Mendengar Kisah Anak-Anak Abrar

1167 Kata
Ini Bu Syifa. Tenang, ya, Sayang. Jangan takut ....” Syifa terus berusaha menenangkan Hanan sembari mengelus lembut kepala anak itu. Tak lama, Hanan pun tampak mulai tenang. Napasnya mulai teratur dan tak lagi mengigau menyebut-nyebut nama gurunya. Melihatnya, Ezra dan Syifa juga bisa sedikit merasa lega dan berdiri tegak di samping brankar. “Terima kasih, Bu Guru,” ucap Ezra. “Bu Guru Syifa ternyata sangat istimewa di hati keponakan saya. Sudah seperti ibunya sendiri,” sambung Ezra. Syifa tersenyum dan mengangguk. Ia tak menyangka dirinya memiliki tempat yang begitu besar di hati anak muridnya, Hanan. “Apakah Hanan sering mengigau?” tanyanya. “Saya kurang tahu karena tidak tinggal di rumah Kak Abrar. Tapi, setiap kali saya ke rumahnya dan bermain dengan Hanan dan Faqih, kedua anak ini seperti anak yang sangat membutuhkan kehangatan keluarga. Mungkin merindukan mamanya.” “Sebelumnya tidak begini?” Syifa mencoba mencari tahu. Ezra menggeleng. “Setahun sudah kakak ipar meninggal akibat penyakit jantung. Sejak itu pula Hanan berubah, dari anak yang ceria, menjadi anak pendiam yang sulit beradaptasi. Terkadang mengamuk tanpa sebab. Faqih juga sama. Sering menangis dan kami semua sering tidak tahu apa yang diinginkannya,” jelas Ezra dengan wajah menunduk. Tampak jelas ia menyembunyikan kesedihan di matanya. Ada perih di hati Syifa mendengar penjelasan Ezra. Membayangkan anak-anak seusia Hanan, terlebih Faqih yang sangat kecil ditinggal mati sang ibu. Anak-anak yang belum mengerti apa-apa, yang mungkin sangat menginginkan kehadiran ibunya. Tanpa sadar air mata mengalir di pipi Syifa. Ia hendak menghapusnya dengan ujung kerudung. Namun, Ezra lebih dulu menyodorkan sapu tangan padanya. Syifa sedikit bingung, tetapi Ezra kembali menyodorkan sapu tangan itu hingga ia menerimanya dan menghapus air mata dengan sapu tangan Ezra. “Hanan beruntung bertemu denganmu, Bu Guru Syifa,” ucap Ezra pelan, tetapi masih terdengar oleh Syifa. Gadis itu menoleh untuk mencari jawaban atas ucapan lelaki di sampingnya. “Sejak mamanya meninggal, Hanan dan Faqih diasuh oleh Bi Sumi. Tetapi Bi Sumi juga punya pekerjaan lain sebagai asisten rumah tangga, jadi Kak Abrar mencari pengasuh untuk anak-anaknya.” Ezra berhenti sejenak. “Lalu? Apakah dapat pengasuhnya?” Ezra mengangguk. “Banyak. Tidak ada yang bertahan lebih dari satu bulan.” “Apa karena Pak Abrar?” Syifa mengira sifat Abrar yang sombong dan arogan yang membuat para pengasuh itu tidak betah bekerja di rumahnya. Namun, dugaannya salah. “Bukan karena Kak Abrar. Tapi sebagian tidak tahan dengan kelakuan Hanan, juga tidak bisa sabar dengan Faqih yang sulit makan dan sering menangis. Dan yang terakhir dipecat karena ketahuan di CCTV memukul dua anak malang itu.” “Astaghfirullah ... memukul anak-anak?!” Ezra mengangguk. “Sejak itu, anak-anak kembali diasuh Bi Sumi. Selama dua bulan ini kami mencari pengasuh tetapi tidak ada yang memenuhi kriteria Kak Abrar. Hingga kami bertemu denganmu, Bu Guru.” Ezra memandang lekat-lekat pada Syifa hingga membuat gadis itu merasa canggung. “Hanan sangat menyukaimu. Belum pernah ia seperti ini pada orang lain, kecuali denganmu, Bu Guru,” ujar Ezra dengan raut wajah serius. Keseriusannya kali ini membuatnya terlihat seperti orang yang berbeda, yang biasanya tampak seperti pemuda badung yang hanya tahu bersenang-senang. Syifa menunduk dalam. Ia tidak tahu harus berkata apa. “Maaf, saya terlalu banyak cerita,” ujar Ezra dengan diiringi tawa. Ia mencoba untuk mencairkan suasana agar gadis di sampingnya tidak merasa bersalah atas ucapannya. “Tidak apa-apa. Saya senang Mas Ezra mau bercerita banyak tentang Hanan pada saya.” Ezra tersenyum. “Terima kasih, Bu Guru yang cantik,” candanya, membuat Syifa tertawa kecil. Tiba-tiba pintu kamar tempat Hanan dirawat terbuka. Dengan wajah panik Abrar masuk menghampiri putra sulungnya. “Bagaimana keadaan Hanan, Ezra?” tanyanya tak sabar setelah melihat Hanan yang masih terbaring lemah di brankar. “Tenang, Kak. Dokter bilang tidak ada yang serius. Setelah bangun, Hanan juga sudah bisa pulang,” jelas Ezra. Namun, tidak mampu mengurangi kecemasan di wajah Abrar. Ia kini justru menunjukkan raut amarah. “Bi Sumi ini bagaimana menjaga anak-anak! Bagaimana bisa Hanan terjatuh dari tangga!” kesalnya. “Kak, jangan menyalahkan Bi Sumi. Dia sudah berusaha menjaga anak-anak dengan baik. Pekerjaannya juga banyak. Kakak hanya bisa menyalahkan saja!” Mendengar ucapan Ezra, Abrar justru semakin emosi. “Kamu menyalahkan Kakak?!” “Tidak. Tapi Kakak terlalu egois jika menyalahkan Bi Sumi!” tegas Ezra. Kedua kakak beradik itu saling beradu tatapan yang sangat tajam, membuat Syifa takut akan terjadi keributan di sana. “Sudah, cukup! Bukan waktu yang tepat untuk saling menyalahkan,” sela Syifa. Kini, kedua lelaki itu mengalihkan pandangannya dan menarik napas untuk menetralkan amarahnya. “Kakak harus berterima kasih pada Bu Syifa. Dia yang membuat Hanan tenang,” ujar Ezra, membuat Abrar menatap Syifa penuh tanya. “Saya hanya melakukan yang saya bisa, Pak. Saya tidak melakukan hal besar,” ucap Syifa, yang merasa kikuk ditatap oleh lelaki berstatus duda itu. “Terima kasih.” Dua kata yang keluar dari bibir Abrar membuat Syifa terkesiap. Ia tak menyangka lelaki itu masih bisa mengucap terima kasih. Suasana hening dan canggung mendadak berubah saat sebuah suara terdengar dari perut Syifa. Ia yang tadi belum sempat makan sejak pulang dari sekolah, kini perutnya protes untuk segera diisi makanan. “Bu Guru, ayo makan bersama,” ajak Ezra. Syifa mengangguk malu, lalu mengikuti Ezra untuk keluar. Namun, Abrar menghentikan langkah mereka sebelum membuka pintu. “Saya harus segera kembali ke hotel.” Ezra sudah tidak heran lagi melihat kakaknya yang selalu saja lebih mementingkan pekerjaan dibandingkan keluarga. Sementara, Syifa terperangah mendengar penuturan Abrar. Baru saja tiba di rumah sakit melihat sang anak, ia sudah harus pergi? “Pergilah. Pekerjaan Kakak memang selalu lebih penting dibandingkan keluarga.” Ucapan Ezra ternyata berhasil menyinggung sang kakak. “Jaga ucapanmu, Ezra! Mahasiswa abadi sepertimu tidak akan tahi artinya bekerja demi keluarga. Yang kamu tahu hanya bersenang-senang!” sentak Abrar. Kali ini, Ezra tak bisa lagi menahan emosinya mendengar ucapan Abrar. Ia berjalan mendekati kakaknya dan menatap tajam, lalu berujar pelan tetapi penuh penekanan emosional. “Aku tidak sama sepertimu!” Ezra lalu keluar dari kamar itu dan bergegas meninggalkan rumah sakit. Syifa yang bingung harus berbuat apa, akhirnya berlari menyusul Ezra. “Mas Ezra, tunggu!” Ezra tampak seperti tidak memedulikan panggilan Syifa. Ia terus berjalan dengan langkah-langkah lebarnya menuju tempat parkir, lalu mengenakan helm. “Mas Ezra!” Syifa berhasil menghampiri Ezra di motornya dengan napas terengah-engah karena berlari. “Naiklah, Bu Guru,” pinta Ezra sambil menyerahkan helm lainnya pada Syifa. “Mau ke mana?” “Cari makan.” “Tapi, Hanan—“ “Ada Kak Abrar,” potong Ezra. “Dia harus lebih bertanggung jawab pada keluarganya.” Dalam hati Syifa membenarkan ucapan lelaki di hadapannya. Namun, ia sedikit khawatir jika nantinya Abrar bersikeras untuk kembali bekerja dengan meninggalkan Hanan sendirian di rumah sakit. “Bu Guru tidak usah khawatir. Hanan akan baik-baik saja.” Seperti tahu apa yang ada di pikiran Syifa, Ezra pun mencoba memberinya pengertian. “Bisakah kita membeli makanan dibungkus, makan di sini saja?” pinta Syifa. “Tidak perlu!” Suara seseorang mengagetkan keduanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN