Pembawa Sial, Katanya

2801 Kata
Yasmin hanyalah seorang gadis piatu yang tinggal di pinggiran kota bersama sang ayah kandung, ibu tiri, dan juga kakak tirinya. Ibu gadis bermata sayu ini meninggal saat melahirkannya dan sang ayah menyalahkannya untuk itu. Dan waktu berlalu, setelah ayahnya menikah lagi, dia harus menerima semua takdir yang bahkan tidak pernah sekalipun terlintas dalam benaknya. Seluruh orang di rumah membenci Yasmin karena merasa Yasmin adalah pembawa sial. Setidaknya, itu yang mereka percayai. Buktinya, ibunya meninggal saat berjuang melahirkannya dan sekarang ayahnya jatuh miskin karena ditipu orang, belum ditambah fakta istri kedua ayahnya atau ibu tiri barunya juga sudah meninggal dan Yasmin terus yang disalahkan untuk itu. Padahal, salah ayahnya sendiri yang mudah dibodohi orang dan juga sudah jalannya kalau ibunya Yasmin harus berpulang menghadap Tuhan Yang Maha Esa. Yasmin tak pernah membalas perlakuan kurang baik mereka, dia sendiri sudah terpukul jika mengingat kelahirannya menjadi sebab ibunya meninggal. Tak dibenarkan dia berpikiran demikian. Namun apalah daya. Orang yang tidak mengalami, terkadang tak bisa merasakan. Tak hanya sampai di sana. Kehidupan Yasmin kembali diuji. Dia harus mengikuti PKL sebagai salah satu syarat kelulusannya kelak tapi tak punya biaya sama sekali. Sistem di sekolah yang membebaskan siswa-siswinya mencari tempat PKL atau magang mandiri membuat Yasmin memutar otak. Dia harus mendapatkan uang untuk bekalnya enam bulan nanti ikut orang. Sebelum ini, dia sudah mendapati satu perusahaan yang sesuai dengan keinginannya dan Yasmin sangat ingin bisa megang di sana yang mana memang sesuai dengan bakat dan minatnya. PT Busana Satu Nusantara atau perusahaan swasta yang terkenal dengan BSN adalah PT yang cukup terkenal di bidang garment. Dan Yasmin ingin magang di bagian desaigner-nya. Di sisi lain, waktu-waktu ini bersamaan pula dengan Imas yang butuh uang untuk semeteran kuliahnya. Mereka tak mungkin meminta kepada orang tua mereka karena orang tuanya juga tengah kesusahan. Jika tetap ingin menempuh pendidikan, mereka harus mencari uang sendiri, jika tidak, mereka terpaksa harus berhenti. Bantuan dari pemerintah untuk murid yang kurang mampu memang ada. Hanya saja implementasinya yang sering kali tak tepat sasaran membuat anak seperti Yasmin bisa saja putus sekolah di tengah jalan karena terhalang biaya meski ada yang mengatakan bahwa pendidikan sekarang dipermudah. Begitu besar tekadnya untuk menggapai cita-cita, Yasmin memilih untuk bekerja paruh waktu untuk mengumpulkan biaya guna keberangkatannya PKL nanti. Selepas sekolah dia akan pergi ke restoran dan alih profesi dari siswi menjadi pelayan di sana, membawa baki ke sana ke mari, dan apabila selesai hanya terdiam di lantai, penat niat kakinya berjalan dari pukul tiga sore hingga jam sembilan malam. Menjadi designer pakaian muslimah adalah cita-cita Yasmin saat menginjak bangku SMP. Karena itu dia masuk ke SMK kejuruan tata busana yang terkenal mengeluarkan banyak biaya. Upah kerja serabutan yang aslinya sehari 45 ribu, Yasmin meminta tolong kepada boss-nya agar diberikan setelah satu bulan saja, biar terkumpul banyak. Yasmin hanya khawatir kalau digaji setiap hari, malah dia alihkan untuk keperluan lain yang tidak penting, karena itu istilahnya dia titipkan kepada boss-nya, dan diambil saat sudah satu bulan bekerja. Hari ini Yasmin sangat bersyukur karena upahnya bekerja di restoran sudah cair tepat satu bulan dirinya bekerja, dan ini bisa digunakan untuk membiayai PKL minggu depan. Yasmin yang saat itu pulang dengan wajah berseri-seri langsung mendapat tatapan heran dari kakak tirinya yang memang sedang santai-santai di beranda dengan handphone mewahnya. "Ngapain lo senyam-senyum?" tanya Imas sambil berdiri dari duduknya, seakan menyambut tapi lebih terlihat hendak melabrak. "Nggak papa, Kak." Dasarnya Yasmin memang anaknya lemah lembut, gadis itu menjawab begitu tulus. Dia tahu kalau orang kasar seperti Imas dikasari pasti akan lebih keras lagi hatinya. Dan untuk meluluhkan hati Imas, Yasmin harus menggunakan sifatnya yang lemah lembut, bukan ikut-ikutan mengasari. Kalau Yasmin sampai melakukannya, maka tidak ada bedanya dia dengan Imas. Karena balas dendam yang terbaik adalah dengan tidak ada dendam atau menjadi the best version of yourself. Mendengar itu semua, tentu Imas tak percaya. Dia masih berpikir kalau Yasmin menyembunyikan sesuatu darinya. Karena itu dia merampas paksa tas punggung yang dikenakan Yasmin dan mengeluarkan seluruh isinya saat itu juga. "Pasti ada yang lo sembunyiin, gue gak percaya!" desisnya tidak suka, masih sibuk mengacak-acak isi tas Yasmin. Yasmin hanya bisa jongkok dan memunguti barang-barangnya yang dibuang Imas asal-asalan. Karena tak menemukan apa-apa, Imas langsung melempar tas itu tepat di wajah Yasmin. Entah sampai kapan Imas akan memperlakukannya seperti ini. Yasmin masih diam saja, dia takut kalau membalas kejadian kemarin akan terulang kembali. Kemarin dia dipukuli habis-habisan oleh ayahnya karena bertengkar dengan Imas padahal Imas lah yang salah. Dia yang memang sudah biasa diperlakukan seperti itu hanya pasrah menerima. Yasmin merasa pantas mendapatkan itu semua jika mengingat kelahirannya menyebabkan nyawa ibunya melayang. Namun sungguh, sebenarnya Yasmin lah yang harus dikasihani. Dia tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Bahkan, kerinduannya tak akan pernah terobati karena tak memiliki foto atau album usang milik ibunya. Tahu kalau hidupnya akan begini, Yasmin mungkin lebih memilih dirinya sendiri yang tidak bisa diselamatkan saat itu. Namun apapun itu, Yasmin tetap mensyukuri hidupnya dan tetap sabar menerima semua ketepatan Tuhan atas dirinya. Menggeleng pelan Yasmin lakukan untuk mengusir pemikiran-pemikiran buruk yang sering kali hinggap di kepalanya. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak berpikiran seperti itu lagi. Ibunya sudah mempertaruhkan nyawanya demi melahirkannya ke dunia ini, dan sekarang dia harus menjalani kehidupannya dengan baik. Dia tak boleh menyia-nyiakan hidupnya sendiri hanya karena manusia. Motto hidupnya adalah, jika tidak bisa membahagiakan orang terdekatnya setidaknya dia bisa sedikit berguna untuk mereka dan tidak merugikan siapapun. Memantapkan hatinya, perlahan Yasmin menarik napas saat menyadari bayangan Imas menghilang di sisi pintu masuk rumah. Dia harus segera istirahat. Tubuhnya butuh diistirahatkan. Bisa-bisa dia tumbang kalau tetap memaksakan tubuhnya bekerja hingga larut malam. Sebenarnya Yasmin juga salah satu admin literature. Dia memegang bagian editing naskah. Jadi dia bisa mengorbankan jam tidurnya untuk mengedit naskah, tapi untuk saat ini dia butuh istirahat. Dia akan bekerja dua kali lipat besok setelah tenaganya terkumpul kembali. *** Pagi ini Yasmin berangkat sekolah dijemput oleh temannya yang bernama Aira. Aira adalah sahabatnya sejak SMP, dan dia sudah tahu betul tentang kehidupan Yasmin beserta kekejaman dari saudara tirinya. Sungguh, Yasmin tidak pernah mengadu, memang kakak tirinya itu yang suka jahat kepada Yasmin meski ada teman-temannya di sekitaranya sekalipun. Entah bagaimana kalau Yasmin seorang diri. Dia bisa jadi bulan-bulanan kakak tiri kejamnya itu. Sampai parkiran pun mereka sudah disambut Della yang duduk di bangku khusus penjaga. "Kenapa, Del?" Yasmin yang baru turun dari motor langsung menegur Della yang memayunkan bibirnya sedari tadi, seolah kehadiran mereka di depannya tak membuat Della senang sama sekali. Padahal, biasanya anak itu yang aktif berbicara ini itu ketika berkumpul seperti sekarang. "Gak usah ganggu! Gue lagi bad mood." balasnya sewot, memalingkan wajah, manyun lagi. "Idih sok-sokan pake bat mut bat mutan segala, bahasa Inggris aja nilainya tiga!" Aira mencibir seraya turut duduk di bangku panjang yang memang tersedia di dekat sana. Dia memang tidak bisa santai jika dipertemukan dengan Della, bawaannya ingin debat saja. "Daripada melamun lebih baik mengerjakan PR." Usul Yasmin yang sudah hafal sampai khatam dengan sikap teman segelintirnya ini. Karena itu tanpa basa-basi lagi mereka langsung berjalan menuju kelas mereka yang berada di lantai dua. Kelas berjalan lancar sampai akhirnya wali kelas datang dan memanggil muridnya satu per satu perihal biaya PKL minggu depan. Semua murid yang tahu maksud dari kedatangan wali kelasnya langsung mengambil uang masing-masing yang kemudian untuk diserahkan. Dari 30 anak di kelas, semua memilih PT yang sekaligus ikut kursus, jadi semuanya membayar di awal untuk magang selama 6 bulan nanti dan untuk biaya hidupnya mulai dari uang makan, uang transportasi, insentif, hingga uang saku sendiri diberikan oleh perusahaan. Karena itu Yasmin agak kepayahan mencari biayanya di awal. Della yang duduk bersebelahan dengan Yasmin tak bisa menahan rasa penasarannya lagi saat Yasmin berkali-kali mengecek isi tas dan saku di baju seragamnya secara bergantian. "Lo nyari apa sih, Yas?" "Uangku tidak ada." kata Yasmin tanpa menoleh ke arah Della sama sekali karena fokus mengutak-utik tasnya sampai lipatan terdalam, berharap uangnya terselip di salah satu sudut, bukan hilang seperti yang dirinya khawatirkan. "Tenang, cari pelan-pelan! Siapa tau aja keselip." kata Della menenangkan. Beberapa saat berlalu, Yasmin menatap Della dengan sorot putus asa saat tak menemukan uang itu juga, "Tidak ketemu." "Yasmin Aqilla?" panggil Bu Arum selaku wali kelas mereka, menghentikan percakapan kedua gadis ini. Yasmin langsung maju ke depan dengan perasaan campur aduk. Sedang Della hanya bisa terdiam di bangkunya, antara bingung dan juga syok. "Maaf Bu, uang saya tidak ada." Kata Yasmin pertama kali saat sampai di depan wali kelasnya itu. "Lhoh, tidak ada bagaimana?" tanyanya bingung. "Uang kamu hilang?" tegasnya lagi? "Iya, Bu." Jawab Yasmin lesu, kalau tidak ditahan, dia pasti sudah menangis sekarang. Uang yang ia cari mati-matian untuk biaya PKL, raib begitu saja dalam sekejap. Bu Arum tentu langsung mengambil tindakan. "Anak-anak, kalian semua ada yang melihat atau menemukan uangnya Yasmin tidak? Uangnya Yasmin hilang." Detik berikutnya, langsung terdengar keributan di belakang. Ada yang saling tanya, ada juga yang ikut mencari di kolong meja siapa tahu saja jatuh di sana. Tapi Yasmin tahu bukan salah satu temannya yang mengambil. Bukan ingin menuduh, tapi tadi pagi Yasmin dipameri uang oleh Imas. Bukan sekali dua kali Yasmin kehilangan uang, sudah berkali-kali dia kehilangan. Uang dua ribu dengan uang lima ratus perak saja hilang ketika di simpan di rumah. "Bu, saya masih bisa menyusul kan?" tanya Yasmin penuh harap. "Bagaimana ya Yas?" Bu Arum tampak tak enak hati untuk mengatakannya. "Ini p********n paling akhir. Cuma kelas kita yang belum mengirim ke pusat. Ibu minta maaf." Katanya menyesal. Yasmin tahu itu, harapannya sudah berakhir sampai di sini. Dia menunduk pelan sebelum akhirnya tersenyum ke arah Bu Arum yang selama ini selalu menolongnya. Gadis itu lantas kembali ke tempat duduknya, tak ada yang bisa dia lakukan lagi sekarang. "Yas?" Aira mencoba mengajak Yasmin bicara, tapi Yasmin lebih dulu memotongnya. "Tidak papa, Del. Aku bisa ikut tahun depan." Kata Yasmin cepat, terlihat tegar, dia tak mau menyusahkan sahabat-sahabatnya lagi. Sudah cukup. *** Usai kejadian kurang mengenakkan tadi, kali ini mereka tengah berkumpul di kantin. Tak ada yang membuka pembicaraan lebih dulu. Della dan Aira hanya diam, saling tatap satu sama lain saat melihat Yasmin hanya diam memandang keramaian di jam istirahat seperti ini. Memang benar jika Yasmin adalah sosok yang pendiam. Hanya saja, melihat raut lelah sahabatnya sekarang, hati teman karib mana yang tidak turut bersedih hati? "Yas?" Pada akhirnya Aira menegur pertama kali seraya mengusap bahu sahabatnya itu perlahan. Hancur sudah pertahanan yang Yasmin buat sedari tadi. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menangis pilu di sana. Uang yang mati-matian dia kumpulkan untuk mengikuti PKL di konveksi yang sudah dia incar sedari dulu harus pupus karena uangnya hilang. Ingin bekerja lagi pun, waktunya tak akan cukup. Dia tak mungkin mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu kurang dari seminggu. "Lepasin, Yas. Kita di sini ada buat kamu, kok." Della hampir menangis saat mengatakan itu semua tapi dia tahan. Kalau dia juga menangis, siapa yang akan menguatkan Yasmin di sini? Yasmin tetap mempertahankan keterdiamannya saat menangis. Dia tak sanggup bicara sekarang. Biarlah tangisannya yang mewakili perasaannya kini. Hampir lima menit Yasmin masih seperti itu, mereka yakin kalau Yasmin sudah ingusan. "Tuh kan ingusan. Nih tisu." Perlahan Yasmin membuka kedua tangannya hingga terlihat matanya yang bengkak dan jangan lupakan seberapa berantakannya wajah cantiknya itu. Della dan Aira langsung memberikan tisu untuk Yasmin. Mereka diam menatap Yasmin yang sibuk mengelap air mata beserta ingusannya. Menunggu sahabat karibnya itu lebih tenang, Della membuka pembicaraan terlebih dahulu. "Yas, aku ada tabungan. Tapi masih kurang kalo buat bayar PKL." Kata Della ingin sekali membantu sahabatnya ini. "Nah iya, aku juga ada. Mungkin kalo digabung cukup buat kamu ikut PKL." Aira menambahi, tak mau kalah berbagi dalam hal kebaikan. "Terima kasih, tapi tidak usah, kalian pasti butuh sendiri." tolak Yasmin lembut. "Sayang kalo harus sampai ngulang, Yas? Nanti ujung-ujungnya nambah biaya lagi. Kamu tahu sendiri sekolah SMK ngabisin uang." "Iya, nanti aku akan bicara sama Ayah, kalian tenang saja." Yasmin tersenyum menenangkan yang saat itu juga langsung dihadiahi pelukan penuh kehangatan oleh kedua sahabatnya itu. *** Yasmin pulang saat jam menunjukkan pukul setengah 10 malam, cukup malam memang. Dan seperti biasa dia selalu disambut kemarahan dari orang tuanya. Padahal, orang rumah tahu jika dirinya baru saja kerja, tapi tetap saja kepulangannya disindir usai kelayapan dan tuduhan tidak benar lainnya. "Minggat saja kamu!" Mata yang mengantuk, kini seakan terbuka sempurna mendengar desisan tajam yang ayahnya lontarkan saat sampai di ruang keluarga. Yasmin sudah biasa mendengar itu semua, tapi kenapa rasanya tetap sakit? Karena itu, Yasmin memutuskan untuk tidak menanggapi ayahnya. Batin dan fisiknya sudah lelah mengingat uangnya untuk biaya PKL raib begitu saja. Bahkan karet yang digunakan untuk mengingat uangnya pun tak bersisa sama sekali. "Kalo ada orang tua bicara, dijawab! Nggak sopan banget jadi anak!" Imas ikut-ikutan memarahi Yasmin, memang sengaja memprovokasi. Ya, kalau ada kesempatan, Imas selalu ikut-ikutan memarahi Yasmin. Sebenci itu dia dengan adik tirinya. "Kak Imas kalau ambil uang aku, tolong bilang dulu. Akan aku kasih kalau Kakak minta baik-baik!" Kata Yasmin dengan wajah datarnya sedangkan Imas melotot tak percaya dengan apa yang baru saja Yasmin katakan. Tak biasanya Yasmin seberani ini. Maksudnya? Tidak ada angin, tidak ada hujan, bagaimana bisa Yasmin yang selama ini tidak pernah menjawabnya tiba-tiba berkata demikian beraninya? "Eh, jangan fitnah ya kamu?!" tentu saja Imas tak terima dan balik memarahi Yasmin. Ini terlalu tiba-tiba untuk seorang Yasmin berani menjawab perkataannya karena selama ini gadis itu selalu diam. "Kak Imas kira aku tidak tahu?" sorot kecewa benar-benar tercetak jelas di wajah Yasmin yang lusuh dan kuyu. "Tadi pagi Kakak masuk kamar tanpa izin." Imas malah tersenyum meremehkan melihat kesedihan di wajah Kirana tapi disamarkan oleh wajahnya yang sengaja dibuat datar, "Yah lihat Yah, anak ayah nuduh aku enggak-enggak." "Nuduh? Aku memang belum ada bukti, tapi tadi Kak Imas masuk kamarmu mau apa?" Imas tak punya jawaban. "Jedai Kakak juga masih ada di meja belajarku, aku temuin di sebelah tas. Kalau memang butuh buat biaya kuliah, Kakak bisa minta Ayah, bukan ambil uangku tanpa izin. Aku sudah mengalah dengan nyari uang sendiri buat biaya PKL, tapi kenapa malah diambil? Kalau aku sampai ngulang lagi, nanti Ayah ngeluarin uang lebih banyak lagi. Kenapa Kak Imas tidak mau mengerti?" Yasmin sudah tak tahan. Mungkin dia akan diam saja jika Imas tidak memprovokasi ayannya, tapi nyatanya Imas melakukan itu semua. Dia lelah mempertahankan kebungkamannya selama ini. Lagipula cita-citanya sudah dihancurkan, apa lagi yang tersisa? Biar semuanya hancur sekalian. Yang hancur biarlah hancur. "Yah, anak Ayah tuh!" Imas mencak-mencak, "Masak aku dituduh nyuri gara-gara masuk kamarnya dia. Aku masuk kamar Ayah sama Ibuk juga nggak pernah izin, nggak pernah ada barang yang ilang." Imas malah mengadu pada ayah tirinya yang sedari tadi diam mendengarkan. Yasmin tak banyak berharap. Mungkin setelah ini dia akan dipukuli sampai mati. Terserah lah, dia tak peduli lagi. "Minta maaf sama kakakmu," kata ayahnya Yasmin ini pelan, tapi nampak ketidaksukaan dalam kalimatnya. Hendrawan yang dulu menganggap Yasmin pembawa sial, entah seperti apa rasanya sekarang, hanya pria paruh baya ini sendiri yang tahu. "Minta maaf sama Imas, cepat!" bentaknya tidak sabaran. "Dasar anak tidak tau diri! tidak tau diuntung! Anak pembawa sial!" "Cukup, Yah!" teriak Yasmin histeris. "Berani kamu membentak saya!" tanpa aba-aba Hendrawan langsung menyeret Yasmin ke kamar mandi. Yasmin diguyur air dan dipukul dengan balok kayu yang selalu ada di gantungan pintu. "Mati kamu! Gara-gara kamu istriku meninggal. Gara-gara kamu juga ibunya Imas meninggal!" Hendrawan tak tanggung-tanggung saat memukuli Yasmin. Hidungnya berdarah dan tubuhnya sampai membiru. Imas yang melihat malah tersenyum penuh kemenangan. Dia berdoa agar Yasmin mati sekalian dan Hendrawan hanya akan menurutinya saja. Perlahan Hendrawan jatuh terduduk saat puas memukuli Yasmin, dia menangis, meraung, dan memukulkan kepalanya sendiri pada dinding toilet. Dia seperti melihat istrinya yang kesakitan saat melihat Yasmin yang babak belur seperti ini. Yasmin ikut menangis tapi tersamarkan oleh guyuran air dari shower. Dan demi apapun, ini pertama kalinnya seorang Yasmin melihat ayahnya menangis seperti ini. "Gara-gara kamu istriku meninggal." Lirih Hendrawan pelan sebelum akhirnya pergi meninggalkan Yasmin seorang diri. Belum juga sakitnya menghilang, Imas menendang bagian kakinya hingga menghantam pintu. "Gara-gara lo! Gara-gara lo nyokap gue meninggal! Dasar pembawa sial! Mati aja lo!" Untuk pertama kalinya juga, Imas memukul Yasmin setelah menjadi keluarga sambung dengannya, setelah bertahun-tahun lalu, setelah lama pula ibu tirinya yang baik hati meninggal dunia. Yasmin diam seribu bahasa, bahkan untuk merintih pun dia masih berpikir dua kali. Ibu tirinya adalah sosok yang baik. Dia baru merasakan kasih sayang seorang ibu karena dirinya. Tapi nahas, karena dirinya lah, ibu yang selalu ia impikan selama ini juga ikut menyusul ibunya yang lebih dulu di surga. Sebenarnya menyalahkan Yasmin pun tak akan merubah kenyataan. Jiwanya pun sudah terguncang. Tak perlu diingatkan pun Yasmin juga mengecap dirinya sendiri sebagai pembawa sial. Seolah-olah identitas dirinya yang sesungguhnya bukanlah Yasmin Aqilla namun si Yasmin pembawa sial. Tak selesai di sana, Imas langsung menyeretnya ke kamar dan memintanya untuk segera ganti baju. 'Ya Allah, apa lagi ini?' jerit Yasmin dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN