1. Hubungan Rahasia
"Harusnya kamu segera batalin pernikahan kamu sama Heera dong, Sayang," ucap wanita yang duduk di samping kekasihnya.
"Sabarlah sebentar, aku masih menunggu waktu yang tepat untuk mengakhirinya," jawab pria itu yang tak lain adalah Galen.
"Hm, aku sudah bosan selalu bersembunyi di belakang Heera," ucap Listia dengan nada merajuk.
Galen tersenyum dan mengusap lembut pucuk kepala Listia. "Bersabarlah sebentar lagi," bisik Galen.
Dari arah pintu masuk kafe, dua sejoli itu melihat wanita yang sedang mereka bicarakan berjalan memasuki kafe. Keduanya segera mengambil jarak dan bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa sebelumnya.
"Maaf aku terlambat," ucap Heera langsung duduk di samping Galen. Pria itu menyambut kedatangan sang kekasih dengan kecupan ringan di pipi.
"Aku tahu, jabatan barumu saat ini pasti sangat menguras waktu," jawab Galen dengan penuh pengertian.
Listia hanya tersenyum tipis menanggapinya, dia sedang menahan api cemburu yang bergejolak dalam hatinya.
"Gimana Lis, apa kamu punya usulan buat pesta pernikahan aku?" tanya Heera tidak mentadari perubahan raut wajah sahabatnya.
Ya, Heera dan Listia adalah sahabat baik, bahkan mereka satu tempat kerja hanya beda jabatan saja, dan Galen sebenarnya adalah calon suami Heera, sebentar lagi mereka akan melangsungkan pernikahan.
"Aku sih Cuma usul nanti gaun buat bridesmaid warnanya yang peach gitu," jawab Listia asal sambil mengaduk minumannya yang tinggal setengah gelas.
"Ehm, boleh, nanti aku pertimbangkan," jawab Heera sambil membolak balik buku menu.
"Sayang, sebaiknya kamu pilih makanan dulu deh, aku yakin kamu belum makan siang, bentar lagi jam istirahat kamu sama Listi juga habis loh, dan aku juga harus balik ke kantor," kata Galen menyadari jika Listia sedang tidak ingin membahas tentang pernikahan Heera dengan Galen tentunya.
"Ah, ini semua gara-gara aku, kalian pasti sudah menungguku sangat lama, baiklah, kita bicarakan hal itu nanti," jawab Heera tentu merasa bersalah.
Akhirnya Heera pun segera memesan makan siangnya dan menyantapya dengan sedikit terburu-buru lantaran dikejar waktu. Sementara itu, Galen dan Listia sudah selesai makan siang sebelum Heera datang.
"Udah hampir jam satu, Sayang, aku harus balik ke kantor," ucap Galen saat melihat jam digital di layar ponselnya.
"Ah, baiklah, setidaknya aku bisa ketemu sama kamu meski hanya di jam makan siang," keluh Heera masih merasa belum puas bertemu dengan calon suaminya.
"Jangan seperti itu, aku juga merasa berat untuk berpisah denganmu," balas Galen sambil mengusap pucuk kepala Heera.
"Ya udah, kalau gitu aku balik sama Listi ke kantor," kata Heera sambil berdiri dari duduknya.
"Ayo, Lis," ajaknya pada sang sahabat.
"Kita duluan ya," ucap Listia memaksakan senyumnya untuk Galen.
"Hati-hati," kata Galen sebelum mereka berpisah di depan kafe. Tak lupa Galen memeluk Heera dan Listia bergantian.
Apakah Heera cemburu? Sama sekali tidak, dia pikir wajar saja pelukan Galen pada Listia dan dia menganggapnya hanya sebuah pelukan perpisahan. Lagi pula, selama ini Heera berpikir Galen menganggap Listia seperti dirinya yang menganggap Listia adalah sahabat, dan Heera juga yakin tak mungkin mereka berdua memiliki hubungan di belakangnya.
Galen menatap kepergian Heera dan Listia yang berjalan menjauh darinya. Kantor mereka berdua tak jauh dari kafe tempat di mana mereka makan siang bersama. Begitu juga dengan Galen, juga tak terlalu jauh dari tempat itu, bisa dibilang kafe favorit mereka itu berada di tengah-tengah kantor Heera dan Galen.
"Maafin aku, Ra, aku telah mengkhianati cinta kamu," guman Galen sebelum berbalik mengambil langkah kembali ke kantor.
***
Heera tengah sibuk dengan berbagai berkas yang harus dia pelajari. Jabatan baru yang dia emban beberapa minggu ini benar-benar harus dia pelajari dengan sungguh-sungguh. Heera sangat bersyukur di tengah dirinya yang sedang dilema dengan pesta pernikahan yang akan dia gelar, Tuhan memberinya jalan keluar dengan kenaikan jabatan yang tentunya juga berpengaruh dengan besarnya gaji yang dia terima tiap bulannya.
Dia yang dulunya hanya seorang regional manager, kini jabatannya telah satu tingkat menjadi direktur manager berkat usaha dan kerja kerasnya selama ini. Heera patut berbangga diri karena dia memperoleh jabatan itu tanpa campur tangan orang dalam. Direktur yang beberapa minggu lalu pensiun, menunjuk Heera secara langsung sebagai penggantinya.
"Fiuh, akhirnya selesai juga," guman Heera menghembuskan napas lelah. Dia merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku dan pegal.
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul lima sore, lewat satu jam dari jam pulang Heera seharusnya. Wanita itu tersenyum tipis, karena terlalu semangat bekerja hingga tidak menyadari waktu telah berlalu.
"Saatnya pulang," guman Heera setelah merapikan meja kerjanya.
Ketika hendak keluar dari gedung departement store, banyak karyawan yang menyapa Heera dengan sopan. Memang Heera adalah idola mereka, sejak menjadi menejer, dia sangat berbeda dengan menejer-menejer lainnya, dan akhirnya para karyawan pun segan dengan sendirinya pada Heera.
"Hati-hati di jalan, Bu Heera," ucap satpam yang berjaga di pintu masuk.
"Terima kasih, Pak," jawab Heera dwngan senyum ramah yang selalu menghiasi bibirnya.
Melangkahkan kaki menuju parkiran, sejenak, Heera terdiam mematung melihat pemandangan yang cukup jauh dari tempatnya, tapi, penglihatannya masih sangat jelas untuk mengenali dua sosok itu.
"Galen ... Listia?" guman Heera menyebut nama dua orang itu.
"Ah, gak mungkin, mana mungkin itu mereka," guman Heera menghapus pikiran buruk yang berseliweran di dalam kepalanya.
***
Mobil yang dinaiki Galen dan Listia berjalan keluar dari parkiran tempat di mana Listia bekerja. Jadi, memang yang dilihat Heera di parkiran itu bukanlah salah lihat. Memang, Galen datang ke kantornya, tapi, bukan untuk menjemput Heera, melainkan Listia.
"Jadi, kamu mau ke mana? Jangan ngambek terus dong, Sayang," bujuk Galen. Satu tangannya yang bebas menggenggam tangan Listia.
"Terserah."
"Listi, kamu tahu sendiri kan, gak mungkin aku bersikap cuek ke Heera, sementara aku sama dia gak ada masalah apa-apa, kamu harus ngertiin itu dong."
"Ya, aku tahu, dan aku harus selalu mengerti, enak banget sih kamu kalau ngomong, aku emang harus yang paling sabar karena aku yang ada di antara kalian, gitu kan?" ucap Listia dengan nada marah.
Galen tak bisa lagi menjawab apa cercaan dari Listia. Memang benar, selama ini Listia selalu bersabar dan mengalah demi hubungan mereka. Di satu sisi, Galen merasa sangat berat untuk mengakhiri hubungannya dengan Heera yang hampir menuju puncak pelaminan, tapi, di sisi lain,dia juga sangat mencintai Listia.
Tak bisa kah Galen memiliki keduanya?
"Galen! Kamu dengerin aku ngomong gak sih?" ucap Listia dengan nada tinggi.
"A-apa? Kamu ngomong apa, Sayang?" ucap Galen tergagap.
"Kamu lihat kaca spion, ada mobil Heera yang ngikutin kita, apakah lebih baik dia tahu sekarang?" ucap Listia dengan pandangan putus asa.
Dalam hatinya, Galen mengumpat marah, sejak kapan mobil Heera berada di belakangnya?
"Sejak kapan mobil Heera di belakang kita?" guman Galen merasa panik.
"Mana aku tahu, mungkin saja ... dia masih ada di kantor saat kamu jemput aku tadi," jawab Listia dengan tatapan putus asanya.
"Ah sial, aku masih belum siap untuk mengakhiri hubungan dengan dia," ucap Galen tanpa sadar sambil memukul roda kemudi.
"A-apa kamu bilang? Kalau kamu belum siap, aku yang akan mengatakannya pada Heera, berhentiin mobilnya sekarang!" kata Listia marah.
***