Pertemanan kami--aku, Kevin dan Raina-- tidak semulus yang dipikir orang. Raina dengan sifatnya yang bossy membuatku sering kali merasa risih. Dia teman yang selalu ada saat suka atau pun duka, saat sebelum aku memperkenalkannya pada Kevin. Bisa dibilang kami mengalami cinta segitiga. Kalau diceritain malah lebih panjang. Setelah lulus sekolah kami tidak pernah berkabar lagi. Kami menjalani kehidupan masing-masing.
“Jadi lo gak mau cerita masalah teman-teman lo?”
Raya duduk di depan TV, mulutya tidak berhenti mengunyah kripik kentang rasa balado. Raya dan aku baru kenal 7 bulan yang lalu. Kami akrab karena Hiro menugaskan aku dan Raya menangani kasus sengketa rumah tangga.
“Gak ada yang perlu dijelasin, semua sudah jadi masa lalu.”
Aku duduk di samping Raya smabil membuka laptop untuk mengecek balasan pesan dari Jun Hee. Aku kecewa, pria itu belum membalas pesanku. Apa mungkin dia kelelahan atau lagi bekerja. Sayangnya aku tidak pernah bertanya tentang pekerjaannya di sana.
“Kenapa?”
Raya menatapku penuh tanya. Mungkin dia tahu aku sedang galau menunggu kabar dari ‘Bang Toyib’.
“Enggak. Enggak ada apa-apa.”
“Bohong, pasti ada sesuatu, ‘kan?”
Raya mencondongkan tubuhnya, mata tajamnya menatapku penuh selidik. Ini berlebihan, aku bukan penjahat yang harus ditatap seperti itu.
“Gak percayaan banget, sih,” ujarku seraya menutup laptop yang ada di pangkuan dan meletakkannya di atas meja.
“Kamu orangnya gak pernah jujur sama perasaan. Gak pernah terbuka sama aku, ya wajar dong kalau aku tanya? Bukannya kamu baru datang dari honeymoon, kali aja aku dapat ponakan made by Korea,” celetuk Raya.
Sejahu itukah pikirannya? Bahkan kami tidak saling menyentuh, kecuali ciuman itu. Kalau mengingatnya lagi membuat perasaanku jadi aneh.
“Tuh, lihat pipinya merah.” Raya menyenggol pundakku. Aku menangkup pipiku dengan kedua tangan. Rasa panas itu terasa nyata.
“Gerah tahu. Lupa nyalain AC,” kilahku.
Aku beranjak dari tempat dudukku, kali ini aku akan menghindar. Berdebat dengan Raya tidak akan membuatku menang. Gadis itu selalu punya cara agar aku berkata jujur.
“Sasya, kecilin dikit AC-nya biar dingin,” ujar Raya tanpa mengalihkan tatapannya dari TV.
“Sudah aku kecilin.”
Kutaruh remote AC di atas sebuah buku tebal yang ada di meja.
“Kamu beneran mau nginep di sini? Gak kabur lagi, kan?”
Raya menatapku sambil menjilati jarinya yang berlumuran bumbu snack kentang.
“Kenapa? Gak suka?”
Aku duduk di atas tempat tidur . “Bukan gitu, aku gak mau apartemenku dijadikan tempat pelarian. Lagian Sudah segede gini masih main kabur-kaburan.”
Raya mematikan TV, ia berjalan ke arahku. Kami berbaring di atas tempat tidur dengan kaki menjutai. Jika diingat lagi kami sebenarnya memiliki kesamaan yaitu tumbuh di keluarga yang broken.
Tapi aku pikir nasibku masih beruntung karena kedua orang tuaku memberikan rumah kecil untuk aku tinggali dulu, tapi rumah itu sudah kujual untuk biaya kuliah. Aku sempat menyesal tapi mau bagaimana lagi, mereka sudah tidak menghiraukan diriku. Mereka sibuk dengan keluarga barunya. Mau marah pun pada siapa? Yang terpenting mereka bahagia dengan kehidupannya yang baru.
“Nyokap gue sudah setuju cerai,” ujar Raya.
Aku sedikit terkejut dengan pernyataannya. Bukankah Ibu Raya bersikukuh tidak mau cerai, aku pikir terjadi sesuatu. Raya sering cerita masalah keluarganya jadi sebagian aku tahu.
“Mungkin ini yang terbaik, kamu harus tegar, udah gede gak boleh sedih.”
Raya menoleh dia tersenyum padaku.
“Siapa bilang gue sedih? Lagian itu urusan mereka,” ujar Raya.
Setegar apa pun gadis itu, aku bisa mendengar nada sedihnya. Namun aku akui Raya sangat pintar mengelabui orang dengan senyumnya. Saat aku menoleh Raya sudah terlelap. Aku tersenyum dan duduk di tepi ranjang. Perasaanku tidak tenang sebelum mendapat balasan email dari Jun Hee. Kemana pria itu? Apa dia sibuk?
Kunyalakan laptopku berharap ada satu kata yang dikirim Jun Hee malam ini. Mungkin aku terlalu berharap dia membalas pesanku. Suara jarum jam terdengar sangat jelas. Kulirik jam kecil di atas meja. Sudah jam sebelas tapi mataku belum bisa terpejam. Laptop masih menyala, lampu sebagian sudah padam hanya ada lampu belajar yang bersinar.
Aku tersenyum tipis teringat cerita ibuku semasa muda dulu. Ketika Zaman belum ada ponsel. Saat itu pacar ibuku pergi ke kota untuk bekerja. Mereka menjalani hubungan jarak jauh. Setiap hari ibu selalu menulis surat untuk kekasihnya, mengirimnya melalui jasa pengantar surat.
Setiap dua hari sekali ibu akan menunggu pengantar surat di depan rumah untuk menerima surat balasan. Mereka menjalani hubungan itu cukup lama, sampai akhirnya ibu tidak pernah menerima surat balasan lagi. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan kekasihnya.
Namun ibu terus menulis surat untuk pria itu dan menyimpannya di sebuah kotak. Sampai suatu hari ada sebuah surat untuknya dari sang kekasih. Ternyata kekasihnya akan segera menikah. Ibu terpukul mulai saat itu ia tidak percaya dengan pria lagi, tapi akhirnya ayahku bisa meluluhkan hati ibuku.
Menurutku itu kisah pahit berbalut manis, walau pada akhirnya mereka tetap berpisah. Ibu bertemu lagi dengan mantan kekasihnya yang saat itu berstatus duda dan sekarang mereka sudah menikah. Sedangkan ayahku sudah menemukan kebahagiaannya dengan keluarga yang baru setelah ibu pergi.
Hanya tersisa aku yang masih di sini sendirian tanpa mereka berdua. Aku tidak pernah menempatkan diriku sebagai korban atas perceraian mereka, tapi aku adalah bukti bahwa mereka pernah bersama dan saling mencintai.
***
“Sas… Sasya bangun.”
Sinar matahari membuat tidurku terusik. Oh, aku masih mengantuk, kenapa Raya membangunkanku. Tidak ingatkah gadis itu kalau aku masih punya cuti satu hari lagi.
“Cepat mandi kita ke kantor sekarang.”
Raya bergegas membereskan tas dan alat make-up.
“Aku masih cuti, ngapain ke kantor?”
Mataku kembali terpejam.
“Hiro nelpon lo tadi, dia nyuruh lo segera ke kantor katanya urgent,” ujar Raya sambil memoles wajahnya dengan bedak.
“Masalah apa?”
“Mana gue tahu. Udah cepet mandi bawel.”
Aku mendengus. Sejak kapan namaku berubah jadi bawel? Raya tidak pernah berpikir memberikan julukan pada seseorang. Aku bergegas untuk mandi, mempersiapkan diri bertemu bosku di kantor. Saat perjalan kusempatkan melihat email dari Jun Hee. Aku merasa senang dia membalasnya.
Maaf aku ketiduran setelah bekerja. Apa kau sibuk nanti malam?
Ya, Tuhan jangan buat aku melayang sekarang. Raya belum boleh tahu tentang hubungan ini. Aku melirik Raya sekilas. Gadis itu masih fokus menyetir mobil. Aku tersenyum senang membaca berulang kali pesan jadi Jun Hee.
“Kenapa senyum-senyum? Menang lottery?” ujar Raya. Matanya tetap fokus ke depan.
“Enggak, Cuma dapat info terbaru kalau sandal jepit itu pakai tali,” kataku ngawur.
“Ya, emang ada talinya. Kalau gak ada gimana cara pakainya? Siapa tuh yang buat berita, asal buat aja.”
Aku tertawa melihat Raya mulai emosi. Entah kenapa jalanan yang lenggang membuatku mendadak kesal. Perjalanan kali ini terasa singkat itu berarti aku tidak bisa membalas pesan dari Jun Hee lagi. Bagaimana pun juga aku harus tetap professional dengan pekerjaanku.
Siapa bilang aku merindukanmu? Jangan terlalu percaya diri. Sudah ya, aku kembali bekerja, Hiro akan marah kalau aku tidak fokus dengan pekerjaanku.Sampai jumpa nanti malam.
Aku menutup emailku sebelum keluar dari mobil. Rasanya rindu dengan ruang kerja yang hampir satu minggu aku tinggalkan. Aku dan Raya berpisah saat keluar lift karena ruangan kami berbeda.
“Pagi Bos,” sapaku saat Hiro keluar dari ruangannya. Pria itu membawa secangkir kopi di tangannya, itu berarti Hiro belum sarapan di rumah. Aku sangat hafal dengan kebiasaannya.
“Ada yang mau aku bicarakan.”
Aku mengikuti Hiro ke ruangannya. Kami duduk di sofa yang berseberangan.
“Ada client baru, dia wanita terpandang. Dia akan memberikan kita bayaran tinggi asalkan kita membantunya.”
Aku menyimak setiap ucapan Hiro. Bukan sekali dua kali kami menangani kasus seperti ini tapi apa hubungannya denganku? Masih ada teman lain yang menghandel.
“Ini data dirinya. Tolong pelajari,” ujar Hiro.
“Cuma ini?” tanyaku.
“Sebenarnya ada lagi tapi untuk saat ini kau kerjakan itu saja.”
“Baiklah.”
Aku beranjak pergi dari ruangan bosku namun saat aku membuka pintu Hiro memanggil. Aku menatapnya yang sedang tersenyum lebar.
“Kalian LDR?” tanya Hiro.
Aku terdiam. Hiro pasti sudah tahu bagaimana hubunganku dengan Jun Hee.
“Kami tidak sedekat itu. Aku dan dia baru berteman.”
“Aku mendukung hubungan kalian,” celetuknya.
Aku tersenyum tipis, Hiro sedang menggoda ku. “Terima kasih.”
Aku menutup pintu ruangannya. Sejujurnya aku malu pada Hiro, masalahnya dulu aku selalu megatakan tidak akan berpacaran apalagi menikah. Tapi sekarang mungkin…