BAB 8
Pagi ini, Jingga sangat tidak bersemangat ke sekolah. Tetapi dia tidak memiliki alasan yang tepat untuknya meliburkan diri. Dan hari ini juga ada pekerjaan rumahn yang harus dia kumpulkan sebagai penambah nilai ulangan harian.
Dengan berat hati dia menuruni satu persatu anak tangga rumahnya menuju meja makan.
"Pagi, Bi," sapa Jingga pada Bi Imah.
"Pagi juga, Neng," sapa balik Bi Imah ramah sambil menyiapkan sarapan untuk mereka.
"Bang Aga belum bangun, Bi?" tanya Jingga yang sedari tadi celingak-celinguk mencari Aga namun tidak juga menemukan keberadaannya.
"Den Aga-nya sudah berangkat sekolah sedari tadi pagi, Neng," jawab Bi Imah seraya menyajikan makanan keatas meja.
"Lahh .... Kok gitu? Aku ke sekolah bareng siapa dong, Bi?" Bi Imah menggeleng tanda tidak tahu. Jingga mengusap kasar wajahnya.
"Masa berangkat sendiri," gumamnya malas.
Jingga mengeluarkan ponselnya dari saku roknya dan jari lentiknya mencari nomer Aga untuk dihubunginya.
"Haloo ...."
"Ada apa, Jee?"
"Kok pergi ke sekolah nggak bilang-bilang! Terus aku disuruh bawa mobil sendiri, gitu?" omel Jingga tidak terima.
"Yaudah kalau gitu, biar teman gue yang jemput lo sekarang. Udah ah, gue lagi sibuk ini, De."
"Ogah! Abang aja yang jemput aku!"
"Dijemput teman gue atau nggak sama sekali?"
"Ish! OK, fine!" kesalnya dan langsung memutus panggilannya secara sepihak.
Jingga menyudahi sarapannya dan segera menuju ruang keluarga untuk mengikat tali sepatunya.
Ting! nong!
Kepala Jingga terangkat dan ingin beranjak dari tempat duduknya.
"Biar Bibi saja yang buka pintunya, Neng," kata Bi Imah dan langsung berjalan ke pintu depan.
"Selamat pagi, Bi," sapanya.
"Pagi juga, Den," sapa balik Bi Imah dan mempersilahkannya masuk.
Laki-laki itu berjalan ke arah ruang keluarga. Di sana sudah ada Jingga yang tengah mengikat tali sepatunya. "Ayookk kita berangkat," ucapnya semangat empat-lima.
Jingga langsung mengangkat kepalanya setelah mendengar suara siapa itu. Jingga terbelalak. "E-eh ... kak Rendy? Ngapain ke sini?" tanya Jingga bingung dengan kedatangan Rendy secara tiba-tiba itu.
"Mau apa lagi selain gejemput lo." Rendy menampilkan cengiran khas dirinya.
"Bohong! Kata bang Aga tadi, teman dia yang bakal jemput aku."
"Gue ini temannya Aga, Jee," jawabnya sambil menaik turun kan alisnya dan tangan yang sedang bertengker di pinggang.
Jingga memicingkan menatap ke arah Rendy namun seketika rautnya wajahnya mendatar setelah mendapat kedipan manja dari Rendy.
"Ayo! Kita berangkat, entar telat." Rendy menarik pergelangan tangan Jingga.
Motor Rendy meninggalkan pekarangan rumah Jingga. Rendy pun melajukan motornya di atas rata-rata.
"Lo sariawan?" tanya Rendy.
"E-eh ... engga, Kak," jawab Jingga kaku.
"Tapi kok nggak ngomong? Berasa jadi tukang ojek gue." Rendy terkekeh.
"Ini udah ngomong."
Motor Rendy pun tidak terasa akhirnya memasuki area sekolah dan memarkirkan motornya di tempat biasa dia parkir.
Rendy dan Jingga berjalan bersama melewati koridor. Jingga hanya menundukkan kepalanya karena semua orang tengah melihat ke arahnya.
"Yaudah, Kak, aku masuk dulu. Makasih," ucapnya sambil tersenyum tipis ke arah Rendy.
"Iya, sama-sama. Entar pulang sekolah gue jemput depan kelas."
"E-eh ... nggak usah, Kak, aku bareng Bang Aga aja," tolak Jingga sopan.
"Nggak menerima penolakan gue," ucap Rendy seraya mencubit hidung Jingga gemes dan setelah itu pergi meninggalkan Jingga.
Jingga segera menangkup pipinya yang sudah memerah. Lalu, Jingga mengelus hidung mancungnya yang dicubit Rendy tadi.
Sudut bibir Jingga terangkat dan mengukir sebuah senyuman yang sangat manis.
****
Pelajaran pertama jam ini adalah matematika. Pelajaran yang sangat membosankan bagi Jingga. Sebab setiap kali bu Eti menjelaskan dia selalu saja menguap--mengantuk.
Tangan Jingga menopang dagunya. "Kapan jam pelajaran ini abis ya, Ta? Gue udah bosen," ucap Jingga pada Tata yang berada di sebelahnya.
"Ke toilet aja gih!" Tata terkekeh. Bukannya menolak, Jingga malah mengangguk semangat. Ide yang bagus.
Jingga mengangkat tangannya. "Bu, izin ke toilet, " ucap Jingga dan diangguki oleh Bu Eti.
Belum sempat Tata melangkah mengikuti Jingga, Bu Eti langsung menahannya. "Kamu ... mau ke mana?" tanya Bu Eti kepada Tata. Jingga pun menoleh ke belakang.
"Nemenin Jingga, Bu," jawab Tata kaku.
"Nggak usah! Biar dia sendirian aja. Kayak anak kecil ditemani segala!" sinis wanita itu. Jingga terbelalak. Sebelum Bu Eti mengomelinya lagi, Jingga pun langsung melangkahkan kakinya ke luar kelas.
Jingga berjalan sambil mengayun-ngayunkan tangannya. Rasanya ingin sekali dia melarikan diri ke kantin, tapi dia lagi malas kalau harus membersihkan toilet lagi. Jingga terus berjalan sambil memonyongkan bibirnya. Sebenarnya dia tidak ingin ke toilet, ini cuman sedekar alasan agar bisa terbebas dari jam pelajaran Bu Eti.
"Jingga!!!" teriak seseorang. Jingga yang merasa namanya dipanggil pun menoleh ke belakang namun tidak ada satu orang pun di sana. Jingga kembali menoleh ke arah depan, samping kiri dan kanan--tidak ada seseorang yang kelihatannya sedang memanggil namanya.
"Jee ...," panggil orang itu lagi.
Jingga membulatkan matanya setelah tahu siapa yang tengah memanggil namanya. Orang itu Rendy. Jingga menatap heran ke arah Rendy yang selalu saja berada di lapangan, setiap hari. Perlu digaris bawahi, SETIAP HARI. Entah itu untuk berlari atau hormat di bawah tiang bendera.
"Sini!" Rendy melambaikan tangannya seolah menyuruh Jingga untuk menghampirinya. Jingga hanya mengangguk dan langsung melangkah mendekati Rendy.
"Kenapa, Kak?" tanya Jingga bingung.
"Beliin gue minuman dong, gue haus. Liat nih keringet gue, udah banyak banget," jelasnya yang masih setia dengan gaya hormatnya.
"Nggak boleh. Entar ditambahin lagi hukumannya, Kak," tolak Jingga.
"Nggak pa-pa, lo bilang aja itu minuman buat lo," ucap Rendy lagi.
Setelah sekian lama Rendy membujuk akhirnya Jingga pun mengiyakannya. Setelah beberapa menit menuju kantin, Jingga kembali ke lapangan dengan membawa sebotol air mineral.
"Nih, Kak," kata Jingga menyondorkan minuman itu ke hadapan Rendy.
"Bukain dong, Jee. Tangan gue kan lagi hormat ini."
Jingga mendesis kesal.
"Cepat, Jee, nggak usah bengong. Gue bisa mati kehausan." Mendengar itu dengan cepat Jingga membukakan tutup botolnya. Ancaman Rendy tidak tanggung-tanggung. Menyebalkan!
"Nih, Kak," ucapnya lagi dengan menyondorkan botolnya yang sudah terbuka tutupnya.
"Minumin dong, Jee, kan tangan gue lagi gak bisa."
Ingin sekali rasanya Jingga mencakar wajah Rendy. Dengan berat hati akhirnya Jingga menuruti saja perintah laki-laki itu.
"Rendy!" Rendy langsung tersedak mendengar teriakan yang menyebut namanya itu. Rendy langsung menarik Jingga untuk bersembunyi di belakang tubuhnya.
Jingga hanya menggenggam tangannya dan tak bergerak sedikitpun di belakang Rendy. Jingga tidak tahu harus melakukan apa kalau sudah dalam situasi seperti ini.
"Siapa yang izinin kamu minum?!" tanya Bu Anna dengan meninggikan suaranya. Ya, Bu Anna lah yang tengah memergoki Rendy dan Jingga.
"Nggak ada, Bu. Cuman saya haus, Bu. Ibu mau liat saya mati kehausan?"
Bu Anna menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dan kamu Jingga! Ngapain kamu di situ?" Kini Bu Anna bertanya pada Jingga dengan tatapan horornya.
Jingga kaget, lantas menegakkan badan. "It-anu ... Bu, say--" belum sempat Jingga menjawab Rendy terlebih dulu memotongnya.
"Saya yang minta dia nyamperin saya, Bu."
"DIAM KAMU!"
"Sekarang masuk!" perintah Bu Anna dan diangguki oleh Jingga.
"Saya tambah hukuman kamu, Rendy!"
Rendy hanya mengangguk. "Alhamulillah deh, Bu, lumayan lah dari pada ikut belajar di kelas," jawabnya enteng dan mendapat jeweran dari Bu Anna.
****
Setelah bel pulang berbunyi, dengan cepat Jingga membereskan buku-bukunya. Alasannya tak lain karena dia ingin menghindari Rendy. Sebelum keluar kelas, Jingga lebih dulu memastikan kalau Rendy tidak ada di depan kelasnya. Ketika menurutnya aman, Jingga segera melangkahkan kaki. Gadis ith melangkah dengan sangat cepat, supaya tidak bertemu Rendy.
Baru saja menghela napasnya karena berhasil melewati koridor, Jingga kembali terlonjak kaget saat melihat orang itu, sedang berdiri tepat di depan pagar sekolahnya. Baru saja Jingga ingin memutar balik haluan, ternyata laki-laki itu sudah terlanjur melihatnya.
"Ayoo! Kita pulang," ujar Rendy yang sedari tadi sudah menunggu Jingga.
Jingga hanya diam. Tubuhnya menegang seketika. Lagi-lagi dia tidak bisa menghidari Rendy. Dan sialnya usahanya yang dia pikir akan berhasil, akhirnya tetap saja zonk.
"Aku pulang bareng Bang Aga aja deh, Kak."
Seperti yang Rendy katakan sebelumnya, kalau dia tidak menerima penolakan. Rendy langsung menarik tangan Jingga dan menyuruhnya untuk naik ke motor besarnya. Jingga pasrah dan segera naik ke motor Rendy sebelum Rendy melakukan hal yang tidak terduga lainnya.
Setelah Jingga naik, Rendy melajukan motor itu dengan kecepatan tinggi. Jingga memegang erat bahu Rendy.
"Kak, pelanin sedikit dong kecepatannya, aku takut."
"Makanya pegangan!"
"Ini udah pegangan, Kak. Pelanin dikit, aku takut jatuh." Rendy mengangguk dan menurunkan kecepatan motornya.
Motor Rendy akhirnya memasuki pekarangan rumah Jingga. Dengan cepat Jingga langsung turun.
"Makasih, Kak."
"Jangan makasih sekarang. Cepat gih ganti baju!" Rendy turun dari motornya.
"Hah? Emang mau ke mana?" tanya Jingga bingung.
"Jalan-jalan. Udah sana gue nggak nerima penolakan!" Jingga mengangkat kedua bahunya dan segera meninggalkan Rendy.
Lagi-lagi Jingga harus pasrah dengan keadaan. Ini takdir atau sebuah jebakan? Jingga benar-benar bingung kenapa dirinya semakin hari semakin dekat dengan Rendy. Dan bodohnya, Jingga tidak bisa menolak ajakan laki-laki itu.
Jingga menuruni satu persatu anak tangga. Dia sudah siap dengan pakaiannya. Sederhana tetapi tetap cantik.
Rendy menatap Jingga tanpa berkedit sedikit pun. Menurutnya Jingga tampak berbeda hari ini. Apa gadis itu sengaja berdandan?
"Lo dandan ya, Jee?" tanya Rendy dengan jari telunjuknya yang sedang mengetuk-ngetuk dagunya seolah sedang berpikir.
Jingga terbelalak. "Ah. Ayo, Kak, kita jalan sekarang." Jingga berjalan mendahului Rendy.
Bodoh! Nyesel gue pake lipstik tadi! Ya, Jingga hari ini memang sedikit berbeda dari biasanya, Jingga memakaikan lipstik di bibir mungilnya.
"Mau ke mana, Kak?"
"Ke rumah gue dulu. Gue mau ganti baju." Jingga hanya mengangguk.
Jingga terpaku melihat rumah Rendy yang banyak sekali tanamannya. Bunga-bunga yang mekar dan segar terlihat sangat cantik. Ditambah dengan rerumputan yang tak kalah segar dengan warna hijaunya.
"Ayo, masuk." Rendy menggenggam tangan Jingga.
"Assalamu'alaikum," ucap Rendy.
"Wa'alaikumsalam," ucap wanita yang sedang berjalan ke arah mereka. Cantik, walaupun badannya terlihat agak berisi karena sedang hamil besar.
"Ma, kenalin ini temen Rendy."
"Jingga, Tante," ucap Jingga sopan dan mencium tangan Ratna.
"Wahh, cantik sekali ya kamu," ucap Ratna sambil mengelus puncak kepala Jingga.
Jingga hanya tersenyum manis ke arah Ratna. "Makasih, Tante,"
"Tunggu di sini. Gue ke kamar dulu." Jingga mengangguk.
"Kamu mau minum apa, Nak?" tanya Ratna pada Jingga.
"Nggak usah repot-repot, Tan," tolak Jingga sopan.
"Nggak repot, Sayang. Mau minum apa?"
"Apa aja deh, Tan." Ratna tersenyum mengiyakan dan berjalan menuju dapur.
Rendy sudah siap dengan pakaiannya dan duduk di samping Jingga.
"Ayo, berangkat."
"Bentar dulu. Mama Kakak masih bikinin minum." Rendy hanya membulatkan mulutnya membentuk huruf 'O'.
"Abanggggg ...," teriak Rizky dan Rifky si kembar lucu yang kira-kita berumur empat tahun.
Keduanya berlari hanya untuk berebut siapa yang akan di peluk Rendy duluan. "Kan kemaren udah Abang bilang, jangan apa?
"Lari-lari. Nanti jatuh terus kakinya berdarah," jawab keduanya bersamaan.
"Mau berdarah?" Keduanya menggeleng.
Jingga kagum dengan sikap Rendy. Di balik tingkah laku Rendy yang terkenal nakal dan berandalan, ternyata Rendy adalah sosok yang sangat penyayang. Terlihat sekali bagaimana cara Rendy perhatian kepada keluarga kecilnya.
"Abang itu siapa?" tanya Rizky yang menunjuk Jingga.
"Temen Abang."
Rizky dan Rifky pun berjalan mendekati Jingga. "Hai, Kak. Kok Kakak cantik, sih?" Jingga terkekeh. Itu pertanyaan yang ke luar dari mulut anak kecil--menurutnya sangat menggemaskan. Jingga mencubit pipi Rizky dan menoel hidung Rifky.
"Kaka siapa namanya?" Kini giliran Rifky yang bertanya dan duduk di sebelah Jingga.
Rendy terbelalak melihat kelakuan kedua adiknya. Ini bocah nurun siapa? Kok ganjen banget!
"Nama Kakak, Jingga. Nama kamu siapa?" tanya Jingga yang menoel hidung Rizky, yang membuat anak itu terkikik.
"Dan kamu juga siapa namanya?" Kini Jingga menoel pipi gembul Rifky.
"Nama aku Izky," jawab Rizky semangat.
"Nama aku Ifky," jawab Rifky tak kalah semangat.
"Hidung Kak Jingga bagus," ucap Rifky yang menoel-noel hidung mancung Jingga. Jingga pun membalas mencubit gemas pipi gembul Rifky.
Rendy yang melihatnya menjadi gerah sendiri. Bisa-bisanya bocah kayak mereka menggoda Jingga. Dan lebih menyebalkan, Jingga tampak menyukai kedua bocah itu. Sedangkan saat bersama Rendy? Jingga selalu kaku. Kapan ke gue kayak gitu, Jee? Jadi pengen dicubit-cubit juga.
Semakin di diamkan, lagi-lagi Rizky dan Rifky berulah. Rendy yang melihat kelakuan si kembar spontan menepuk jidatnya.
"Ehh! Jangan dipegang-pegang. Gue aja belum pernah megang. Lu mah gitu," ucap Rendy kepada si kembar. Karena si kembar merasa terganggu dengan keberadaan akhirnya mereka menendang-nendang Rendy untuk menjauh.
"Kak Jingga jangan mau temanan sama Bang Endy. Dia ngebelin," adu Rizky pada Jingga dan Jingga pun membisikkan sesuatu pada keduanya, membuat mereka tertawa bersamaan.
"Eh! Sembarangan. Lu berdua tuh yang nakal. Sana minggir, nggak?" usir Rendy.
Rizky dan Rifky pun mengerutkan bibirnya.
Baru saja Rendy duduk di samping Jingga. Namun, Jingga malah mengubah posisi duduknya mendekati Rizky dan Rifky. Dan membuat keduanya bertepuk tangan girang.
"Bleeee ...." Keduanya memeletkan lidah ke arah Rendy. Rendy hanya memutar bola matanya malas.
"Liat deh, Bang Endy marah," ucap Rifky sambil tertawa.
"Apa lo?" kesal Rendy.
"Aduh, aduh. Seru banget kayaknya." Ratna dateng dengan nampan yang berisi beberapa minuman dan minuman.
"Ma, aku mau pergi sama Jee sebentar, ya?" Ratna mengangguk.
"Ikuttt ...," ucap si kembar bersamaan.
"Nggak!"
"Ajak mereka aja, Kak. Lagi pula mereka asik." Rendy hanya menghela napasnya berat.
****