PP-05

1291 Kata
Entah sudah berapa kali Nadien melihat jam di ponselnya. Dan kini, waktu sudah menunjukkan pukul 21.40. Sudah semalam ini, tapi Daniel belum juga pulang. Nadien menatap nanar masakannya yang sudah dingin. Sejak maghrib tadi, tak kurang dari dua puluh kali Nadien menghubungi Daniel. Tapi, lelaki itu tak pernah mengangkat teleponnya. "Ssshh..." Nadien merasakan perih di perutnya yang memang seharin ini belum terisi sama sekali. Bahkan, matanya pun ikut memanas. Ia menelangkup wajahnya dengan kedua tangannya. Tangisnya kembali pecah. Dia benar-benar merasa lemah. Dan ia tidah tahu harus berbuat apa. "Apa Daniel masih marah? Kenapa dia bahkan tidak mau mengangkat teleponku atau mengirim pesan?" lirih Nadien dengan suara serak. Meski perutnya terasa perih, Nadien tak memiliki sedikit pun napsu untuk menyantap hidangan di hadapannya. Ia berjalan gontai masuk ke kamarnya yang berada di lantai dua. Tubuhnya terasa lemah, tapi sepertinya ia tidak akan dapat beristirahat dengan mudah. Sepertinya ia akan terjaga untuk waktu yang lama. Pikirannya kacau. Dia tak punya banyak teman di Indonesia. Meskipun ada, tak ada yang sedekat Daniel dengan Andrea. Dan kini dua lelaki itu sedang salah paham dengannya, bahkan tidak mau mendengar penjelasannya sama sekali. "Vania. Iya, Vania. Semoga dia cepat sadar dan menjelaskan semuanya. Hanya dia yang bisa membantuku disaat seperti ini," ujar Nadien sembari memeluk erat gulingnya, lalu menenggelamkan wajahnya di sana. Hatinya sungguh terasa sesak. Dan lebih parahnya, ia tidak punya teman berbagi sama sekali. Karena tidak mungkin disaat seperti ini ia menemui ayahnya lalu mengadu pada laki-laki yang semakin menua itu. Yang ada, Nadien hanya akan membebani pikiran ayahnya. Dan Nadien tidak mau hal itu terjadi. * Rasanya baru saja Nadien memejamkan matanya. Bahkan ia belum sempat bermimpi. Namun, kesadarannya perlahan kembali saat mendengar suara gaduh di dekatnya. Nadien mulai membuka matanya. Bibirnya langsung membentuk senyum saat mendapati Daniel sudah kembali dan kini sibuk mengancingkan kemejanya. Sepertinya pria itu baru saja selesai mandi. Dan Nadien baru sadar kalau ternyata hari sudah menjelang pagi. Nadien bangkit berdiri, lalu melingkarkan tangannya di perut suami yang sangat ia rindukan itu. Ia bahkan sampai lupa dengan kondisinya yang lemah dan perutnya yang sejak kemarin belum terisi. "Kamu kenapa nggak bangunin aku?" tanya Nadien lembut. Nadien dapat merasakan sentuhan Daniel di kedua tangannya. Bibirnya kembali mengulas senyum, sebelum senyum itu kembali musnah ketika Daniel menarik tautan tangannya yang membuat pelukannya terlepas. "Singkirkan tanganmu itu!" ujar Daniel dingin. Nadien melangkah ke hadapan laki-laki itu. Namun, Daniel malah pergi menyingkir. Laki-laki itu mengambil dasi kemudian memakainya dengan posisi membelakangi Nadien. "Dan, kamu-" "Diamlah! Aku sedang tidak ingin mendengar suaramu." Nadien menelan salivanya kasar mendengar ucapan suaminya itu. Nadien tak mau menyerah dengan keadaan. Ia tetap berusaha memasang senyum manis meski hatinya terluka. "Aku akan buatkan sarapan buat kamu. Tunggu seben-" "Tidak perlu. Aku ada meeting pagi ini," potong Daniel lagi sembari membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Nadien. Nadien dapat merasakan adanya sesuatu yang beda dari tatapan suaminya itu. Apa laki-laki itu benar-benar masih marah? Atah karena ia hanya sedang lelah? Karena lingkar matanya tampak gelap, sepertinya semalam ia kurang beristirahat. Nadien berjalan mendekat dan menyentuh kantung mata Daniel. Baru dua detik, sebelum akhirnya Daniel mencekal tangannya dan menurunkannya kembali. Daniel meraih sebuah tas kemudian berjalan tergesa keluar dari rumah. "Dan, kamu serius nggak mau sarapan dulu? Atau mau aku antarkan bekal nanti siang?" tanya Nadien sembari mengikuti langkah lebar Daniel, meski dengan tubuh bergetar seperti mau pingsan. "Tidak perlu," balas Daniel masih dengan nada dingin. "Kamu-" kali ini ucapan Nadien terhenti karena suara pintu yang tertutup cukup keras, tepat di depan wajahnya. Mungkin, jika kurang beruntung wajahnya sudah menabrak pintu itu. Matanya kembali terasa memanas. Apakah Daniel semarah itu dengannya? Padahal ia belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apakah Vania masih belum sadar dan belum mengatakan semuanya? Sepertinya Nadien harus kembali ke rumah sakit untuk memastikan keadaan Vania. Sekalian ia minta tolong pada Vania agar mau bersaksi bahwa bukan dia lah yang mendorong dan menyebabkan Vania celaka. Nadien baru saja berniat melangkah ketika perutnya kembali terasa perih. Kaki dan tangannya juga bergetar. Ia segera meraih benda apapun yang bisa menopang tubuhnya, kemudian ia menuju ke sofa untuk merebahkan tubuhnya di sana. Kepalanya terasa pening. Kenapa di saat seperti ini ia tidak memegangi ponselnya? Harus bagaimana ia mencari pertolongan sekarang? Sesekali Nadien menepuk kepalanya yang juga terasa pening. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk beristirahat sejenak. Kali ini, Nadien bisa tidur untuk waktu yang cukup lama. Ia terbangun ketika merasakan tubuhnya digoncangkan. "Daniel," igaunya. "Nadien, bangun! Kamu demam," "Daniel," Nadien tersenyum. "Ini Papa, Nadien! Bangunlah! Kita harus ke rumah sakit sekarang!" Perlahan, Nadien membuka matanya. "Papa?" kagetnya. Sekuat tenaga Nadien memaksakan diri untuk menegakkan tubuhnya. "Jangan dipaksakan kalau memang tidak bisa! Kamu demam. Papa akan coba telepon Daniel agar dia segera pulang." Nadien menahan tangan ayahnya. Ia menatap ayahnya memelas, kemudian menggeleng. "Aku cuma kangen sama Papa. Aku nggak sakit kok, Pa. Nggak perlu telepon Daniel, nanti dia khawatir," ujar Nadien lembut. Adam dapat merasakan ada yang aneh dengan sikap putrinya. Seperti ada hal lain yang Nadien sembunyikan. "Kamu ada masalah dengan Daniel?" selidik Adam sembari duduk di samping putrinya. Nadien menggeleng, 'maaf kali ini Nadien harus bohong ke Papa. Nadien nggak mau Papa khawatir. Sudah cukup Nadien buat Papa susah selama ini,' batin Nadien. "Memang sejak kemarin mulut Nadien rasanya pahit, Pa, jadi napsu makan Nadien berkurang. Daniel mau mengantar Nadien ke dokter, tapi Nadien nggak mau. Karena Nadien rasa, ini cuma karena Nadien kangen Papa. Jadi Nadien izin ke Daniel buat ke rumah Papa hari ini. Eh... malah Nadien ketiduran di sini. Hehe...," dusta Nadien. Adam tersenyum lembut kemudian menarik Nadien ke dalam dekapannya. "Sini! Peluk Papa biar kangennya hilang dan kamu jadi sehat lagi!" ujarnya lembut. "Akhir-akhir ini Daniel sibuk jadi harus pulang terlambat. Boleh nggak, Pa, kalau Nadien nginep rumah Papa? Nadien kesepian," pinta Nadien. "Boleh. Asal izin sama suami kamu. Kalau perlu, ajak sekalian saja Daniel menginap di rumah!" usul Adam. Nadien menggeleng, "kasihan. Jarak rumah kita ke kantor Daniel jauh. Dan saat ini dia lagi banyak project, Pa," elak Nadien. Adam kembali dapat merasakan sesuatu yang tidak beres pada putrinya. Tapi ia tahu, bertanya pun akan percuma. Nadien tak akan menjawab dengan jujur pertanyaannya. "Ya sudah terserah kamu saja. Ayo Papa antar siap-siap! Nanti Papa pesankan makanan dulu sebelum kita ke rumah Papa," ujar Adam yang langsung diangguki Nadien. Begitulah Nadien. Dia adalah sosok anak yang sangat patuh pada ayahnya. Hanya Adam yang Nadien miliki setelah bertahun-tahun lalu ibunya meninggal. Sebelum akhirnya Daniel menikahinya. Selesai mandi dan berkemas, Nadien segera ke ruang makan. Ternyata ayahnya sudah menyiapkan makanan untuknya di sana. "Makan di sini saja, ya! Di meja makan penuh makanan yang sepertinya sudah basi. Nanti Papa akan suruh orang buat beresin. Tapi, memangnya tadi Daniel tidak sarapan?" tanya Adam. "Hmm... itu, sebenarnya sejak kemarin Daniel melarangku masak. Semalam dia pesan makanan online juga, Pa. Jadi masakanku malah nggak kemakan," ucap Nadien. Adam mengangguk percaya kemudian menyodorkan sepiring makanan untuk putrinya. "Bisa kan makan sendiri? Apa perlu Papa suapin?" tawarnya setengah bercanda. Nadien terkekeh kemudian menggeleng. "Putri Papa ini sudah besar, kalau Papa lupa," "Bagi Papa, kamu itu putri kecil Papa. Selamanya kamu akan menjadi putri kecil Papa meskipun suatu hari nanti kamu sudah punya anak," ujar Adam sembari mengusap kepala putrinya. Nadien tersenyum lebar. Sejenak, ia bisa melupakan masalahnya kemarin. Sepertinya, menghabiskan waktu beberapa hari dengan Adam adalah pilihan yang tepat. Ia butuh Adam di sisinya, selama Daniel menghindarinya. *** Bersambung .... Bagaimana dengan chapter ini? Kuy ramaikan kolom komentarnya :)) Tenang saja, semuanya baru akan dimulai. Ini masih masuk bagian perkenalan, masih jauh dari konflik utamanya. Dan Nadien, bukanlah wanita yang selemah itu. Pokoknya wajib banget pantengin cerita ini. Jangan sampai kelewatan  Terima kasih sudah mampir :) Oh iya, yang kemarin mau baca BELUM JODOH tapi nunggu tamat, sekarang udah tamag tuh.. serbu, gih! :D
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN