Kau Datang, Angkasa!

3166 Kata
kembali ke masa sekarang, 5 tahun setelah Genosida.. Varro dan Nam akhirnya sampai di rumah Naviza, Nam berinisiatif memberitahu Son keadaan Naviza sekarang. dengan sangat panik Nam menggedor pintu rumah Naviza, Son keluar dengan cepat. "kak Son! Kak Son !" teriak Nam, sementara Varro yang bertugas menggedor pintu. "hei hei.. aku sudah dengar..!" suara Son dari dalam rumah bergegas membuka pintu. "oh? Nam?" "Kak Son! Kau harus cepat pergi! Ara dalam bahaya!" teriak Nam panik dan ketakutan. Sebenarnya usia Son lebih mudah dua tahun dari Naviza, tapi demi penyamaran, Son harus bertindak sebagai kakak Naviza dihadapan teman-teman sekolahnya. "Apa Ara mendapat hukuman dari sekolah? Tenang Nam, tenang... ceritakan pelan-pelan.." jawab Son mencoba menenangkan Nam dan Varro. "kak Son," sekarang varro yang berbicara. "tiga orang pria berbadan tinggi dan besar, bermata biru, dengan setelan jubah bertudung warna merah, dengan gerakan yang super cepat, mereka mencoba membunuh kami! Sekarang Ara sedang berusaha menahan mereka demi melindungi kami!" Son butuh satu menit untuk menyadari kalau tiga pria yang dimaksud Varro adalah ciri-ciri orang Vocksar. Saat akhirnya dia sadar, Son tersentak luar biasa. "Vocksar ?" gumamnya pelan dalam kepanikan. Varro mendengar gumamam Son, dia menyadari sesuatu kalau kata Vocksar ini mungkin yang dimaksud Regha dalam soal ujian tadi pagi. Tapi situasi ini tidak mengizinkan Varro menanyakannya pada Son. Son bergegas mengambil pedangnya yang terpajang di atas meja ruang tengah, lalu segera menunggang kuda meninggalkan rumah itu. Son menyuruh Varro dan Nam tetap menunggu di dalam rumah, karena keadaannya sekarang sangat tidak aman dimanapun mereka berada. Setelah Son pergi.. "Nam, kau tahu sesuatu tentang Vocksar?" tiba-tiba Varro sangat penasaran. "Ara bilang mereka bangsa pembunuh." Jawab Nam sambil mengingat-ingat percakapan Naviza dengan Regha di kantin siang tadi. "kau tahu bagaimana rupa mereka?" selidik Varro. "tidakkah kau berpikir kalau orang yang menyerang kita, adalah orang Vocksar?" pertanyaan Varro membuat Nam tersentak. ֎֎֎֎ Son terus memacu kudanya memecah gelapnya malam. Berdasarkan informasi dari Nam, lokasi p*********n berada di jalan utama pintu masuk ke desa. Sehingga setidaknya butuh 10 menit dengan kuda untuk mencapai lokasi itu. selama 10 menit itu pikirannya tidak bisa lepas dari bayangan-bayangan hal mengerikan yang mungkin saja telah terjadi, yang terburuk adalah bagaimana jika dia datang terlambat? Bagaimana jika dia sampai tapi Naviza sudah mati? Atau dia menghilang tanpa kabar? Son mempercepat kudanya. Sepuluh meter lagi dia sampai di jalan utama desa. Selama perjalanan sepuluh menit itu ketakutan Son membuat dia kembali teringat kejadian yang sama lima tahun lalu...  Flashback on: Saat desa perbatasan kebakaran, Son saat itu baru kembali dari tugas luar kota, dia salah satu orang Vocksar yang mengikuti Angkasa. mereka bukan teman masa kecil, tapi Son sudah seperti adik Angkasa sendiri selama masa kecil mereka di desa Vocksar. Son selama ini mengikuti kemana Angkasa pergi dan tinggal bersamanya. Dia kembali ke desa yang terbakar itu dengan kebingungan yang besar, apa yang sudah terjadi? Dia segera memacu kudanya menerjang lautan api, lurus melesat menuju rumah Angkasa. keadaan yang sama seperti yang dia alami sekarang. memacu kuda dengan harap cemas akan bayangan kematian dan kehilangan orang yang berharga. Malam itu Son terlambat, dia menemukan Naviza sudah tergeletak tidak bergerak di pelataran samping rumah mereka. darah sudah menggenang di sekitar Naviza terbaring, wanita itu meringkuk kesakitan di tanah yang dingin dan lembab. Saat Son memapahnya, Naviza masih dalam keadaan setengah sadar, matanya terbuka sangat sedikit. "Naviza...! sadarlah! Buka matamu sekarang! Naviza!" Son mengoyak pipi Naviza sambil berteriak panik, saat itu dia ketakutan luar biasa, takut kehilangan orang yang selama ini sudah seperti kakaknya sendiri. Kembali ke keadaan sekarang.. Akhirnya Son sampai, jalan utama desa sepi, gelap, hanya dua sampai tiga obor yang menyala disepanjang jalan. Dia tidak bisa melihat apapun didepan sana. Son punya kemampuan yang sama dengan Angkasa, membuat api dari tangannya. Dia melempar beberapa bola api ke sepanjang jalanan itu, sekali lagi memacu kudanya lebih cepat. "Araaa !" dia berteriak memanggil Naviza berkali-kali, mencoba menemukan dimana dia sekarang, apakah sudah mati? Apakah dia masih sekarat? Atau bagaimana? Tangannya sudah sangat geram memukul orang. Dia diam sebentar, ada suara tabrakan pedang sayup-sayup terdengar. Son bergerak ke arah suara itu. dia akhirnya melihat tiga orang sedang bertarung pada jarak dua puluh meter dari tempatnya, Son mendekat. Lebih jelas dia bisa melihat satu orang tergeletak di tanah tidak jauh dari tempat pertarungan. Segera dia sadar kalau itu adalah Naviza. Son berlari meraihnya, persis seperti lima tahun lalu saat dia mendapati Naviza sudah sekarat. Tidak berbeda dengan sekarang. dia mengoyak pipi dan tubuhnya, sama sekali tidak bergerak. "Naviza.. kau masih sadar? Buka matamu! Naviza..!" teriak Son penuh kepanikan bercampur kecemasan. Matanya sudah banjir air mata yang sebentar lagi meluap ke pipi. Bunyi tebasan pedang terakhir akhirnya memotong kepala Vocksar terakhir. Dua orang Vocksar itu sudah terpenggal, jasadnya tergeletak tidak jauh dari Son dan Naviza sekarang dengan kepala yang terpisah dari tubuhnya. Seorang pria dengan postur tubuh yang hampir sama dengan orang Vocksar berjalan cepat dengan nafas tersengal ke arah Son. Pedangnya berlumur darah, dia memasukkan ke sarung pedangnya. Lalu melepas jubah hitam panjangnya, menyelimutkan ke tubuh Naviza. Sedetik setelah itu dia sudah menggendong Naviza. "ayo! Sebelum yang lain datang!" serunya. Son mengangguk mantap. Matanya berbinar, ada perasaan senang, bahagia, terkejut sekaligus takjub melihat siapa yang berdiri di hadapannya sekarang. "kau datang Angkasa," gumam Son dalam hatinya sambil tersenyum lega. Angkasa lebih dulu naik ke kudanya, lalu disusul Son. Naviza sudah aman sekarang, dia berada dalam dekapan Angkasa. Son hanya terus memandangi Angkasa tanpa menanyakan apapun, dia menahan diri sekalipun sangat banyak pertanyaan yang ingin sekali dia tanyakan pada orang yang sangat dia hormati ini. mereka pergi, memacu kudanya dengan kecepatan yang luar biasa. Son teringat bagaimana pertemuan terakhir mereka lima tahun lalu.. flashback on: Dia melihat Angkasa melintasi perbatasan ibukota bersama dua orang penunggang kuda. Saat itu Son masih di ibukota, sebelum dia kembali dan menyaksikan lautan api di desa perbatasan. Mereka tak sempat berkata ataupun bertegur sapa. Saat itu Angkasa melihat dirinya dan memandang Son sambil berlalu. Ketika itu terjadi bahkan hingga detik ini Son sama sekali tidak tahu alasan apa dibalik semua kejadian ini. flashback off. Angkasa melesat jauh di depan Son, membelah gelapnya malam. Angkasa semakin mendekap Naviza yang sekarang sudah tidak sadar. Jubah yang dia pakai mengerudungi Naviza sekarang pun sudah basah karena rembesan darah Naviza yang belum juga berhenti. Angkasa bergumam, dia semakin cemas. "Son! Kita berpisah disini. Aku akan membawanya pulang sementara kau segera bawa tabib atau siapapun yang bisa mengobati luka-luka ini." seru Angkasa. Son mengangguk pasti. Dia memutar arah dan memacu kuda ke arah sebaliknya. Son pergi menjemput seorang tabib. Angkasa akhirnya sampai di rumah Naviza dua kali lebih cepat dari perjalanan orang biasa. Dia menggendong Naviza turun dari kuda lalu menendang pintu rumah sangat keras. sedikit aneh bagaimana Angkasa bisa menemukan rumah Naviza padahal mereka belum pernah sekalipun bertemu. Apakah selama ini Angkasa selalu mengawasi kehidupan Naviza? Nam terlonjak dari kursi mendengar pintu ditendang keras dan seorang pria membopoh Naviza masuk. Varro langsung reflek siaga menyerang menghadang Angkasa yang tergesa-gesa mencari kamar Naviza. Angkasa terpaksa berhenti dengan ekspresi marah. "minggir!" dia membentak cukup kuat. "tidak!" Varro menolak dengan keras. dia menghunuskan belati kecil yang ditinggalkan Son sebelum pergi, untuk berjaga-jaga. "siapa kau? Lepaskan Ara!" Varro membentak Angkasa lagi. Angkasa mendongak keatas, mencari udara untuk meredam emosinya. "minggir!" sekali lagi Angkasa membentak. "siapa kau berani menyentuh temanku?!" kali ini giliran Nam yang menghadang jalan Angkasa. Angkasa memelototinya, mengisyaratkan bahwa dia tidak memiliki kesabaran lagi. tapi Nam tetap bergeming. "kalian tidak lihat dia hampir mati kehabisan darah ?" suara Angkasa sedikit merendah, dia memperbaiki posisi Naviza yang hampir jatuh . Nam ataupun Varro belum beranjak dari tempat mereka. kali ini Angkasa yang putus asa, "baiklah baiklah.. jika aku katakan apa kalian berdua akan minggir?" Nam mengangguk, "penampilanmu sama seperti orang-orang yang menyerang kami, mana mungkin kami akan membiarkan kau lewaat begitu saja?" bentak Nam, dia membentak tapi sebenarnya dia teramat ketakutan menghadapi Angkasa. Pintu kembali terbuka, Son datang membawa tabib. Melihat situasi yang ada, Son segera paham apa yang sedang terjadi. Sedikit kesalahpahaman tentunya, Nam dan Varro masih terbawa kewaspadaan berlebihan akibat serangan orang Vocksar tadi. Dan dia menyadari bahwa penampilan Angkasa sekarang memang sama persis seperti layaknya orang Vocksar berpakaian. Ditambah lagi postur tubuh yang tinggi dan kulit wajah yang putih. Benar-benar sama. Son segera menengahi keributan kecil itu. "Nam, Varro, tidak papa, biarkan dia lewat. Dia bukan musuh kita." Seru Son segera meredam kesalahpahaman ini. lalu dia mengantar tabib lewat mengikuti Angkasa dari belakang menuju kamar untuk melihat seberapa parah luka Naviza. Sementara Nam dan Varro sekarang malah salah tingkah setelah Son mengijinkan Angkasa lewat. Mereka berdua jadi merasa bersalah, dan sekarang mereka ragu dan malu untuk menemui Naviza. "Nam, kau tidak melihat kondisi Ara?" tanya Varro yang sebenarnya dia juga ragu. "si-siapa laki-laki itu? kau pernah melihatnya?" tanya Nam menjadi super canggung. "kau lebih dekat dengan Ara, kenapa bertanya padaku?" balas Varro. "baiklah akan aku tanyakan pada Son sekarang!" Nam langsung pergi. Tapi.. dia mendadak berhenti saat melihat Angkasa keluar dari ruangan Naviza. Nam membeku, dia terkejut tapi lebih besar rasa canggungnya. Ada perasaan bersalah, tapi ada juga penasaran. Nam tetap mematung saat Angkasa melewati dirinya dan duduk di kursi kayu ruang depan. Varro melihat kekakuan Nam dari jauh sambil ikut-ikutan canggung. "apa.. apa Ara masih bisa selamat?" seru Varro tiba-tiba. Dia mendekati Angkasa dan ikut gabung duduk di depannya. "dia harus selamat, bukankah begitu?" Angkasa mencoba memperbaiki ekspresi wajahnya menjadi ramah dengan tersenyum pada Varro. Padahal jauh di dalam hatinya dia lebih cemas lagi dan lebih lebih ketakutan jika sampai terjadi sesuatu pada Naviza. "jadi.. dia pasti bisa kembali sehat,.. kan ?" kali ini Nam menggabungkan diri dalam pembicaraan. "tentu saja." Angkasa berusaha menarik bibirnya untuk senyum, sekalipun rasanya sangat sulit di situasi saat ini. "aku merasa kalian sedikit takut padaku, kenapa?" Angkasa mencoba untuk akrab. Dia bersikap dewasa kali ini, berusaha menjadi bijak dan menenangkan anak-anak lugu ini, jika tebakannya benar bahwa dua orang dihadapannya ini juga berada disana saat Vocksar datang, lalu mereka menyaksikan pertarungan yang menakutkan seperti itu, tentu saja anak-anak ini sekarang dalam keadaan yang sangat ketakutan. Jadi dia berusaha bersikap seperti orang dewasa yang menenangkan adiknya. "kalian masih takut pada penyerang itu?" tanyanya lagi, Nam dan Varro mengangguk pelan. Angkasa menarik dirinya lalu menyandarkan punggung pada kursi sambil melipat kedua tangan di depan d**a. "orang-orang itu sudah pergi, kalian tidak perlu takut lagi." jawab Angkasa dengan lembut. "bagaimana jika mereka kembali dan menyerang Ara dan juga kami?" Nam segera menjawab. "benar, mereka masih mungkin datang lagi. mereka menemukan tempat ini karena mengikutiku kemari. Ini semua salahku." Jawab Angkasa dalam pikirannya. Dia lalu senyum dulu, "kalian berdua tidak perlu khawatir, orang-orang itu tidak akan pernah datang lagi. jika mereka datang lagi, ada kak Son yang siap melindungi kalian, oke? Karena aku tidak akan datang membawa mereka ke tempat ini lagi, aku berjanji. Sekalipun itu berarti aku tidak bisa melihat isteriku lagi." ֎֎֎֎ Flashback.. dua jam sebelum kedatangan Angkasa : Ruangan yang luas dengan meja panjang berisi sepuluh kursi berderet mengelilingi. Hanya ada enam api kecil sebagai penerang ruangan. Sepertinya sebuah rapat penting baru saja selesai, kursi-kursinya sedikit berantakan dan ada sisa minuman di atas meja. Angkasa masih terpaku di kursi paling ujung. Jari-jarinya membentuk piramid menopang dagunya yang tajam. Dia kembali mengingat informasi penting selama rapat terbatas petinggi intelejen kerajaan. "kami mendapat laporan dari agen lapangan, tercium bau penghianatan di dalam tubuh intelejen kerajaan." "siapa, siapa yang disinyalir sebagai penghianat?" "kami belum bisa memastikan identitasnya, tapi kami menemukan ini dilokasi kejadian." Angkasa sekarang memegang barang bukti itu. sebuah ikat kepala milik Vocksar. "berapa orang yang mati?" "jika digabung dengan pembunuhan terakhir, totalnya ada lima orang. Mereka semua dari departemen hubungan luar negeri kerajaan." "bagaimana dengan perkembangan pencarian veteran Benang Merah? Berapa orang yang berhasil kita tangkap?" "hanya satu orang." "siapa?" "mantan ketua Benang Merah. Buros, ketua." Angkasa tersentak begitu nama Buros disebutkan telah berhasil ditangkap. Pasalnya dia menghilang setelah ledakan markas Benang Merah. Tidak satu pun yang berhasil menemukan mayatnya ataupun mencium keberadaannya selama enam tahun terakhir. Angkasa mendadak bersemangat. "Buros? Dimana dia sekarang?" "sayangnya, dia berhasil kabur saat proses interogasi, Ketua. Maafkan kami." Angkasa berdiri, tinjunya mengepal sangat kuat. Dia benar-benar menyesalkan kejadian kaburnya Buros. Kemarahannya masih terasa bahkan setelah rapat terbatas itu selesai, dia meremas kuat ikat kepala Vocksar yang ditemukan di tempat pembunuhan kepala departemen hubungan luar negeri. Oyan masuk ke ruang rapat dengan tergesa-gesa. Ya, Oyan.. spesialis koordinasi informasi yang telah lama bergabung dengan markas pusat intelejen semenjak Eztyo memimpin organisasi resmi rahasia ini. "Angkasa, ada informasi mendesak baru saja kami terima." Kata Oyan melapor dengan tergesa-gesa. "katakan." "mereka mengadakan pertemuan rahasia di Provinsi Timur satu jam dari sekarang." Angkasa tersentak, pertemuan rahasia yang dimaksud Oyan adalah pertemuan yang telah lama diincar oleh Badan Intelejen rahasia kerajaan. Pertemuan upaya menjalin kerja sama ilegal dengan Guldora untuk mendapatkan senjata selundupan. Siapa yang mengadakan pertemuan? Masih diselidiki sampai sekarang. yang jelas, dari informasi mata-mata yang tersebar di seluruh negeri, pihak yang mengundang Guldora secara ilegal adalah organisasi besar di Zakaffa yang bergerak senyap dan tidak terdeteksi. Angkasa telah memeriksa catatan perizinan hampir seluruh organisasi yang pernah berdiri di Zakaffa selama dua puluh tahun terakhir. Dia telah meminta Faritzal untuk memperketat izin pendirian organisasi jenis aapapun dan melakukan pemeriksa menyeluruh semua arus keuangan mereka. tak terkecuali departemen resmi negara sekalipun. Tapi Angkasa menemui kebuntuan. Berita tentang pergerakan mantan petinggi Benang Merah lima tahun silam juga menemui kebuntuan. Pencarian mantan anggota Benang Merah telah dilakukan dengan menyisir seluruh negeri yang dilakukan oleh agen-agen hebat secara rahasia. Hasilnya luar biasa! Hampir ratusan mantan Benang Merah telah ditangkap dan diberi hukuman sesuai tingkat kejahatan mereka. Angkasa sendiri yang membuat daftar keanggotaan Benang Merah dan mengkonfirmasi keanggotaan setiap orang yang berhasil ditangkap. Tapi sebanyak apapun mantan Benang Merah yang tertangkap, tak satupun dari mereka buka mulut soal berita rahasia itu. Demi percepatan dan penguatan badan intelejen kerajaan, selama empat tahun terakhir ini Angkasa banyak melakukan perekrutan anggota baru dengan standart kualitas yang tinggi. Diambil berdasarkan spesialisasi kemampuan mereka, dididik khusus dengan disiplin militer yang tinggi. Hasilnya, ribuan mata-mata dan agen rahasia berhasil disebar guna mengamankan stabilitas negara. Sebuah kemajuan yang luar biasa untuk badan intelejen kerajaan dibawah pimpinan Angkasa selama lima tahun terakhir ini. harga yang harus ia bayar demi prestasi itu sangat mahal. Sebuah perpisahan dan pengorbanan perasaan yang luar biasa besar. Setelah mendengar informasi itu, Angkasa segera bergegas menuju kandang kuda dan pergi ke provinsi Timur. Kurang dari satu jam dia harus sampai disana, selanjutnya akan ada seorang agen rahasia yang menjemput Angkasa di provinsi timur.  ֎֎֎֎ Son belum beranjak dari ruangan Naviza, dengan sedikit ketrampilan pengobatan yang ia miliki, dia berupaya keras membantu tabib agar pengobatan yang dilakukan lebih cepat. Son sedikit menguasai teknik pengobatan yang biasa dilakukan Vocksar, Ilion yang mengajarinya saat kecil dulu. Karena dia sering terluka, akhirnya dia harus belajar bagaimana bisa mengobati lukanya sendiri tanpa menunggu ada orang lain yang datang. Seorang Vocksar harus bisa bertahan hidup apapun kondisinya. Luka Naviza sangat serius, selain kedalaman sayatan yang membahayakan pembuluh darahnya, jumlah sayatan yang ia terima hampir genap delapan luka. Empat di lengan kanan-kiri, dua di paha kiri, satu di perut dan satu lagi di punggung. Beruntung dia bisa menghindari luka tikaman. Memang sebuah kemustahilan melawan Vocksar yang kecepatan serangannya luar biasa, hanya dengan tangan kosong. Sebuah anugerah tak terhingga Naviza masih bernafas hingga sekarang dan bertahan dari serangan bertubi-tubi seperti itu. sekalipun itu adalah hal gila yang tidak termaafkan dan tidak terpikirkan akal sehat mana pun. Kondisi yang memaksanya harus melakukan itu, dua nyawa temannya terancam, begitu juga dirinya. Akan menjadi penyesalan tanpa akhir jika Naviza hanya diam dan menyerah. Dan satu hal yang pasti, jika saja Angkasa terlambat satu detik, jantung Naviza mungkin sudah tidak berdetak lagi. sebab ujung pedang Vocksar pasti sudah menancap disana. Angkasa datang pada waktu yang sangat tepat, pada detik-detik akhir pertaruhan nyawa Naviza. Angkasa masih duduk bersama Varro dan Nam di ruang depan. Angkasa tahu betul siapa dua anak yang duduk dihadapannya sekarang. lewat informasi yang dia peroleh dari mata-mata intelejen, Angkasa mengawasi Naviza dari jauh. Tanpa seorang pun tahu, termasuk Son. Mungkin itulah jawaban bagaimana Angkasa bisa menemukan rumah Naviza padahal dia belum pernah berkunjung ke tempat ini sekali pun. "terima kasih sudah datang menyelamatkan teman kami." Seru Nam penuh ketulusan pada Angkasa. suaranya masih berantakan. Dia mengatakannya sambil menunduk. Angkasa hanya tersenyum. "aku juga senang bisa membantu.." Seseorang mengetuk pintu keras. Angkasa yang keluar. "ketua. Ini sudah saatnya." Laki-laki tiga tahun lebih muda dari Angkasa, dengan postur tubuh tinggi dan sedikit berisi, berdiri di balik pintu. Angkasa mengenali laki-laki ini sebagai salah satu mata-matanya dari sebuah tanda khusus di ujung dalam matanya. Dia baru saja ingat tujuan utamanya ke provinsi timur, mencari tahu tentang pertemuan rahasia kerja sama ilegal pengiriman senjata. Dia harus segera pergi. Tapi.. dalam hatinya, kekhawatiran pada keselamatan Naviza masih terlalu tinggi. Dia sudah pernah mengalami penyesalan yang luar biasa besar lima tahun lalu, ketika dirinya meninggalkan Naviza dalam keadaan sakit, malam itu juga dia kehilangan Naviza dan juga janin yang dikandungnya, calon anak mereka. lima tahun lalu, Angkasa tidak bisa berbuat apa-apa. Dia dihadapkan pada dua pilihan sulit, antara kembali untuk menyelamatkan isteri dan anaknya atau tetap tinggal dan melanjutkan perjalanan untuk menyelamatkan rakyat Zakaffa. Angkasa telah membayar harga yang sangat mahal dengan meninggalkan Naviza dan anak mereka demi sebuah keamanan dan kesejahteraan seluruh rakyat Zakaffa. Malam ini, dia dihadapkan pada kondisi yang sama lagi, secara tidak sengaja dia datang ke provinsi ini dan menemukan isterinya terancam mati untuk kedua kalinya. Dan lagi-lagi di saat bersamaan, Angkasa harus meninggalkan Naviza. Pilihan yang terlalu berat untuknya. tapi jika dia tidak hadir di pertemuan rahasia yang selama lima tahun ia selidiki itu, keamanan seluruh negara akan terancam akibat selundupan senjata ilegal oleh organisasi rahasia dengan skala besar di Zakaffa yang bahkan tidak terdeteksi oleh intelejen. Jika hal itu terjadi, tidak akan ada lagi tempat aman untuk melindungi Naviza sekalipun. Ada pr besar yang juga harus ia pecahkan, pertanyaan belum mampu ia temukan jawabannya. Siapa yang berada dibalik p*********n desa perbatasan dan berusaha membunuh Naviza lima tahun silam? Apakah semua masalah ini terhubung dan terkait satu sama lain? Sebesar apa bahaya yang saat ini sedang menunggu untuk memporak-porandakan Zakaffa ? pertanyaan itu terus terngiang di pikiran Angkasa. "beri aku waktu satu menit, ada yang harus aku bicarakan dengan mereka sebentar." Angkasa masuk lagi, lurus ke dalam ruangan Naviza terbaring. Dia berdiri diambang pintu, memandangi isterinya yang terbaring penuh luka. Lima tahun sudah dia menahan kerinduan ini, menahan diri tidak datang melihat bagaimana rupa Naviza. Perasaan sedih dan penyesalan yang tiada terperih, bagaimana mungkin dia menjadi laki-laki jahat yang membiarkan wanita yang dicintainya menanggung kepedihan penderitaan sendiri. Matanya sudah berkaca-kaca ketika dia memikirkan itu semua. "tidak ada yang bisa aku ucapkan selain kata maaf, Naviza. Kau, hidup dengan baik lima tahun ini? kurasa tidak.. maaf.. maafkan aku yang tidak bisa berbuat apa-apa. Maafkan aku Naviza, sepertinya akan sulit bagi kita untuk bertemu lagi satu sama lain setelah malam ini. hiduplah dengan baik, hapus kenangan tentang kita, kau harus bangkit dan jadi wanita yang kuat! Kau harus hidup Naviza.. kau harus hidup.. " Angkasa menyeka air matanya. Sekalipun begitu kelopak matanya masih banjir air mata. "selamat tinggal.." Angkasa keluar tanpa berpamitan pada Son. Dia langsung membuka pintu dan keluar dari rumah itu. "tunggu!" seru Nam. "bagaimana kami harus memanggil namamu?" Angkasa terhenti, dia berbalik badan lalu tersenyum pada mereka. "jaga teman kalian baik-baik, oke?" Varro dan Nam mengangguk cepat. "namaku, Nagha." tambah ANgkasa. "Nagha?" Nam dan Varro kompak mengulang nama yang dikatakan Angkasa. "Ya, kalian bisa memanggilku Nagha. Kalau begitu, selama tinggal.." Pintu tertutup. Nam cepat-cepat menyusul Angkasa keluar, tapi begitu ia membuka pintu, tidak ada siapapun dibalik pintu itu. dia berlari ke jalanan, tapi juga tidak ada jejak Angkasa disana. Angkasa menghilang. Nam kembali dengan kecewa. -------- Akhirnya si Angkasa datang tapi kedatangannya ternyata kebetulan.. panggilan batin mungkin ya? hheehe ada misi khusus yang harus diselesaikan Angkasa malam ini. lets check the next part ..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN