Jingga - 4

1228 Kata
BAB 4 MINGGU, sinar mentari memasuki setiap celah kamar Jingga, ditambah terdengarnya suara burung yang berkicauan dengan merdu. Hari ini, adalah hari yang paling dinantikan Jingga, karena dia akan menghabiskan waktunya seharian penuh di rumah. Jingga sangat menyukai hari libur seperti ini. Kesempatan yang cuman ada dua hari setelah lima hari full beraktifitas di sekolah. Jingga bergegas ke kamar mandi. Entahlah, Jingga selalu bangun lebih awal kalau sedang liburan sekolah, tapi kalau hari sekolah tiba? Jangankan mau bangun lebih awal, malah Jingga sering kesiangan. Setelah mandi, Jingga turun ke bawah dan di sana sudah ada Soraya yang sedang memasak untuk sarapan--dibantu oleh asisten rumah tangga keluarganya. Jingga memeluk pinggang Soraya dari belakang dengan erat, sedangkan Soraya yang mendapatkan pelukan tiba-tiba itu pun terkejut. Namun, senyum Soraya mengembang, dia tahu betul betapa manjanya putrinya tersebut. Soraya membalikkan badan, lalu mengecup puncak kepala Jingga. "Pagi, Sayang," sapa Soraya dengan hangat. "Pagi juga, Bun." "Pagi-pagi udah cantik, mau ke mana?" tanya Soraya mencolek pipi Jingga. Jingga menggeleng. "Nggak ke mana-mana, Bun. Emang salah kalau aku mandi pagi-pagi kayak gini?" Soraya hanya tersenyum manis menatap putrinya. Dia sangat menyayangi Jingga dan juga putranya, Lingga. Menurutnya mereka berdualah kebahagiaan yang tiada tandingannya. Begitu pula dengan Hendra, ia juga begitu menyayangi suaminya yang sudah menjadi suami, dan ayah yang hebat. "Bunda, Bang Aga belum bangun?" tanya Jingga bingung, Jingga sedari tadi celingak-celinguk mencari Aga. Namun, sang abang itu tidak juga menampakkan batang hidungnya. Biasanya Aga selalu menemani Soraya mengobrol di pagi hari seperti ini. Tapi, tidak dengan hari ini. "Udah, Sayang. Tapi, tadi dia ke sekolah, katanya ada eskul," jawab Soraya sambil menyajikan makanan ke atas meja makan. "Oh. Pantesan sepi, Bun," ucap Jingga sambil terkekeh. Setelah sarapan Jingga kembali ke kamar. Jingga meraih ponselnya di atas nakas dan membuka aplikasi hijaunya. Satu alis Jingga terangkat saat membaca chat dari seseorang yang sudah berada di kolom chat paling atas. Awalnya Jingga hanya mendiamkannya. Tapi, seseorang di seberang sana terus mengirimkan pesan selanjutnya. RendyAngkasaP: Jee.... RandyAngkasaP: Jee.... RandyAngkasaP: Jee.... RendyAngkasaP: Jee.... Jingga menghela napasnya berat. Dan dengan sedikit ragu dia mengetik sesuatu untuk balasan. JinggaPawanggalih: Iya, Kak. Kenapa? Rendy yang berada di seberang sana tersenyum saat ada balasan pesan masuk. Tanpa pikir panjang Rendy langsung membalas pesan itu. RendyAngkasaP: Gue lagi  di depan rumah lo. Bukain gerbangnya dong. JinggaPawanggalih: Nggak lucu becandanya_- Rendy kembali tersenyum saat melihat balasan Jingga. Entah kenapa semakin ke sini dirinya semakin tertarik kepada Jingga. Apa cewek itu memakai ilmu sihir? Entahlah, kok bisa secepat ini dia tertarik dengan gadis itu. RendyAngkasaP: Gue nggak boong, buruan turun. Gue kepanasan nih. Jingga terbelalak melihat pesan dari Rendy. Dia langsung bangkit dari tempat tidur, menuju balkon. Dan benar sekali, Rendy ada di depan pagar sana. Jingga refleks menepuk jidatnya--hingga mengaduk kesakitan. Sebelum Jingga turun entah kenapa dirinya berhenti terlebih dahulu di depan meja riasnya. Gadis itu tersenyum beberapa saat sambil merapikan tatanan rambutnya. **** "Masuk, Kak," ucap Jingga yang setelah membukakan gerbang rumahnya. "Makasih." Rendy melajukan mobilnya, dan memarkirkan dengan rapi. "Mang Ujang, kok nggak dibukain gerbangnya?" tanya Jingga pada mang Ujang--satpam keluarganya. "Itu Neng, Aden-nya bilang, biar Neng Jingga aja yang bukain," kata mang Ujang dan hanya dibalas anggukan oleh Jingga. Jingga menghampiri Rendy yang sudang memarkirkan mobilnya. "Ayo, Kak, masuk," ucapnya yang berjalan masuk dan diikuti oleh Rendy di belakangnya. "Silahkan duduk, Kak, biar Bi Imah yang buatin air minum dulu," kata Jingga mempersilakan Rendy dengan sopan. "Aku tinggal ganti baju dulu, ya, Kak," tambahnya dan diangguki oleh Rendy. Rendy sengaja mengajak Jingga ke luar untuk menghabiskan weekend bersama. Bi Imah datang menghampiri Rendy sambil membawa minuman dan beberapa cemilan. "Silahkan diminum, Den," kata Bi Imah dengan ramah. "Iya, Bi. Makasih." Bi Imah permisi untuk kembali ke dapur. Tak lama Jingga pun menuruni anak tangga. Ia memakai celana jeans, kaos putih dan sepatu yang senada dengan baju kaosnya. "Mau berangkat sekarang?" tanya Jingga. "Boleh, ayok!" Mobil Rendy melaju meninggalkan pekarangan rumah Jingga. Selama di perjalanan tidak ada yang membuka obrolan. Jingga lebih memilih menghadap ke kaca sebelah kirinya, melihat jalanan yang ada di luar. Sedangkan Rendy, pandangannya tidak fokus ke depan, sesekali melirik ke arah Jingga. "Mau kemana?" tanya sang empu mobil membuka obrolan. "Ke mana aja deh, Kak, aku ngikut." "Ke taman?" usul Rendy. "Boleh." "Kenapa sih lo kaku gitu sama gue. Santai aja, gue gak bakal nakal sama lo. Gue cuman nakal sama cowok bukan sama cewek." "E--eh, iya, Kak." Jingga tersenyum ke arah Rendy. "Hmm ... Kak Rendy tadi kok mau sih panas-panasan di luar? Kan bisa masuk ke dalam mobil." Rendy terkekeh tanpa dosa. "Sengaja, biar sekalian lo latihan buat jadi cewek idaman." Jingga memanyunkan bibir. "Besok-besok nggak bakal ku bukain lagi." "Nggak mungkin. Karena gue tahu lo pasti nggak bakal tega ngebiarin gue kepanasan, kayak tadi buktinya." Jingga hanya menghela napasnya, dia tidak habis pikir dengan kelakuan Rendy yang nam sekali itu--semaunya sendiri. **** Setelah sampai di taman Rendy mengajak Jingga berkeliling sekitar taman itu. Merasa cukup lelah, akhirnya mereka beristirahat di salah satu bangku yang berada di bawah pohon besar. Mata Jingga berbinar saat melihat ke arah penjual es krim. Dan tanpa sadar dirinya menarik tangan Rendy untuk mengikutinya. Rendy tersenyum. "Gue gak bakal ilang, kok," ucapnya sambil terkekeh, tentu saja sambil melirik ke arah tangan Jingga yang tengah menggandeng tangannya. Jingga terbelalak, dan langsung melepaskan gandengannya. "Ayo!" Jingga berjalan mendahului Rendy. "Bang es krim-nya yang ini dua, ya," ucap Jingga dengan semangat, dan segera membayarnya. "Nih buat, Kakak." Jingga memberikan satu es krimnya kepada Rendy. Rendy menerimanya dengan senang hati. "Makasih, ya." Jingga hanya membalas dengan senyuman, dan setelah itu segera menjilati es krim-nya. Jingga sangat menyukai es krim, bisa dilihat dari cara dia memakannya. Rendy hanya tersenyum melihat tingkah laku Jingga yang baru diketahuinya tersebut. Es krim adalah obat paling manjur untuk mengembalikan mood seseorang, terutama pada cewek. Mungkin itu alasan di balik cewek sangat menyukai es krim. "Haii, Jee," sapa seseorang dan mampu membuat bola mata Jingga melebar dan tak berkedip. Rio? Rendy menatap bingung ke arah Jingga. "Hey!" Rendy menyentuh bahu Jingga untuk menyadarkan gadis itu dari lamuannya. "E--eh, Rio," kata Jingga terbata-bata. "Apa kabar, Jee?" tanya Rio seraya memeluk tubuh Jingga. Namun, tak mendapat balasan karena Jingga memang tidak beniat membalas pelukan itu. "Hm ... b--baik, Yo." "Siapa? Pacar lo?" tanya Rio yang menatap ke arah Rendy. Rendy tersenyum manis ke arah Rio. "Gue, Rendy. Temennya Jingga." Rendy mengulurkan tangannya kepada Rio dan di balas baik oleh laki-laki itu. "Gue kangen sama lo." Mata Jingga membulat, jantungnya memompa dua kali lipat lebih cepat dari biasanya. Jingga hanya menatap Rio datar, tanpa ekspresi apapun. Es krim yang di pegangnya pun terlepas begitu saja dari genggamannya, dan jatuh ke bawah. Jingga diam, matanya terasa panas. "G-gu--" belum sempat Jingga meneruskan kata-katanya Rendy sudah terlebih dulu memotongnya. "Jee, lo udah lupa? Lo bukannya harus nganter nyokap belanja abis ini. Ayo kita pulang." Rendy menggenggam tangan Jingga. "Kita duluan," pamitnya kemudian, sedangkan Rio hanya diam dan menatap datar ke arah Jingga. Rendy segera melajukan mobilnya meninggalkan taman. Hening. Itulah yang terjadi saat ini di dalam mobil Rendy. "Makasih, Kak," ucap Jingga menatap ke arah Rendy. Rendy menyatukan alisnya. "Buat?" "Yang Kakak lakuin tadi." Rendy hanya mengangguk. "Dia, siapa? Kok kayaknya lo tegang gitu ngeliatnya. Lebih tengang dari biasanya lo liat gue." "Mantan," jawabnya singkat. "Oh, mantan." Rendy hanya mengangguk, dan memilih untuk tidak melanjutkan obrolan yang menurutnya cukup sensitif kalau dibahas lebih rinci. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN