ke laundry karena dia tak mungkin bisa mencuci benda itu.
Dennis mulai menyapu kamar Amanda, banyak sekali sampah berserakan yang kebanyakan adalah sampah snack dan permen. Dia menyapunya dari kolong-kolong meja.
Dilihatnya meja rias Amanda yang berdebu, dia pun mengambil lap basah untuk membersihkannya. Dan sebuah bingkai foto tak sengaja terjatuh karena terkena tangannya, beruntung tidak pecah. Dennis membalik bingkai foto tersebut, nampak keluarga kecil yang bahagia. Amanda mengenakan baju kebaya tengah merangkul kedua orangtuanya. Ayahnya yang memakai setelan jas, dan ibunya yang juga memakai baju kebaya. Terlihat sekali bahwa keluarga itu merupakan keluarga yang harmonis, pantas saja Amanda merasa sangat kehilangan.
Dennis mengatur letak foto itu dan mulai membersihkan sudut ruangan yang lain. Setelah semuanya rapih, dia pun bisa tenang beristirahat di kamarnya.
***