PP-10

1350 Kata
Tak ada tempat lain bagi Nadien untuk berteduh selain rumahnya sendiri. Dua hari telah berlalu sejak ia kehilangan semuanya. Ia sempat mendengar kabar, kalau Vania sudah keluar dari rumah sakit. Tapi entah kenapa, kesalahpahaman antara dirinya dan orang di sekitar Vania masih belum juga berakhir. Apakah Vania belum menjelaskan semuanya pada mereka? Bagaimana keadaannya sekarang? Terakhir ia dengar dari Daniel dua hari lalu, Vania mengalami depresi. Apa hal itu juga yang membuatnya tidak kunjung menjelaskan semuanya? Telepon Nadien berdering. Membuatnya terpenjat, karena sedari tadi ia sibuk melamun. "Papa?" kagetnya. Wanita itu tersenyum tipis. Ia sampai lupa kalau sudah tiga hari ia tak mengunjungi ayahnya yang sudah semakin renta itu. Dan sepertinya kini lelaki tua ini merindukan putrinya. "Iya, Pa?" sapa Nadien setelah menggeser ikon bergambar telepon warna hijau di layar ponselnya. "Non, ini Bi Inah." Nadien menyerit. Tak biasanya Bi Inah menelepon. Apalagi menggunakan ponsel ayahnya. "Iya, Bi? Ada apa? Papa mana?" tanya Nadien. Ia mulai merasa ada yang tidak beres. "Itu dia, Non. Bapak tiba-tiba pingsan setelah menerima telepon yang entah dari siapa. Non bisa ke sini? Saya sudah menelepon ambulance, tapi sampai sekarang belum datang juga." Nadien tercekat. Apakah penyakit jantung ayahnya kembali kambuh? Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Ia takut. Ia benar-benar takut ayahnya akan mengalami masa kritis seperti beberapa tahun yang lalu. Tapi, apa penyebabnya kini? Siapa yang baru saja menelepon ayahnya dan membuatnya droup seperti ini? "Iya, Bi saya segera ke sana," ujar Nadien sembari berlari menuju kamar untuk mengambil tas dan kunci mobilnya. "Anu, Non. Begini saja. Non langsung ke Centra Medika saja! Takutnya nanti ambulancenya datang Non belum sampai," usul Bi Inah. "Centra Medika?" ulang Nadien. Terlalu banyak kenangan di rumah sakit itu. Rumah sakit tempat pamannya bekerja dulu. Rumah sakit tempat ia berulang kali menyakiti Vania dulu. Kalau diingat-ingat, wajar saja kalau Andrea, Daniel dan keluarga Vania langsung menghakiminya tentang kasus Vania kali ini. "Iya, Non. Ya sudah saya tutup ya, Non. Saya ke Bapak dulu," pamit Bi Inah sebelum akhirnya memutus sambungan. Sekuat tenaga Nadien berlari ke garasi. Ia berlari menuruni tangga. Tak peduli jika nanti ia sampai jatuh. Yang ada di pikirannya sekarang hanya ayahnya. Satu-satunya orang yang ia miliki di dunia, yang kini entah seperti apa kondisinya. Jalanan ibu kota sore itu sangat padat. Sebenarnya Nadien cukup terbiasa dengan hal itu. Hanya saja, kali ini pikirannya benar-benar kacau. Ia tak peduli ketika banyak pengendara yang mengomelinya karena ia terus membunyikan klakson. "Hey sabar, dong! Nggak lihat di depan macet?" "Hey, berisik!" "Woy bisa diem nggak sih?" Nadien memejamkan matanya. Ia menangis dan terus menggumamkan kata "Papa". Ponselnya kembali berdering. Ia pun segera mengangkatnya. "Non di mana? Bapak langsung dilarikan ke ICU, Non. Cepat ya!" ujar Bi Surti dengan nada khawatir yang sangat kentara. Perasaan Nadien semakin tidak enak. Akhirnya ia turun dari mobil, hanya membawa tas dan ponsel yang masih ada dalam genggamannya. Ia tak peduli orang-orang kembali meneriakinya karena memarkirkan mobil di jalanan. Ia juga tak peduli dengan nasib mobilnya. Hilang sekalipun, Nadien tak peduli. Karena nyawa ayahnya saat ini jauh lebih penting dibandingkan apapun. Nadien berlari, melewati trotoar sembari terus menangis. Jaraknya dengan Rumah Sakit Centra Medika sudah tidak terlalu jauh lagi. Harusnya sepuluh hingga dua puluh menit lagi ia sudah sampai. * Dengan napas yang terputus-putus, akhirnya ia sampai. Ia sudah sangat hafal dimana letak ruang ICU. Dan di sanalah Bi Inah berada. Berjalan mondar-mandir penuh kegelisahan. Nadien tahu, itu bertanda tidak baik untuknya. "Bi, Papa-" "Di dalam, Non. Silakan masuk! Hanya boleh satu orang yang menemani di sana," terang Bi Surti. Nadien langsung masuk ke sebuah ruangan, di mana ayahnya sedang berada di ambang kematian. Selang-selang medis menempel di tubuh laki-laki yang paling Nadien cintai itu. "Papa," lirih Nadien dengan suara bergetar. Ia berjalan gontai mendekati sang ayah yang masih tak sadarkan diri. "Papa, ini Nadien, Pa. Papa bangun, ya! Nadien di sini. Nadien kangen Papa," ujar Nadien. Nadien menangis seperti anak kecil. Ia terus menggenggam tangan ayahnya dan memohon pada lelaki itu untuk segera membuka matanya. "Bu Nadien." Cepat-cepat Nadien menolehkan kepalanya. Ia menegakkan badannya menghadap dokter spesialis jantung senior di rumah sakit itu. "Bagaimana keadaan Papa saya, Dok? Beliau akan sehat kembali, kan?" tanya Nadien. "Bisa kita bicara di ruangan saya?" tanya Dokter Hendra. "Tapi Papa-" rasanya Nadien tidak sanggup meninggalkan ayahnya sendirian. "Ada hal penting yang harus kita bicarakan, Bu," ujar Dokter Hendra. Akhirnya Nadien mengangguk. Ia mengekori Dokter Hendra menuju ruangannya. Dokter yang sudah bertahun-tahun merawat ayahnya itu menyodorkan sebuah dokumen yang baru saja diberikan oleh seorang perawat ketika mereka sampai di ruangan Beliau. "Mak.. maksudnya? Apa ini?" perasaan Nadien mulai tidak enak. Bagaimanapun juga ia pernah sekolah kedokteran walau tidak sampai tamat, karena saat itu ia harus kembali ke Jakarta. Jadi, ia tahu sedikit hal-hal seperti ini. Yup. Nadien dulunya memang bercita-cita menjadi dokter. Ia juga sempat kuliah di luar negeri dan bertemu dengan Andrea, bahkan hingga menjalin hubungan spesial dengan laki-laki itu. Hanya saja, di suatu ketika ayahnya mengalami masalah pada jantungnya yang menyebabkan Beliau harus dirawat selama berbulan-bulan. Saat itu Nadien diharuskan kembali ke Jakarta untuk mengurus ayahnya serta perusahaan. Dan di saat itulah Nadien tersadar, jika ia adalah satu-satunya yang ayahnya punya untuk menjadi penerus di perusahaan. Jadi Nadien memutuskan untuk berhenti kuliah kedokteran dan fokus menjalankan perusahaan ayahnya. "Berdasarkan hasil pemeriksaan yang saya lakukan, ada masalah pada katup jantung Pak Adam. Dan lebih parahnya itu katup penghubung dengan aorta, jadi mau tidak mau kami harus mengambil tindakan pembedahan," ujar Dokter Hendra. "Tapi kondisi Papa saya-" "Itu dia masalahnya, Bu. Kondisi Pak Adam saat ini juga sepertinya kurang mendukung untuk menjalani pembedahan. Tapi jika masalah ini tidak segera ditangani, saya ragu Beliau bisa bertahan," Nadien memejamkan matanya erat-erat. Dadanya terasa sesak. Ia tak sanggup membayangkan bagaimana hidupnya tanpa ayahnya nanti. "Lalu apa yang harus saya lakukan?" tanya Nadien dengan nada sendu. "Untuk rencananya, saya akan melakukan operasi katup jantung secepatnya. Jika operasi berhasil, kemungkinan ayah Anda bisa bertahan dan melewati masa kritisnya. Tapi, risiko operasi itu sangat besar. Jadi saya harus meminta persetujuan anggota keluarga. Dan hanya Anda lah keluarga yang Pak Adam miliki," terang Dokter Hendra. Nadien meraih dokumen di depannya, lalu membacanya sekilas. Hidup ayahnya kini berada di tangannya. Lantas, jalan seperti apa yang harus Nadien pilih untuk saat ini? "Apa tidak ada cara lain, Dok?" tanya Nadien. Ia tahu, Dokter Hendra adalah salah satu dokter spesialis jantung terbaik. Jadi ia masih memiliki sedikit harapan dari dokter itu. "Untuk saat ini, tidak, Bu. Apabila tidak segera dilakukan operasi, saya khawatir Pak Adam akan mengalami gagal jantung dan bisa mengancam nyawanya. Terlebih katup yang bermasalah yang berhubungan langsung dengan pembuluh aorta," jawab Dokter Hendra. "Kalau operasi ini dilakukan, berapa persen kemungkinan keberhasilannya?" tanya Nadien lagi. "50%:50%," Nadien kembali memejamkan matanya beberapa saat. Ia berusaha berpikir jernih. Jalan apa yang harus ia ambil? Ia kini bahkan tak punya seorangpun untuk dimintai pendapat selain Dokter Hendra. Akhirnya, dengan tangan gemetar, Nadien menandatangani surat pernyataan itu. Itu artinya, Nadien memberikan kuasa pada Dokter Hendra dan pihak rumah sakit untuk melakukan pembedahan terhadap ayahnya, dengan segala risiko yang ada. Nadien tak punya pilihan lain. Hanya inilah satu-satunya jalan. Dalam hati ia terus berdoa, semoga ini adalah pilihan yang benar dan tak akan Nadien sesali nantinya. 'Papa, Papa berjuang, ya! Nadien butuh Papa di sini. Papa harus sembuh untuk Nadien. Nadien mohon. Nadien tidak punya siapa-siapa lagi selain Papa. Daniel pergi, semuanya pergi, Nadien tidak akan sanggup kehilangan Papa disaat seperti ini. Nadien mohon, sembuh ya, Pa,' batin Nadien setelah ia keluar dari ruangan Dokter Hendra dan duduk di lantai sembari menyandarkan punggungnya pada tembok. *** Bersambung.... Jangan lupa ramaikan kolom komentar yaaa... Ini masih permulaan banget. Masih ada bayang-bayang masa lalu dan hubungan dengan cerita Devania dan Devania 2. Nanti akan ada kalanya Nadien menjadi tokoh dalam kisahnya sendiri. Sebentaaaarrr lagi. Jadi harap bersabar, yaa :) Happy new year.. untuk menyambut tahun baru, mari kita ramaikan cerita ini. Aku akan berusaha up setiap hari cerita ini selama Bulan Januari. Tapi jamnya tidak menentu, yaa... Doakan aku mampu, ya. Terima kasih untuk para pembaca yang selama ini bersabar menunggu cerita ini :) Kritik dan saran dari kalian selalu aku tunggu :)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN