PP-07

1395 Kata
Nadien menenteng lunch bag yang telah ia siapkan untuk Daniel. Hari ini, pekerjaannya tidak terlalu banyak. Jadi, Nadien memutuskan untuk berusaha menemui Daniel lagi. Ia harap siang ini Daniel sedang dalam emosi yang stabil. "Selamat siang. Ibu mau bertemu Pak Daniel?" tanya sekretaris Daniel sampainya Nadien di depan ruangan Daniel. Nadien mengangguk. "Maaf ada perlu apa ya, Bu?" tanya sekretaris itu lagi. "Hmm.. ada beberapa hal pribadi yang ingin saya katakan pada suami saya. Dia ada di dalam, kan?" Kini giliran Nadien yang bertanya. "A.. a.. ada, Bu. Tap.. tapi..." "Sudahlah saya langsung masuk saja," potong Nadien kemudian melewati sekretaris itu. Nadien membuka pintu ruang kerja Daniel dengan tenang, dan sangat berhati-hati agar tak mengganggu suaminya. "Daniel, aku bawakan-" ucapan Nadien terhenti ketika melihat pemandangan tak pernah ia sangka kini terpampang jelas di hadapannya. Daniel, suaminya yang sudah tidak pulang selama hampir seminggu karena kesalah pahaman yang terjadi di antara mereka itu, kini sedang berpelukan mesra dengan seorang perempuan. Namun, mendengar suara Nadien, keduanya pun segera mengurai pelukannya. "Ka.. ka.. kamu..." Nadien mencoba mengingat-ingat sosok perempuan yang tadi berpelukan dengan suaminya itu. Dia tampak tidak asing. "Mau apa lagi kamu ke sini?" tanya Daniel dengan nada dingin. Nadien kira, waktu akan meredam amarah Daniel. Nadien kira, jika ia mengalah dan diam untuk beberapa hari, suaminya itu akan merindukannya dan sedikit melupakan permasalahan yang terjadi di antara mereka. Tapi ternyata dugaan Nadien salah. "Aku ke sini bawa makan siang untuk kita," balas Nadien lirih. Ada perasaan aneh, sakit, marah, bercampur kecewa melebur jadi satu ketika ia melihat perempuan di samping Daniel yang masih enggan beranjak dari tempatnya. "Kamu Helen, kan?" tanya Nadien meyakinkan. Kalau ia tidak salah ingat, gadis itu adalah Helen. Sahabat Daniel dan Vania sejak kecil. Tapi, melihat kedekatan Daniel dan Helen tadi, apa benar hubungan mereka hanya sebatas 'sahabat'? "Pulanglah!" usir Daniel dengan nada tenang. Mata Nadien terbelalak kaget. Bukannya pergi, Nadien malah mendekat kemudian meletakkan lunch bag nya di atas meja. Ia mulai mengeluarkan satu per satu isinya kemudian menatanya. "Aku sudah menyiapkan ini semua agar kita bisa makan bersama. Kita perlu bicara banyak hal. Jadi aku-" 'PRANGGG!!' Baik Nadien maupun Helen sama-sama terkejut mendengar suara bising yang terjadi akibat Daniel yang menyingkirkan semua makanan yang sudah Nadien tata di atas meja. "Dan, aku sudah menyempatkan masak ini buat kamu," protes Nadien dengan sisa kesabaran yang mulai menipis. "Aku tidak pernah minta. Lebih baik sekarang kamu pulang! Aku muak melihat kamu di sini," usir Daniel. "Dan! Harus berapa kali aku bilang kalau kalian semua cuma salah paham? Bukan aku yang mendorong Vania," terang Nadien. Alasan utamanya datang ke sini adalah untuk mencoba membicarakan hal itu lagi pada Daniel. "Lalu siapa? Vania yang dorong dirinya sendiri? Saat itu cuma ada kamu, Nad. Dan bahkan sebelum kejadian, Andrea bilang dia dengar suara Vania yang sedang ribut sama kamu," balas Daniel. Nadien menggeleng. Benar-benar bukan ia pelakunya? Kenapa tak ada seorang pun yang percaya padanya, bahkan suaminya sendiri? "Bukan aku. Aku benar-benar sudah berubah, Dan. Aku nggak mau jahatin Vania lagi. Kamu harus percaya itu!" pinta Nadien dengan nada memohon. Daniel tersenyum miring. Membuat Nadien semakin takut dibuatnya. "Mempercayai pendusta seperti kamu? Cih..." balasnya remeh. "Dan-" gadis itu - Helen mulai bersuara memanggil suami Nadien. "Lebih baik kita yang pergi dari sini, Len!" Daniel menarik lengan Helen agar ikut serta dengannya meninggalkan ruangan ini. Hingga akhirnya, hanya menyisakan Nadien saja beserta makanan yang berserakan di lantai. Tubuh Nadien seketika merosot. Melihat suaminya berpelukan se-intim itu saja rasanya sudah sangat sesak. Tapi ia berusaha diam agar masalah yang kemarin tidak semakin besar. Tapi kenapa kini Daniel malah memilih pergi dengan perempuan itu? Nadien menangis tersedu-sedu. Hati perempuan mana yang tak sakit ketika melihat suaminya memilih pergi dengan perempuan lain, dibanding bicara dengan istrinya sendiri? Nadien selalu bertanya-tanya, kenapa ini semua terjadi? Kenapa cobaan terus saja datang di waktu bersamaan? Kesalahan apa yang sudah Nadien lakukan di masa lalu sampai ia harus dihukum seberat ini. Tidak ada cara lain. Ia harus berusaha menemui Vania lagi. Ia pun bergegas pergi ke rumah sakit untuk bisa bicara pada Vania. Nadien masih sangat ingat, di ruangan mana Vania di rawat. Saat ini, hanya Vania lah kunci dari segala permasalahannya. Hanya mulut Vania yang akan mengembalikan keutuhan rumah tangganya dengan Daniel. "Tunggu!" Nadien bergegas menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah sumber datangnya suara. Dan saat itulah, tangisnya kembali pecah. Andrea. Pria itu berjalan ke arah Nadien dengan cukup santai. Tatapannya terhadap Nadien, sangat berbeda dengan dulu. Keramahan dan kehangatan yang dulu selalu Andrea curahkan melalui tatapannya terhadap mantan kekasihnya itu kini sudah 180 derajat berubah. "Mau apa kamu ke sini?" tanya Andrea dingin. Nadien terkejut mendengar nada suara Andrea yang lain dari biasanya. "K.. k.. kamu masih menuduhku juga, Ndre? Apa kamu nggak bisa percaya padaku?" tanya Nadien sembari terisak. Andrea memilih tak menjawab. Ia menatap ke arah lain. Menghindari beradu tatapan dengan wanita di hadapannya. "Tolong kamu pergi dari sini! Kehadiranmu hanya akan membuat Vania semakin droup," usir Andrea. Nadien melebarkan pupil matanya. Dua kalimat usiran itu sudah cukup untuk menjawab semua pertanyaannya. "Ndre, bukan aku pelakunya," cicit Nadien. Namun Andrea masih enggan mendengarkannya. "ANDREA!" Baik Andrea maupun Nadien, segera menoleh ke arah datangnya sumber suara. Tampak lah di sana Rafael, kakak dari Vania yang menatap mereka dengan nyalang. "Untuk apa kamu bawa wanita iblis ini ke sini?" tanya Rafael tajam. "Bukan saya, Kak. Dia datang sendiri. Dan saya sudah mencoba untuk mengusirnya," terang Andrea. Kini tatapan Rafael mengarah pada Nadien. Rafael melemparkan tatapan penuh intimidasi, khas milik keturunan laki-laki keturunan keluarga Renandi. "Pergi!" usir Rafael. Nadien menggeleng lemah. Ia harus menguatkan mentalnya jika ia ingin masalah rumah tangganya cepat selesai. "Saya mau bertemu dengan Vania. Tolong izinkan saya bicara dengannya. Saya mau meluruskan semuanya," pinta Nadien. Ia cukup tahu, dengan siapa ia kini berhadapan. Rafael Renandi. Penerus utama Renandi's Group, sekaligus kakak kandung dari Devania Putri Renandi. Orang yang sama sekali tidak bisa ia sepelekan. "Saya bilang pergi!" ulang Rafael dengan nada mulai geram. "Andrea! Sebaiknya kamu cepat menemui Dev! Jangan buang-buang waktumu di sini!" suruh Rafael pada adik iparnya. Andrea mengangguk. Ia pun hendak beranjak, namun lebih dulu Nadien berhasil menahannya. "Ndre, bantu aku, Ndre! Aku mau bicara sama Vania," pinta Nadien. Andrea mengibaskan tangannya dari lilitan Nadien. Kemudian ia pergi tanpa sepatah katapun lagi. "Kak, saya mohon. Saya harus bicara pada Vania. Bukan saya yang dorong dia." Nadien terus saja memohon. "PERGI!" teriak Rafael mulai terbawa emosi. Ia bahkan sampai mendorong Nadien karena emosinya yang sudah tak terkontrol lagi. "Saya tidak akan pergi. Saya mohon! Rumah tangga saya di ujung tanduk. Saya harus menyelamatkan rumah tangga saya," kekeh Nadien. Rafael tersenyum miring, "malah aku berharap Daniel segera menceraikan wanita iblis seperti kamu," ujarnya sinis. Nadien menggeleng kuat. Ia tak mau rumah tangganya benar-benar hancur karena kesalah pahaman ini. Rafael menjentikkan jarinya hingga dua orang bertubuh kekar menghampirinya. "Usir dia! Dan pastikan dia tidak akan bisa mendekat ke ruang rawat Devania lagi!" suruh Rafael. Dua orang perperawakan besar itu mengangguk, kemudian mulai memegangi tangan Nadien. "Nggak. Saya nggak mau pergi! Saya mau bertemu dengan Vania," Nadien memberontak. "Seharusnya kamu nikmati saja waktu-waktumu di luar penjara itu, Nona Nadien Elena. Sudah untung kami tidak menuntutmu, karena telah menghilangkan salah satu penerus keluarga Renandi. Jadi mulai sekarang, pergilah atau kamu akan menyesal!" ujar Rafael sebelum pergi. Nadien terus berusaha memberontak. Ia juga masih terus berteriak memanggil nama Vania dan Andrea. Berharap ia memiliki kesempatan untuk meminta Vania agar ia mau menjelaskan semuanya. Tapi, keluarga Renandi bukan keluarga sembarangan. Akan sangat sulit menembus pertahanan mereka. Apalagi ini berhubungan dengan Vania, salah satu pewaris besar di Renandi's Group. *** Bersambung... Sudah mau masuk ke cerita yang sesungguhnya. Sampai sini, kan masih kayak other side Devania 2, nah habis ini akan lebih fokus ke masalah Nadien dan Daniel. Sudah siap, semuanya? Oh ya, aku mau ingatkan kepada para pembaca, untuk jangan beli ebook bajakan yang harganya lebih murah dari beras sekilo itu! Sakit banget loh rasanya. Aku kemarin sempat down karena melihat ceritaku dijual gocengan. Menulis itu tidak mudah, jadi mari kita sama-sama apresiasi satu sama lain. Tugas penulis adalah menulis, menyediakan konten. Tugas pembaca adalah membaca,.di tempat yang benar tentunya. Kalau memang cerita itu berkoin dan teman-teman susah belinya, silakan klaim koin gratis setiap hari di bagian "hadiah". Atau teman-teman bisa chat penulis, untuk menanyakan apakah cerita tersebut ada di platform lain atau mungkin sudah cetak. Terima kasih sudah sabar menunggu :))
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN