Rumah Nyonya

1042 Kata
Jenazah Suamiku Bab 7 : Rumah Nyonya "Mbak Wulan, ayo masuk!" Sebuah suara segera membuatku tersadar. "Eh, Pak Jaja .... " ujarku saat melihat Pak Jaja dan seorang wanita berseragam sama dengan pria paruh baya itu. "Mbak Wulan, kenalkan ini istri saya ... Namanya Yani. Dia ini kepala Asisten Rumah Tangga di rumah ini." Pak Jaja menunjuk wanita di sebelahnya yang ternyata adalah istrinya. "Selamat datang, Mbak Wulan." Wanita bernama Yani itu tersenyum ramah kepadaku. "Ayo, masuk ke dalam!" "Hmm ... Pak Jaja ... Winka--putri saya mana, ya?" tanyaku dengan mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Dik Winka ada di dalam. Ayo, kita masuk, Mbak Wulan!" Yani--istrinya Pak Jaja yang menjawab, ia langsung menggandeng tanganku dan melangkah menuju rumah megah di hadapan kami. Aku mengangguk dan menurut saja, dengan mengedarkan pandangan ke sekitar. Katanya di rumah ini mau ada acara, tapi kok sepi-sepi aja. "Assalammualaikum," ucapku saat langkah ini telah sampai di depan pintu. "Waalaikumsalam, Wulan." Wanita yang tempo hari mengenakan gamis putih itu menyambutku dengan pelukan hangat, wajahnya terlihat sangat ramah juga keibuan. "Iya, Nyonya." Aku mendadak kikuk di hadapan wanita yang kemungkinan besar adalah mamanya Si Tuan Rentenir. "Jangan panggil Nyonya, panggil saja Mama!" Dia kembali tersenyum. Aku meringis kaget, ada yang tidak beres ini, bagaimana mungkin dia minta dipanggil Mama? Dia tak berniat membuat aku menebus hutang Bang Wawan dengan menikahi putranya yang arrogant itu, bukan? Aiihh ... Mendadak meriang memikirkan hal konyol itu, amit-amit. Biarpun miskin dan sudah jadi janda, tapi aku takkan mau menjual diri kepada mereka. "Ayo duduk, Wulan!" Wanita itu mengajakku duduk di sofa yang sangat bagus tapi ingatku langsung tertuju kepada Winka, mana dia? "Maaf ... Nyonya ... Winka--putri saya mana, ya?" tanyaku. "Winka ada di atas, dia saya suruh istirahat dan makan. Dia kecapekan." Dia menjawab. "Hmm ... Nyonya ... Katanya ... Saya disuruh ke sini mau disuruh bantu-bantu karena ada acara. Ayo, sekarang saja kerjanya! Apa yang harus saya lakukan?" tanyaku sambil bangkit dari sofa. "Iya, acaranya nanti sore. Kamu istirahat dulu saja,Wulan. Bukannya kamu tadi di jalan mabuk kendaraan?" Dia tersenyum ramah sambil mengusap bahuku. "Iya, Nyonya, sekarang sudah sehat kok dan sudah bisa kerja," jawabku dengan tersenyum tipis. "Yani, antar Wulan ke kamar untuk istirahat saja dulu. Acaranya nanti sore kok." Wanita itu bangkit dari sofa dan segera berlalu. Aku terbengong, kok malah disuruh istirahat? Apa semua orang kaya aneh seperti mereka ini? Eh, amplop ini, bukannya aku mau mengembalikan kepadanya. Aku baru teringat akan isi tasku. "Nyonya, tunggu!" Aku segera berlari mengejarnya. "Iya, Wulan, ada apa? Sudah saya bilang ... Jangan panggil saya Nyonya!" Dia kembali tersenyum. Aku segera membuka tas dan mengeluarkan amplop itu dengan tergesa-gesa. "Nyonya ... Maaf ... Saya akan tetap memanggil anda Nyonya. Hmm ... Ini amplop yang Nyonya berikan kemarin ... Saya tak bisa menerimanya ... Isinya sangat banyak. Mohon maaf ... Ini ... Saya kembalikan .... " ujarku dengan gelagapan dan tangan yang bergetar, karena aku selalu takut dengan uang yang bukan hasil jerih payahku sendiri. "Wulan, kok dikembalikan sih?" Dahinya terlihat berkerut, menatapku dengan ekspresi aneh, namun amplop itu sudah kuberikan ke tangannya. "Maaf ... Nyonya, saya benar-benar minta maaf ... Saya tak bisa menerimanya. Masalah hutang almarhum suami, sudah membuat saya susah, jadi ... Saya tak mau menambah kesusahan karena saya ini orang tak punya dan saya ... Tak mau semakin menambah hutang .... " ujarku. Wanita itu terlihat menarik napas panjang. "Ya sudahlah, Yani antar Wulan untuk istirahat!" ujarnya kemudian. "Jangan marah, Nyonya!" Aku jadi sedikit tak enak hati karena telah menolak pemberiannya. "Nggak apa kok, Wulan. Saya semakin salut dan bangga sama kamu .... " Wanita mengelap buliran bening yang jatuh di pipinya. Ya Tuhan, dia menangis, apa gara-gara aku? Wanita itu segera berlalu dari hadapan dan aku jadi merasa bersalah. "Mbak Wulan, ayo saya antar ke kamar istirahat!" Yani menggandeng tanganku. Kami melangkah menuju sebuah pintu dan Yani langsung membukanya. Masyallah, ini ruangan kamar seperti di film-film. Aku terpana. "Mbak Wulan masuklah, saya akan bawa Winka ke sini." Yani berkata sambil tersenyum. Aku mengangguk. Yani segera berlalu dan aku malah kebingungan akan apa yang mau diperbuat sekarang. *** "Ibu .... " Winka berlari masuk ke dalam kamar di mana aku sedang berada. "Nak, kamu dari mana saja?" tanyaku saat gadis kecil itu memelukku dengan senyum bahagia yang masih membekas di wajah cantiknya. "Habis main, Bu, di lantai atas. Rumah ini sangat bagus, ya, Bu, dan Winka sangat senang sekali di sini," jawabnya. Belum sempat aku bertanya lebih jauh kepada Winka, Yani masuk ke dalam ruangan ini dengan mendorong meja kecil berisi makanan. "Mbak Wulan, Dik Winka, ayo makan siang dulu! Setelah itu baru istirahat biar sore nanti bisa bantu-bantu buat acaranya!" Yani mulai menata makanan yang dibawanya ke atas meja di mana ada sofa juga di dekatnya. Ruangan sangat luas dan lengkap, ruang tamu pun ternyata ada di kamar ini. "Winka, ajak Ibunya ke sini, Sayang!" panggil Yani seraya melambaikan tangannya. "Ayo, Bu, kita makan! Winka lapar," ujarnya sambil menarik tanganku untuk mendekat ke arah Yani berdiri sekarang. Aku menelan ludah saat melihat menu makanan yang disajikan Yani, ini seperti di surga, makanannya enak-enak. "Ayo, suapin, Winka, Bu! Winka sudah sangat lapar!" Winka menarik tanganku. "Eh, iya, Nak. Hmm ... Bu Yani, benaran makanan ini untuk kami?" tanyaku dengan kembali menelan ludah. "Iya, Mbak Wulan. Silakan dinikmati, saya akan tinggal ke luar dulu. Dihabiskan, ya!" Yani menjawab sambil tersenyum dan kemudian melangkah menuju pintu. Bismillahirrahmanirrahim ... Jika semua ini hanya mimpi, maka ijinkan kami dulu untuk memakannya sebelum terbangun nanti. Aku mulai mengambil nasi juga lauk pauknya dan menyuapi Winka. Aku sangat senang melihat Winka makan selahab ini, akhirnya dia bisa merasakan makanan enak ala orang kaya. Semoga saja, putriku ini bisa menjadi orang sukses jika sudah dewasa nanti dan tak mengalami hidup miskin seperti ayah dan ibunya. *** Usai makan siang yang sangat enak itu, Winka mengajakku untuk berbaring ke atas tempat tidur. Masyallah, kasurnya sangat empuk dan nyaman. "Nak, tadi ngapain saja di lantai atas dan sama siapa?" tanyaku sambil mengusap dahinya. "Main sama Ayah, Bu," jawabnya dengan mata yang sudah terpejam, ia terlihat sudah mengantuk. Hah, ayah? Ini pasti Si Tuan Rentenir yang dimaksud Winka 'ayah' itu. Aduh ... Semakin meresahkan saja keluarga orang kaya ini. Entah apa maksud dari semua ini? Siapa mereka sebenarnya? Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN