Bugh…
Tubuh Kevin terjatuh saat Jun Hee menariknya. Kevin menatap Jun Hee tajam. Tidak ada perkelahian diantara mereka, Jun Hee dan Kevin hanya saling menatap satu sama lain.
“Aku pastikan kau akan menyesal,” ujar Jun Hee menatap tajam Kevin.
Kevin berdiri, merapikan pakaiannya yang kusut.
“Benarkan? Apa yang bisa kau lakukan?” ujar Kevin.
Aku pikir Jun Hee akan memukulnya tapi pria itu hanya tersenyum miring. Jun Hee menatapku yang ketakutan di atas ranjang.
“Aku beri kau satu kesempatan untuk minta maaf pada Sasya, jika kau ingin selamat.”
Suara itu terdengar dingin dan tegas. Jun Hee terlihat tenang, walau pria itu hanya menggunakan celana pendek yang basah tanpa atasan tapi Jun Hee terlihat sangat keren.
Aku menggeleng, di saat seperti ini otakku masih saja terpesona pada penampilan Jun Hee.
“Aku tidak akan minta maaf. Aku tidak salah,” ujar Kevin. Tatapannya membuat aku semakin takut.
Jun Hee mencegat lengan Kevin saat pria itu akan pergi.
“Lepaskan!” ujar Kevin melepaskan cengkraman tangan Jun Hee pada lengannya.
“Minta maaf atau kau akan mendapat ganjarannya,” ancam Jun Hee tanpa memandang Kevin.
“Tidak akan.”
Jun Hee tersenyum dan menatapku dengan mata tajamnya.
“Boleh aku memukulnya?” tanya Jun Hee.
Pria itu meminta izin padaku? Aku bingung harus bertindak seperti apa. Aku hanya diam ketakutan. Jujur aku tidak suka perkelahian, tapi Kevin sudah kelewatan.
“Kau diam berarti boleh.”
Bugh…
Jun Hee memukul wajah Kevin hingga sudut bibirnya berdarah. Tidak hanya sekali tapi berkali-kali. Jun Hee seperti orang kerasukan. Dia membuatku gemetar.
“Aku mohon hentikan, Jun Hee,” isakku.
Jun Hee menghentikannya. Ia terlihat santai walau Kevin sudah terkapar tidak berdaya. Tidak ada wajah penyesalan. Jun Hee mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
“Ada orang terluka. Tolong siapkan ambulance.” Jun Hee membawaku keluar dari cottage meninggalkan Kevin yang meringis kesakitan. Aku tidak mengerti apa yang terjadi dengan Jun Hee.Dia terlihat menyeramkan.
“Jun Hee,” gumamku. Dia menoleh dan tersenyum membuat perasaanku lebih tenang.
“Maaf aku memukulnya. Andai dia meminta maaf padamu, mungkin wajah tampannya tidak terluka,” ujar Jun Hee. Aku menunduk, ini semua salahku. Jun Hee melakukan semua ini untukku. Pria itu tidak perlu minta maaf. Kami saling melempar senyum.
“Dasar w************n!”
Raina menghampiriku dan mendorong hingga membuatku hampir terjatuh ke air. Untung Jun Hee dengan sigap menangkap tubuhku.
“Apa kau masih menyukai Kevin? Kau tahu kami sudah menikah, tapi kenapa kau menggodanya?”
Jun Hee menyembunyikan aku di belakang tubuhnya. Raina terlihat marah, gadis itu bahkan tidak mau mendengar ucapanku.
“Urusi saja suamimu yang sekarat. Aku sudah menelepon ambulance,” ujar Jun Hee santai.
Aku tidak sanggup melihat Raina, gadis itu sangat mencintai Kevin. Aku menyesal membiarkan mereka berpacaran. Kevin menghianatinya, tapi Raina masih membela pria b******k itu. Aku pun baru tahu sifat Kevin yang sesungguhnya.
“Aku membencimu Sasya Kamila,” ujarnya seraya berlalu dari hadapan kami. Aku terduduk lemas. Semuanya benar-benar berakhir. Kami baru memulai hubungan yang baik tapi semua kandas karena kesalah pahaman.
“Apa yang harus aku lakukan, Jun Hee? Raina sudah membenciku.”
Dadaku terasa sesak. Perasaan ini sakit sama seperti saat aku tahu Raina dan Kevin menjalin hubungan. Sekali lagi hatiku terluka oleh orang yang sama.
“Kau sudah dewasa, jangan menangis lagi.”
Tangannya terulur menghapus air mataku. Pria itu walau usianya lebih muda tapi Jun Hee terlihat lebih dewasa. Aku terdiam saat Jun Hee memelukku. Rasanya nyaman, dan aku merasa dilindungi berada di dekatnya.
***
Hari ini adalah malam terakhir kami menginap. Banyak kejadian yang membuatku sadar akan sesuatu. Jun Hee benar, aku tidak boleh hidup dengan perasaan masa lalu. Aku harus membuangnya dan mengganti dengan yang baru.
Mungkin aku harus membuka hatiku untuk orang lain. Berpacaran dan menikah, aku akan mencobanya.
“Lagi mikirin apa?”
Aku menoleh, Jun Hee membawa dua cangkir kopi di tangannya. “Mau kopi?”
Aku mengangguk dan menerima kopi yang Jun Hee berikan.
“Terima kasih,” ujarku. Jun Hee hanya menatap lurus, sesekali ia menyeruput kopinya.
“Besok kita akan berpisah apa yang akan kau lakukan setelah ini?”
Aku mengernyit, baru pertama kali aku mendengar seorang Jun Hee kepo dengan urusanku. Apa Jun Hee hanya ingin basa-basi?
“Mungkin mulai cari pacar, terus menikah dan punya anak. Hmm… mungkin,” ujarku.
Aroma kopi s**u sangat mengoda hidungku. Aku mencicipinya, walau aku bukan pecinta kopi tapi aku tahu mana kopi yang kualitas bagus dan yang tidak. Kuakui selera Jun Hee sangat tinggi dalam memilih kopi.
“Jadi sejak kau putus dari Kevin kau belum memiliki pacar?”
Jun Hee terdengar mengejekku. Lihatlah sekarang dia tersenyum dan hampir tertawa. Ya, hidupku tidak sesimpel dirinya. Perasaan wanita yang tersakiti itu lebih susah untuk diobati. Jun Hee tidak tahu seberapa cintanya aku pada Kevin dulu. Dan sekarang aku menyadari perasaanku sudah hilang sejak lama. Hanya saja ego dan pikiranku masih terpaku pada Kevin. Mungkin karena Kevin berpacaran dengan sahabatku sendiri jadi perasaanku belum lepas darinya.
“Kalau mau tertawa silakan. Jangan ditahan,” kataku kesal.
Jun Hee mengacak rambutku membuatnya jadi kusut. Aku mendelik tapi dia malah tertawa.
“Jangan buru-buru pacaran kalau kau tidak ingin. Aku tahu orang sepertimu sekali bertemu pria akan terbawa perasaan.”
Aku hanya mencibir, pria itu mulai sok tahu. Kami bahkan belum lama kenal tapi Jun Hee seolah tahu semua hal tentangku. Apa dia peramal? Mungkin, pria itu aneh.
“Terima kasih atas pujianmu. Aku sangat tersanjung sampai berbunga-bunga,” ujarku. Jun Hee merebut cangkir kopi yang ada di tanganku. Diletakkannya kedua cangkir itu di atas meja.
“Apa kau tidak percaya?” ujarnya. Kini kami saling berhadapan. Entah kenapa perasaanku tenang saat berada di dekatnya.
“Tidak ada yang bisa aku dipercaya kecuali hati nurani.”
“Tidak, kau salah.” Jun Hee memegang kedua pundakku. “Hati nurani pun bisa bimbang dan berbohong, semua tergantung dari isi kepalamu.”
“Cih, sepertinya kau tahu banyak hal tentang itu,” ujarku sambil memalingkan wajah.
“Jika aku katakan kamu adalah jodohku, apa kamu akan percaya?”
Deg…
Apa aku tidak salah dengar? Jun Hee jodohku? Aku menatapnya dengan canggung. Walau Jun Hee hanya memberikan sebuah contoh tapi kata-katanya membuat perasaanku menjadi aneh. Ada perasaan hangat yang membuatku melayang. Aku menggeleng, tidak boleh terjebak dalam gombalan seorang Song Jun Hee. Aku belum tahu siapa pria itu sebenarnya. Tidak mungkin aku jatuh cinta begitu cepat.
“Ehem… kenapa kita membahas hal seperti ini? itu terlalu jauh.”
Aku menatap Jun Hee sekilas, jantungku berdebar lebih kencang dari biasanya. Apa Jun Hee merasakan juga? Atau yang Jun Hee katakan benar kalau aku tipe wanita yang mudah terbawa perasaan?
“Sasya.” Jun Hee menggenggam tanganku erat. Aku rasanya ingin berteriak saat ini juga.
“Aku tidak ingin hubungan kita berakhir setelah kita berpisah nanti. Aku harap kau juga memiliki perasaan yang sama denganku.”
Wajahku memerah. Apa aku sedang bermimpi? Jika iya, tolong jangan bangunkan aku. Jun Hee mendekat. Tubuhku yang lebih pendek darinya membuat Jun Hee menunduk. Hembusan napasnya terasa menyentuh kulit wajahku. Mataku terpejam. Jantungku rasanya ingin copot.
“Kenapa kau menutup mata?”
Sontak mataku terbuka saat Jun Hee bertanya. Pria itu menutup mulutnya dengan tangan. Aku yakin Jun Hee sedang menahan tawanya. Wajahku memanas. Aku malu.
“Benarkan kau itu tipe wanita yang baperan,” ujarnya tanpa rasa bersalah.
“Kau …” tunjukku padanya.
Jun Hee tertawa melihatku kesal. Aku memukulnya yang kini terbahak. Bahkan disaat seperti ini Jun Hee masih bisa membohongiku. Song Jun Hee sialan. Aku tidak akan memaafkanmu.