Bab 1 - Seperti Cinderella

1112 Kata
"Besok usia kamu bertambah. Mau kado apa?" tanya seorang pria dewasa sambil menatap sayang putri semata wayangnya. Bibirnya tidak henti menyunggingkan sebuah senyum. Di depannya, putri kecilnya sudah hendak remaja. Tepat besok pagi, usianya menginjak empat belas tahun. Gadis dengan kuncir kuda itu berpikir keras. Saat ini belum menginginkan sesuatu. Semua kebutuhan sudah dipenuhi tanpa dia minta. "Nanti akan aku pikirkan lagi, Pah. Dan Papah harus menuruti apa pun yang aku minta. Tanpa penolakan." Pria berusia 37 tahun itu dengan gemas mengacak rambut gadis kecilnya. "Iya, apa pun yang kamu mau, papah bakal turuti. Semuanya, tanpa kecuali. Karena kamu, kesayangan papah." "Cepat bersihkan! Jangan malas jadi anak!" Suara wanita itu meninggi, dibarengi dengan wajahnya yang mengeras. Mengerjap beberapa kali mendapati suara keras itu menghantam telinga. Mendapati wajah wanita yang seharusnya di panggil ibu itu yang sudah sangat marah. Menatap keliling dan baru menyadari. Karina terlalu larut dengan kenangan indah masa lalu. Mengingat betapa menyenangkan hidupnya dulu. Sebelum kedatangan dua orang yang mampu mengacaukan semua. Dua wanita yang kini berstatus ibu dan kakak tirinya. "Tunggu apa lagi? Bersihkan meja makan. Cuci semua piring kotor yang ada!" Menunduk dalam, meratapi hidupnya yang kini jauh berbeda. Dulu, jangankan mencuci piring, menyentuh keran air di dapur saja Karina tidak pernah. Hidup sebagai putri satu-satunya dari ayah kaya raya, membuat Karina selalu dilayani. Pekerja di rumah tidak akan membiarkan dia menyentuh pekerjaan rumah. Karina seperti seorang putri. Dia bahkan memiliki dua orang yang ditugaskan sang ayah untuk membantunya. Tapi sekarang? Tidak ada Karina yang seperti tuan putri. Yang ada hanyalah Karina yang bak pembantu, di istananya sendiri. Kisahnya mirip dengan tokoh Disney, Cinderella. Apa akhirnya hidup Karina akan bahagia setelah bertemu pangeran tampan dan bersedia menikahinya? "Non, biar bibi aja yang cuci piring. Non istirahat aja." Karina menatap lembut wanita tua yang sudah menemaninya selama ini. Asisten rumah tangga yang dengan setia bekerja di rumah ini bahkan sebelum Karina ada di dunia ini. Bi Asih. "Karina enggak papa kok, Bi. Kalau Bibi yang kerjakan, yang ada malah Bibi kena marah." Wanita yang sudah mengabdikan bertahun-tahun hidupnya itu menatap khawatir. Dia ingin berteriak, membela nona mudanya yang diperlakukan tidak adil. Tapi siapa yang akan percaya? Dua wanita rubah itu terlalu pandai memutar balikan fakta. "Ya sudah, Bibi siapkan makan malam buat Non Karina dulu, ya. Non pasti laper, baru pulang." Bergerak cepat memanaskan lauk yang dikhususkan untuk makan malam seluruh orang di rumah ini. Bukan makanan sisa, karena bi Asih sudah memisahkan sedikit untuk Karina. Mengangguk pelan. Walau kehidupannya di rumah ini seperti neraka, Karina beruntung karena memiliki bi Asih di sisinya. Tidak bisa bayangkan apa yang akan terjadi jika tidak ada wanita itu di sini. Karina pasti akan menderita sendirian. Tiap hari, selalu seperti ini. Hidupnya memang begitu menyedihkan. Makin parah jika sang ayah tidak ada di rumah. Perlakuan ibu dan kakak tirinya makin semena-mena. Apa Karina pernah mengadu? Jelas saja pernah. Beberapa kali, dan yang didapatkan adalah kecewa. Ayahnya tidak percaya apa yang dia ucap. Menuduh telah menjelekkan ibu dan kakak tirinya. Entah apa yang sudah dua wanita itu lakukan sampai pria yang dulu menyayangi dan mempercayainya, kini berubah sepenuhnya. Karina akui, jika dua orang itu begitu hebat. *** "Karina, bagaimana dengan kekurangan biaya yang sudah kamu janjikan?" Baru juga menginjakan kaki di ruang guru, Karina sudah ditanya mengenai kekurangan biaya spp yang belum bisa dia bayarkan. Memilin jemarinya gugup. Apa Karina akan dikeluarkan jika berkata belum bisa melunasinya? Atau ada sanksi yang akan dia terima? "Ma ... maaf, Bu. Saya belum mendapatkan uangnya," jawab Karina gugup. Dia sudah mengusahakannya, namun belum juga bisa mendapatkan. Harus seperti apa lagi Karina mencoba? Dia sudah hampir putus asa. Terdengar helaan nafas panjang yang ternyata dari wali kelasnya itu. "Saya tidak tahu apa yang menyebabkan kamu belum juga menyelesaikan p********n. Kamu berasal dari keluarga yang berada. Sangat tidak mungkin jika ayah kamu tidak memberikannya. Setahu saya, kakak kamu juga sudah membayarkan sepenuhnya. Jika ada masalah, kamu bisa ceritakan dengan ibu. Kali saja ibu bisa bantu cari jalan keluar." Karina mendongak. Matanya berkaca. Tidak menyangka jika wali kelasnya berkenan mendengar keluh kesahnya. Tapi, apa tak masalah jika Karina menceritakan masalahnya? Itu akan menyeret nama baik keluarganya. "Saya bingung harus mulai dari mana, Bu. Saya ... saya tidak tahu apa ini boleh diceritakan pada orang lain atau tidak. Saya takut kalau akan menimbulkan masalah baru, Bu." Wanita dengan name tag Retno itu mengernyitkan keningnya. Apa benar tebakannya? Jika salah satu siswinya tengah dilanda masalah? Menuntun agar Karina keluar dari ruang guru. "Kita bicara di ruang BK saja. Di sini terlalu ramai." Jam istirahat, semua guru kembali ke ruangan. Dan itu mungkin akan membuat Karina tidak nyaman. Mengekor di belakang tubuh wali kelasnya. Matanya sempat bertatap dengan kakak tirinya yang menyeringai. Tidak sampai sedetik, Karina sudah mengalihkan pandang. Di dalam ruang BK, Karina mulai menceritakan semuanya. Awal mula terjadinya masalah, sampai permasalahan yang kini menerpa. Semua dia ceritakan. Dengan diiringi air mata yang enggan berhenti. "Ibu akan bicarakan masalah ini dengan kesiswaan. Dan semoga saja mereka akan memberikan keringanan untuk biaya spp kamu. Walau tidak bisa menghapuskan seluruhnya, setidaknya kamu bisa diberikan waktu lebih lama. Apa tak masalah?" Karina ingin menggeleng. Dia sebenarnya enggan jika ada lebih banyak orang yang mengetahui. Tapi menyadari ini satu-satunya cara, akhirnya menganggukkan kepala. "Baik, Bu. Terima kasih banyak untuk bantuannya. Terima kasih juga karena Ibu sudah mendengarkan dan mau percaya." "Ini sudah tugas ibu sebagai wali kelas kamu. Sekarang kamu bisa ke kelas." Meninggalkan ruang BK dengan perasaan yang sedikit lega. Setelah ini, Karina harus lebih giat mencari pundi-pundi uang untuk menutup biaya sekolah. Harusnya memang masih menjadi kewajiban sang ayah. Namun setelah keuangan di serahkan pada ibu tirinya, Karina jadi selalu kelimpungan seperti ini. Nenek sihir itu selalu mengatakan sudah memberikan uang bulanan dan sekolah untuk Karina pada ayahnya. Namun kenyataannya, tidak sama sekali. Kalaupun memberi, ya hanya sedikit. Tidak sampai setengah dari jatah seharusnya. Wanita itu terlalu serakah. "Gimana? Dapet hukuman lagi, ya? Kasihan banget sih, adik aku ini." Gadis dengan tampilan modis itu memasang wajah mengejek. Mengasihani nasib buruk adik tirinya. "Kalau miskin, mending jangan sekolah di sekolah elit kaya gini, deh. Sana sekolah di pinggiran aja." Tangan Karina mengepal. "Siapa yang miskin? Bukannya kamu sama ibu kamu? Sebelum menguasai harta papah aku, tentunya. Benar begitu, kakak tiri?" Tanpa menunggu respons kakak tirinya, Karina berlalu. Dia muak harus lebih lama berhadapan dengan si tidak tahu diri. Bagaimana bisa dengan percaya diri mengejek Karina miskin, padahal dia sendiri yang lebih pantas di cap orang miskin? Sebelum ibunya menikah dengan ayah Karina, dua orang itu hanya tinggal di rumah sederhana yang hampir roboh. Tiap harinya bekerja keras demi bisa terus mengisi perut. Selain miskin harta, dua wanita itu juga miskin attitud, dan lainnya. "Sialan!"

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN