BAB 1
"JINGGAAA!!!"
Di pagi buta olahraga teriak sudah menjadi kebiasaan seorang lelaki tampan itu. Tenggorakan menjadi panas, dan mampu membuat suara menjadi lebih sexy. Mungkin itu alasan Lingga selalu berteriak setiap pagi di depan pintu kamar bercat pink tersebut.
Dia Lingga, lebih tepatnya Lingga Satria Pawanggalih. Kakak kandung dari Jingga. Cowok yang paling menyebalkan dan jahilnya gak ketulungan. Dua kata itu mungkin cukup mewakili isi hati Jingga.
"Jingga lo itu kebo banget ya. Hari ini, hari pertama lo masuk SMA. Lo mau bikin malu gue, huh?!!" teriak Lingga untuk kesekian kalianya, sambil terus menggedor-gedor pintu.
Jingga meringis, menggaruk telinganya yang tiba-tiba terasa gatal. Bukannya bangun mendengar teriakan sang kakak, gadis itu justru semakin larut dalam mimpi yang nampaknya sangat menyasikkan. Jingga kembali tertidur pulas dengan selimut yang menutupi tubuhnya dan guling yang masih dalam pelukan eratnya.
Dia, Jingga Ayu Pawanggalih. Gadis cerewet bertubuh mungil dengan kulit putih, mempunyai iris berwarna hijau, bibir tipis berwarna merah muda, serta rambut hitam pekat sebahu.
Jingga anak kedua dari dua bersaudara. Lebih tepatnya, Jingga adalah adik Lingga, dengan perpaduan wajah yang hampir mirip. Tetapi, Lingga memiliki alis lebih tebal, dan iris yang berwarna coklat pekat.
Kalian pasti sudah bisa menebak bagaimana Lingga dan Jingga jika bertemu. Tidak ada celah di mana mereka bisa berdamai, dan saling mengasihi. Pasti ada saja keributan, dan u*****n yang tercipta di antara keduanya.
"Hmm ...," erang Jingga sambil merentangkan kedua tangannya. Lantas menguap lebar. Astaga, ini jam berapa? batinnya ketika melihat sinar matahari.
"Jingga anak kesayangan ibu Soraya ... bangun! Gue dobrak juga nih pintu biar lo tau rasa! Ya Allah, kok ya bisi Ade begini banget!" gumam Lingga sambil mengelus d**a, mencoba sabar selalu.
Jingga mendengus kesal. "Ini udah bangun kali, Bang. Bangunin kok kayak mau ngajakin adu jotos gitu. Resek banget!" teriak Jingga tak kalah menantang.
"Gue tungguin di bawah 15 menit, kalau lo gak turun, gue tinggal!"
Jingga memutar bola matanya jengah. Dengan berat hati ia langsung bangkit dari posisi nyamannya menuju kamar mandi. Kadang gadis itu membatin, kenapa dirinya begitu malas seperti ini? Atau memang dia ditakdirkan menjadi seorang putri tidur?
Usai mandi, dan mengenakan seragam putih abu-abunya, Jingga duduk di depan meja riasnya untuk menyisir rambut, memoles wajahnya dengan bedak--begitu tipis, dan vitamin bibir agar bibirnya tampak lebih fresh.
Jingga menuruni satu persatu anak tangga dengan semangat. Hari ini, adalah hari yang paling menyenangkan, hari di mana semua anak remaja lain juga pasti menantikannya. Senyum yang sangat manis mengembang di wajah Jingga, menandakan bahwa dirinya sangat bahagia. Bagaimana tidak, Jingga akan menempuh perjalanan baru dengan seragam yang baru, suasana baru, dan dengan semangat yang baru.
Dan dengan besar harapan di Sekolah Menengah Atas ini dia mendapatkan kebahagiaan yang tak kalah dengan masa Sekolah Menengah Pertama-nya dulu. Semoga.
"Pagi, Bun. Pagi, Yah," sapa Jingga sembari mengambil roti yang sudah dioles selai coklat kesukaannya.
"Pagi juga, Sayang," sapa balik Soraya--Bunda Jingga, bersamaan dengan Hendra--Ayah Jingga.
"Gue gak disapa?" tanya Lingga datar. Jingga menolehkan kepalanya ke arah sang Abah tersebut beberapa saat. Bukannya menyapa dengan penuh kehangatan, Jingga malah memeletkan lidah seperti meledek.
"Pagi-pagi, udah nyolot aja ni anak!" gerutunya jengkel.
"Biarin. Suka-suka aku dong, masalah buat Abang?!" Jingga menatap horror ke arah Lingga. Sedangkan Lingga, dia hanya memutar bola matanya malas.
"Dasar Adik durhaka lo!"
Jingga hanya menyengir kuda seolah tidak merasa bersalah atas sikapnya pada Lingga.
****
SMA CENDRAWASIH
Mobil mewah berwarna merah milik Lingga memasuki area sekolah, dan segera memarkirkannya di tempat biasa dia parkir.
Karena hari ini hari pertama Jingga bersekolah, Aga--nama panggilan Lingga--dengan senang hati mengantarkan sang adik tersebut sampai ke kelasnya. Bukankah dia abang yang baik?
"Depan sana kelas lo," ucap Aga, dan diangguki oleh Jingga. "Kurangin tuh sikap pecicilan lo di sekolah. Jangan sampe gue denger lo jungkir balik di sini."
"Pecicilan? Jungkir balik? Hellow, aku bukan anak kecil, woy!" batin Jingga. Bibirnya sudah maju beberapa senti.
Jingga menatap kesal ke arah Lingga, yang dibalas kekehan oleh laki-laki itu. "Yaudah gue ke kelas dulu."
"Ihh, kan jadi berantakan, Bang," rajuk Jingga seraya memperbaiki tatanan rambutnya yang sudah diacak-acak oleh Aga. Itulah salah satu kebiasaan Aga yang sangat menyebalkan bagi Jingga.
Lingga hanya tertawa kecil, dan berlalu meninggalkan sang adik kecilnya tersebut.
Jingga memutar balik haluan, yang tadinya ingin segera masuk ke kelas baru, malah tiba-tiba kebelet. Setelah celingak-celinguk ke kiri dan ke kanan, akhirnya Jingga menemukan toilet yang dia cari sedari tadi. Untung saja letaknya tak terlalu jauh dari kelasnya.
Hanya memerlukan waktu beberapa menit, gadis itu sudah selesai. Dengan wajah cemberut dia kembali memperbaiki rambutnya. Dasar abang kurang kerjaan! gerutunya dalam hati.
Dengan sedikit tergesa-gesa--karena mengejar waktu bel masuk, tanpa sadar dari arah berlawanan seorang laki-laki menabrak dirinya hingga gadis itu terjut bebas pada dinginnya keramik lantai di pagi ini.
"Ya ampun ... apalagi ini. Bisa telat aku," desisnya pelan. Jingga sedikit meringis mengetahui bagian lututnya yang kali ini nampak tak bersahabat. "Kenapa lecet segala, sih?" tanyanya sedikit kesal.
Tanpa gadis itu sadari, dirinya tengah diperhatikan seorang laki-laki di hadapannya. Entah apa yang sedang dia pikirkan, tidak sedikitpun niatan untuk mengulurkan tangannya membantu Jingga.
Jingga paling tidak suka yang namanya darah. Mau sekecil apapun itu. Entahlah, dirinya selalu saja gugup ketika melihat darah, Jingga tidak tahu itu phobia atau bukan. Padahal cita-cita gadis itu ingin menjadi Dokter. Lol!
"Lo gak papa?" tanyanya setelah beberapa saat melamun. Dia berjongkok di hadapan Jingga.
"Gak!" jawab Jingga jengkel.
"Tapi, kaki lo berdarah," ucap laki-laki itu sedikit mengkhawatirkan. Tangan laki-laki itu tanpa dia sadari menyentuh bagian lutut Jingga.
"Aduh! Jangan disentuh dong. Perih tau!" desis Jingga.
Laki-laki itu menghela napasnya, tanpa pikir panjang dia mengangkat tubuh Jingga. Membawa gadis itu menuju ruang UKS.
Jingga membisu. Detak jantungnya memompa lebih cepat. Yang membuat gadis itu bingung, ada apa dengan dirinya? Bukankah hatinya sudah lama mati.
"Sini gue bersihin kaki lo, biar nggak infeksi," ucap laki-laki itu, kemudian mendekatkan diri berniat membersihkan luka di lutut Jingga.
"Aduh, gak usah. Aku gak pa-pa."
"Udah ... santai aja. Tahan dikit, ya."
Jingga diam. Dia seolah menjadi manusia patung dalam sekejap. Segera dia buang pemikiran anehnya itu, dan tanpa sengaja Jingga mendorong laki-laki itu.
"Kok gue didorong?" tanya laki-laki itu bingung dengan tindakan Jingga secara tiba-tiba.
"E--eh ... eggak. Enggak gitu, maksudnya. Aku refleks," jawab Jingga begitu gugup. Jingga menutup matanya menahan malu. Bisa-bisanya dia bertindak sebodoh ini! batinnya.
Laki-laki itu hanya mengangguk, dan kembali mendekati Jingga. "Gue minta maaf, gue gak sengaja nabrak lo."
"I-iya, Kak. Aku juga minta maaf."
"Rendy Angkasa Pratama, panggil aja Rendy," ucapnya seraya mengulurkan tangan ke hadapan Jingga, diiringi senyuman yang membuat jantung Jingga serasa ingin melompat dari tempatnya.
"Jingga, biasa dipanggil Jee," balas jingga diiringi dengan senyuman tipis namun terlihat manis.
"Lo mau ke kelas?" tanya Rendy dan diangguki oleh Jingga.
"Yaudah, biar gue anter," ucapnya seraya mengulurkan tangannya untuk membantu Jingga berdiri.
Jingga menggeleng, "Aku bisa sendiri, Kak." Jingga mencoba berjalan sendiri namun, luka kecil sialannya itu terasa perih hingga tanpa bisa dihentikan mulutnya meringis--sakit.
"Udah sini, gue bantu."
Dengan sedikit malu, akhirnya Jingga mengangguk. "Makasih ya, Kak, jadi ngerepotin." Rendy mengangguk sambil tersenyum tipis.
Setelah sampai di depan kelas, Rendy yang tadinya ingin membuka pintu di hadapannya tersebut jadi mengurungkan niatnya. Bu Eti terlebih dulu membuka pintunya.
"Eh, Ibu. Permisi Bu, ini saya nganterin Jingga habis dari UKS," jelasnya kepada Bu Eti seraya menampilkan senyum termanis yang dia bisa.
"Nggak usah senyum-senyum begitu kamu, Rendy! Saya sama sekali tidak tertarik dengan kamu!"
Rendy terkekeh.
Pandangan Bu Eti jatuh pada lutut Jingga. "Abis kamu apain, Rendy?" tanya Bu Eti sedikit meninggikan suaranya. Wanita itu tahu betul, di mana ada Rendy di situ pasti ada masalah yang tercipta.
"Gak di apa-apain kok, Bu." Rendy menampilkan dua jarinya. Satu jari telunjuk, dan yang satunya lagi jari tengah, membentuk huruf 'V'.
"Yasudah. Sekarang kembali ke kelas kamu," ucap Bu Eti, lebih terdengar seperti mengusir dan diangguki saja oleh laki-laki itu.
"Jee, gue duluan," pamitnya kepada Jingga dan dibalas anggukan dan senyuman tipis oleh Jingga.
Setelah itu, Rendy langsung meninggalkan Bu Eti dan Jingga. Tanpa permisi terlebih dahulu kepada Bu Eti.
"Kebiasaan sekali anak itu!" komentar Bu Eti kesal. "Sekarang kamu juga masuk," lanjutnya pada Jingga.
Senyum Jingga mengembang. Temannya memang selalu pengertian. Jingga duduk pada satu bangku yang masih kosong, yaitu di samping sahabatnya, Tata. Di belakangnya sudah ada Ayaa dan Lintang.
Raya Kusuma Pandawa, Lintang Ambarwangi, dan Talita Randoman. Mereka sering di kenal dengan sebutan 'Fantastic Four'.
Mereka memang satu kelas karena memang Jingga yang meminta agar dirinya satu kelas dengan teman-temannya. Jingga adalah anak donatur terbesar di SMA CENDRAWASIH.
Tata menatap Jee bingung, tatapannya bergerak dari atas sampai ujung kaki. Terlihat pakaian Jingga yang sedikit kotor, dan tentu saja perhatiannya tak lepas dari lutut yang terluka. "Lutut lo kenapa, Jee? Masih pagi juga, main guling-gulingan aja!"
"Ish. Bukan guling-gulingan!" desisnya tak terima. "Tadi gue abis nabrak kakak kelas," jawab Jingga seraya mengeluarkan buku-bukunya dari dalam tasnya.
Tata hanya membulatkan mulutnya membentuk huruf 'O'.
"Jee, lo dianterin siapa tadi?" tanya Ayaa karena tadi ia sempat mengintip sekilas dari celah pintu yang terbuka.
"Itu Kakak kelas yang nabrak gue tadi. Kenapa?"
"Menurut lo ganteng, gak?" tanya Lintang sambil menaik turunkan alisnya.
Jingga menyipitkan matanya. "Gak," jawabnya singkat.
Lintang hanya mengerucutkan bibir.
Jingga kembali menghadap ke depan. Dan matanya membulat sempurna ketika tatapannya jatuh pada tulisan di papan tulis.
Ketua kelas : Taufik Wijaya
Wakil ketua kelas : Reynaldi Bentoro
Sekretaris1 : Syifa Nurrahman.
Sekretaris1 : Talita Randoman
Bendahara1 : Jingga Ayu Pawanggalih
Bendahara2 : Raya Kusuma Pandawa.
Jingga mengubah lagi posisi duduknya, menghadap ke belakang. "Siapa yang calonin gue jadi Bendahara?" tanya Jingga menatap ke arah Ayaa dengan memicingkan mata. Jingga tahu betul, ini pasti ulahnya si Ayaa.
****
Kegiatan hari ini diisi dengan melakukan kebersihan lingkungan sekolah. Setelah kebersihan selesai, bel istirahat berbunyi. Semua anak-anak menyerbu kantin, untuk mengisi perut mereka masing-masing. Begitu pula dengan Jingga dan teman-temannya.
Mereka mengambil alih meja pojok, dekat WIFI. Biasa, ini idenya si Lintang--katanya 'irit kuota'.
Di antara mereka memang Lintanglah yang paling perhitungan masalah kuota internet dengan embel-embel 'Irit pangkal kaya'.
"Kalian mau pesan apa?" tanya Tata.
"Bakso, siomay, gado-gado."
"Ok. Tunggu, ya," ucap Tata sambil mengacungkan jempol, setelah itu melangkah meninggalkan meja mereka. Tata memang selalu yang paling ahli dalam memesan makanan, sudah sedari mereka sekolah menengah pertama. Dan tentu saja Kalau Tata yang memesan, tidak memerlukan waktu yang lama.
Disela canda-tawa mereka seketika senyap, pandangan mereka beralih menatap tiga cowok yang ikut bergabung. Rendy, Aldo, dan Angga. Mereka tidak asing dengan kehadiran Aldo dan Angga karena memang mereka berdua adalah pacar Ayaa dan Lintang. Sedangkan, Rendy? mereka belum mengenalnya sama sekali, terkecuali Jingga.
"Lutut lo udah baikan?" tanya Rendy yang menatap ke arah Jingga dan hanya dibalas anggukan oleh Jingga.
"Kenalin, nama gue, Rendy," ucap Rendy sambil mengulurkan tangannya ke arah Ayaa, Tata, dan Lintang.
Jingga menghela napasnya lega, kali ini ia terbebas dari Rendy--bel masuk berbunyi. Entah kenapa, Jingga tidak tahan berada di dekat Rendy terlalu lama. Bukan karena Rendy bau atau semacamnya, Jingga hanya tidak mau terlihat seperti orang bodoh, atau salah tingkah di hadapan Rendy.
"Kita duluan ya, Yang," ucap Aldo kepada Ayaa. Ayaa mengangguk.
"Kita duluan," pamit Rendy kepada semuanya. Sedangkan, Angga hanya mengedipkan sebelah matanya ke arah Lintang. Dan mereka langsung berjalan meninggakan kantin.
"Dia yang nabrak lo, Jee?" tanya Lintang.
"Hmm."
"Ganteng, Jee. Cocok sama lo," kata Ayaa menaik turunkan sebelah alisnya sambil bertepuk tangan girang.
Jingga melebarkan mata. "Gak. Dia bukan tipe gue."
"Lah, kenapa? Bukannya dia nggak kalah ganteng tuh sama si Rio?" tanya Lintang bingung. Rendy memang tidak kalah tampan dari Rio--mantannya Jingga. Malah ... mungkin saja lebih ganteng Rendy.
"Ih. Jangan sama dia, Jee. Kayaknya dia anaknya nakal deh, keliatan banget dari pakaiannya." Jingga, Ayaa, dan Lintang bersamaan menoleh--menatap Tata.
Tata hanya mengangkat kedua bahunya, tanda tidak terlalu mempedulikannya.
****