PP- 13

1310 Kata
Nadien berusaha menjalani hari-harinya seperti biasa meskipun kini ia bukan lagi seorang bos besar. Hidup Nadien berubah seratus delapan puluh derajat. Kini ia hanyalah seorang staff personalia biasa, sangat jauh jika dibandingkan dengan posisinya dulu. Bahkan ruangan kerja ini pun berukuran lebih kecil dari ruangannya dulu. Terlebih, kini ia harus berbagi ruangan dengan beberapa pegawai lain. "Mbak Nadien, tolong cek ulang data ini, ya?" "Nadien, kamu tahu map warna coklat milik saya?" "Nadien, nanti kalau kamu ke pantry, nitip bawain saya teh, ya!" "Nadien, bantu saya mengerjakan ini, ya! Ini terlalu banyak untuk saya kerjakan sendiri," Nadien kira, gosip tentang pegawai baru yang sering dimanfaatkan para seniornya itu hanya ucapan yang dilebih-lebihkan. Tapi ternyata, kini ia bahkan mengalaminya sendiri. Bahkan pekerjaannya belum selesai. Namun ada saja yang meminta tolong ini dan itu padanya. Nadien, sudah hampir jam lima. Kamu nggak berkemas untuk pulang?" tanya Novi yang duduk di sampingnya. "Masih belum selesai, Mbak," ujar Nadien. Wanita itu masih sibuk berkutat dengan komputer di depannya. "Nadien, boleh minta tolong periksa ulang laporanku? Sudah selesai, hanya saja belum aku cek lagi. Aku harus membawa anakku ke rumah sakit karena dia demam," pinta Monik, salah satu seniornya juga. Nadien memasang senyum terpaksanya, kemudian mengangguk. "Ya udah, Mbak nggak apa-apa nanti saya cek," balasnya terpaksa. Memang dia bisa apa lagi? "Nad, aku pulang duluan, ya?" pamit Novi. Nadien mengangguk. Kemudian Novi segera menyusul langkah Monik yang sudah keluar lebih dulu. Tersisalah Nadien dan Bu Sarah di ruangan itu. Bu Sarah adalah manajer yang cukup bertanggung jawab. Selama yang Nadien tahu, Bu Sarah selalu pulang terakhir dibanding pegawai lain. "Loh, Nadien belum pulang juga?" tanya Bu Sarah yang baru saja keluar dari ruangan kecil berbataskan kaca dengan ruangan tempat Nadien berada. "Belum, Bu. Masih harus masukkan data ke database dan mengecek beberapa laporan gaji karyawan," balas Nadien seadanya. "Yang sabar ya, namanya pegawai baru, pasti dianggap paling junior oleh pegawai lain. Padahal pengalaman kerja kamu jauh di atas mereka. Tapi saya salut sama kamu. Kamu mau bekerja sekeras ini meski dulunya kamu yang tugasnya minta tolong orang lain." Bu Sarah tentu saja tahu semuanya. "Nggak juga kok, Bu. Saya biasa aja. Pekerjaan saya dulu juga sama saja membuat saya sering lembur begini. Jadi saya sudah biasa," balas Nadien. Bu Sarah tersenyum. "Mau titip bawain minuman? Cangkir kamu sudah kosong. Saya mau ke pantry," tawar Bu Sarah. Nadien menegakkan badannya. "Biar saya saja, Bu. Ibu mau minum apa?" tawar Nadien balik. Bagaimana pun juga ia merasa tidak enak kalau membiarkan Bu Sarah ke pantry, apalagi sampai membawakan minuman untuknya. Nadien masih cukup tahu diri, tentang siapa dia sekarang. "Tidak apa-apa. Lagi pula saya mau refreshing. Kan capek mantengin layar komputer terus, Nad. Sini nanti saya bawakan minum," ujar Bu Sarah. Nadien meraih kembali cangkir yang sudah Bu Sarah ambil. "Tidak perlu, Bu. Saya ambil sendiri saja nanti," tolak Nadien tidak enak hati. "Mbak belum pulang?" Bu Sarah dan Nadien menoleh bersamaan ke arah sumber suara. Dia adalah Radika, direktur utama perusahaan tempat Nadien kini bekerja. "Belum. Kamu sudah selesai?" tanya Bu Sarah. Bu Sarah adalah kakak kandung dari Radika. Jadi cara berkomunikasi mereka memang santai, tidak seperti bos pada pegawai lainnya. "Hmm. Aku pulang dulu ya?" pamit Radika. Nadien melongo. Setega itu bosnya meninggalkan kakaknya yang masih belum menyelesaikan pekerjaannya? "Jangan dong! Bantuin Mbak kek!" pinta Bu Sarah. Nadien sempat terkejut saat tatapan Radika beralih padanya. "Itu pegawai baru yang Mbak ceritakan kemarin?" tanya Radika. Nadien menyerit. Ia yakin kalau yang Radika tanyakan saat ini adalah tentang dirinya. Tapi, memang apa yang sudah Bu Sarah katakan padanya? "Iya. Namanya juga pegawai baru, pasti banyak dimanfaatkan sama senior-seniornya. Iya kan, Nadien?" Bu Sarah mulai mengajak Nadien ambil suara. "Hehe.. tidak apa-apa kok, Bu," balas Nadien. "Hh.. ya sudah apa yang perlu aku bantu?" tanya Radika sambil melangkah masuk. "Lihat saja di meja kerja Mbak! Mbak mau ke pantry dulu," ujar Bu Sarah kemudian berjalan keluar. Radika pun segera masuk ke ruang kerja Bu Sarah. Jadi, kini hanya ada Nadien dan Radika di ruangan itu. Jujur, hal itu membuat Nadien merasa kurang nyaman. Ia tidak biasa berada di ruangan hanya berdua dengan laki-laki yang menurutnya asing. Apalagi ini mulai malam, dan keadaan di luar sudah sepi. Nadien berusaha fokus pada pekerjaannya. Ia berusaha menyelesaikannya secepat mungkin agar ia bisa segera keluar dari ruangan ini. "Mbak yang di luar!" seru Radika. Nadien tahu, yang bosnya itu maksud adalah dirinya. "I... iya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Nadien. "Laporan gaji pegawai bulan November dan Desember ada di kamu tidak? Apa sudah selesai?" tanya Radika. Nadien membuka berkas di map biru yang tadi Monik berikan padanya. "Oh... ini ada, Pak. Tapi belum saya cek ulang," ujarnya. "Tidak apa-apa. Boleh bawakan ke sini?" Radika. Nadien menelan salivanya. Ia merasa tidak nyaman dengan suasana seperti ini. Tapi, ia berusaha profesional. Ia pun segera membawa berkas itu ke ruangan Bu Sarah, yang kini tengah ditempati oleh Radika. "Ini, Pak, laporan yang Bapak minta," ucap Nadien sembari meletakkan berkas itu di meja. "Oke. Terima kasih ya. Kamu boleh kembali." Nadien mengangguk, kemudian kembali ke tempatnya. Dua jam berlalu. Nadien merenggangkan tubuhnya ketika layar komputer di depannya sudah mati. Pekerjaannya baru saja selesai. Ia juga sudah mengirim pesan pada ayahnya kalau ia akan segera pulang. "Bu Sarah, Pak Radika, saya permisi pulang dulu ya?" pamit Nadien. "Eh? Sudah selesai?" tanya Bu Sarah. Nadien mengangguk. "Rumah kamu di mana, Nad? Jauh? Kamu berani pulang sendiri jam segini?" tanya Bu Sarah bertubi-tubi. "Nggak jauh kok, Bu. Komplek Puri Cempaka, Bu," jawab Nadien. "Pulang bareng kita aja! Kita searah kok," usul Bu Sarah. "Hmm.. tidak usah, Bu. Saya bawa mobil kok," tolak Nadien. Nadien sempat melirik ke arah Radika, yang ternyata kini juga sedang menatapnya. Nadien pun menjadi salah tingkah dibuatnya. "Ya nanti kita ikutin kamu dari belakang. Ini sudah malam loh, Nad. Bahaya pulang sendirian," desak Bu Sarah. Akhirnya, Nadien mengangguk kaku. Ia tidak tahu lagi bagaimana cara untuk menolak ajakan Bu Sarah. Lagi pula, maksud wanita itu juga baik. Selang beberapa menit, pekerjaan Bu Sarah dan Radika selesai. Mereka bertiga pun berjalan beriringan keluar dari kantor. "Suami kamu nggak ada niat buat jemput, gitu istrinya lembur? Oh iya, dia kerja di mana?" tanya Bu Sarah sambil menarik Nadien agar berjalan di sampingnya. "Hmm... enggak, Bu. Diaa.. dia juga bekerja di perusahaan," jawab Nadien kikuk. Kenapa sih Bu Sarah pakai menanyakan soal suami Nadien? "Oh ya? Dia juga sering lembur?" tanya Bu Sarah lagi. Nadien mengangguk. "Pasti posisinya sangat penting di perusahaan. Jadi penasaran sama suami kamu. Pasti sosok yang pekerja keras," ujar Bu Sarah. Nadien tertawa samar. Ia benar-benar tidak nyaman membicarakan tentang Daniel. "Sudahlah, Mbak. Jangan tanyakan hal-hal privasi seperti itu! Nggak lihat apa, dia nggak nyaman gitu?" tegur Radika. Bu Sarah menghentikan langkahnya. Wanita itu menatap lekat wajah Nadien hingga membuat Nadien tersentak kaget. "Ibu-" "Duh, maaf, ya kalau saya tanya hal-hal yang terlalu pribadi," ujar Bu Sarah. Nadien jadi merasa tidak enak. Ia hampir menimpali, tapi Bu Sarah sudah kembali menariknya untuk berjalan ke arah mobil mereka. "Nggak apa-apa kamu nyetir sendiri? Apa nggak sebaiknya mobil kamu ditinggal di sini saja, kamu bareng kita?" tanya Bu Sarah. Nadien menggeleng, "tidak apa-apa, Bu. Saya sudah biasa kok," tolak Nadien sembari tersenyum lembut. Tanpa sengaja, tatapan Nadien kembali bertemu dengan manik coklat Radika. Dan pria itu.... tersenyum. Apakah senyum itu untuknya? Entah mengapa Nadien merasa, senyum Radika itu bukan senyum keramahan biasa. Ada arti tersembunyi di balik senyuman itu. Ataukah itu hanya perasaan Nadien yang begitu berlebihan? *** Bersambung.... Lebih panjang dari yang kemarin. Tapi aku usahakan besok lebih panjang lagi. Bagaimana tanggapan kalian terhadap chapter ini? Ramaikan di kolom komentar, yaa.. jangan kupa untuk tekan love di bagian depan (halaman cover) cerita ini sampai love yang warna ungu berubah jadi putih, agar cerita ini masuk ke pustaka :) Terima kasih sudah setia menunggu cerita ini. Selalu aku tunggu ya, kritik dan sarannya :)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN