Lunara Melike -8-

1235 Kata
Jika boleh berkata jujur maka aku benci berada di dekat pria yang akan merupakan calon suamiku ini. Yang pertama karena aku tahu latar belakangnya yang dipenuhi dengan aksi pembunuhan dan darah dan yang kedua karena dia begitu m***m. Lihat saja, sudah berapa kali dia berusaha mencium pipiku jika saja aku tidak menolak dan menyadarkan aksi gilanya itu, mungkin kami sudah berakhir di ranjang. Membayangkannya saja aku jijik. "Tuan Adli Amar Gafni yang terhormat, jaga sikap Anda pada saya atau saya pergi dari restoran ini." Bukannya mengerti ancamanku, dia malah tersenyum miring seakan tertantang dengan penolakanku. Pria seperti ini hanya suka mempermainkan wanita saja. Dia mengusap lembut rambut panjangku namun aku langsung menahan tangannya, tangan pria ini akan menjalar ke bagian tubuhku yang lain jika tidak dihentikan. "Hentikan gerakan tanganmu atau aku tampar kau di sini." "Ternyata aku tidak salah memilih dirimu menjadi calon istriku, Luna. Kau tidak selemah yang media tunjukkan padaku." "Kau pun tidak setampan dan sebaik yang media tunjukkan padaku." Aku puas karena bisa membalas ucapannya sehingga dia terdiam dan tak lagi mengganggu diriku. Jika saja aku sudah makan dan sedang tak lapar maka aku tak akan sudi berlama-lama di restoran ini dengan memesan makanan namun sayangnya kondisiku terbalik. "Pelayan!" "Iya, Nona. Mau pesan apa?" "Steak dan minuman soda." "Kalau Tuan?" Pelayan itu menoleh ke arah pria di sampingku ini, aku bisa melihat dia terpesona akan ketampanan calon suamiku ini, dia tidak tahu saja bahwa pria ini bisa menghabisi nyawanya jika tak suka dengan tatapannya. Aku hanya membiarkan saja dan berpura-pura sibuk bermain ponsel, membiarkan pria itu memilih menu makanannya sendiri namun anehnya pria ini malah menggenggam tanganku. "Sama seperti calon istriku." "Baiklah." Pelayan itu terlihat kecewa saat tahu kesempatannya menarik perhatian pria kaya dan tampan gagal. Kalau dia meminta pria ini dariku maka tanpa berpikir panjang, aku akan langsung memberikannya. Aku melepaskan tangannya yang menggenggam tanganku sambil menatap sinis ke arahnya yang juga masih tak mengerti arti penolakanku. "Aku tak suka bersentuhan dengan pria asing, catat itu di otakmu." "Aku bukan orang asing, Sayang. Aku calon suamimu. Aku sudah sabar sedari tadi, jangan sampai kesabaranku habis dan pistol di saku jasku ini akan mengambil nyawa pengunjung tak berdosa di sini akibat kelakuanmu yang membuatku marah." Dia berbisik tepat di telingaku, terdengar begitu menyeramkan hingga bulu kudukku merinding seketika. Aku menelan ludah dengan kasar saat akhirnya dia menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya, lalu menatapnya yang tersenyum manis namun terlihat seperti iblis tersenyum padaku. Aku lupa jika pria ini sangat berbahaya, dia dengan saja mengeluarkan pistolnya, tidak sepenuhnya namun mampu membuat aku melihat jika senjata api itu benar dia simpan di balik jas mahalnya. Lalu dia pun mengembalikan pistol itu ke balik jasnya dan tanpa sadar aku mulai bernafas dengan benar karena sedari tadi aku menahan nafas akibat kelakuannya. "Kau mengerti, Sayang?" Aku mengangguk patuh sebagai jawab, dia terlihat senang karena berhasil menaklukan diriku. Dia lebih berbahaya dari keluargaku, baginya nyawa seseorang adalah mainan saja. Aku memilih untuk menurut atas apa saja yang ia ucapkan dan memilih diam lalu makan dengan tenang saat pelayan sudah menaruh pesanan kami di atas meja. Walaupun tadinya aku lapar namun setelah melihat aksi kejamnya yang mengancam diriku membuat nafsu makanku hilang hingga aku hanya mampu makan dua suap saja setelahnya aku hanya memotong-motong steak di piringku dengan bentuk tak beraturan menggunakan pisau dan garpu. Tak berminat lagi untuk lanjut makan. Namun sepertinya calon suamiku yang kejam ini tak menyukai apa yang aku lakukan. "Kau tidak suka dengan makanannya? Apa tidak lezat? Sepertinya aku harus menghabisi para koki itu karena memasak makanan sampah ini." "Jangan, makanannya lezat. Sangat lezat. Lihat aku memakannya dengan lahap." Aku langsung menahan tangannya agar kembali duduk karena dia dengan sigap berdiri dan sudah siap mengeluarkan pistolnya. Dia pun tersenyum saat aku lagi dan lagi takluk akan ancamannya dengan mulai makan kembali dengan lahap walaupun rasanya aku ingin muntah akibat menahan tangis dan malah disuruh makan. "Kau memang calon istriku yang pintar, jangan melakukan sesuatu yang aku tak suka atau orang lain yang akan menanggung akibatnya." Dia mengusap-usap rambut panjangku dengan lembut sambil memperhatikan aku makan. Sedangkan aku mati-matian menahan air mata agar tidak menetes di pipiku, penderitaan apalagi yang akan aku dapat. Jika belum menikah saja dia sudah berani mengancam diriku dengan cara membunuh, apalagi nanti jika sudah menikah, mungkin aku akan mati tepat sehari setelah pernikahan kami. Membayangkan pernikahan kami saja sudah membuat aku ketakutan apalagi merasakannya. Dia pun mulai lanjut makan dan akhirnya makanan kamu berdua habis secara bersamaan. Dia menjentikkan jarinya dan pelayan pun datang dengan daftar total p********n atas makan malam kami. Aku dengan sigap mengeluarkan uang di dompetku lalu memberikannya pada pelayan itu untuk membayar makanku saja karena aku yakin pria ini punya uang jauh lebih banyak dariku. Namun di saat bersamaan dia mengeluarkan kartu kreditnya ke pelayan sehingga membuat pelayan itu bingung mau menerima p********n dari siapa. "Aku dan dia membayar pesanan kamu terpisah. Ini pembayaranku dan itu p********n dia." Aku menjelaskan pada pelayan itu yang akhirnya mengangguk mengerti lalu menerima uang dariku dan kartu kredit dari Adli. Aku kira masalah selesai saat pelayan mengembalikan kartu kredit pria itu setelah membayar tagihan namun aku malah diberi tatapan tajam yang siap membunuhku detik itu juga. "Ada apa? Aku tidak melakukan kesalahan apapun." "Aku tidak suka saat kita berkencan, kau membayar kencan kita. Aku yang akan membayar segalanya." "Dan aku tidak suka harus berhutang budi pada uang harammu." Aku langsung berdiri dan berjalan keluar dari restoran karena sudah tidak tahan berlama-lama dengan anak mafia itu. Aku tidak peduli lagi jika dia marah dan menembak seisi restoran atau bahkan menembak diriku dengan pistolnya. Aku sudah muak berurusan dengan pria itu, aku tak mau menemuinya lagi, tidak perlu pendekatan lagi, kami akan bertemu lagi di pernikahan saja. "Lunara!" "Luna!" "Aku bilang berhenti atau kau akan menyesal jika tak menuruti ucapanku." Aku menganggap ucapannya hanya gertakan saja sehingga tetap diam dan terus berjalan ke arah mobilnya. Namun langkahku langsung terhenti ketika satpam yang bertugas merapikan kendaraan di tempat parkir iutu tertembak di depan mataku ketika memberi arahan keluar kepada pengemudi lainnya yang ingin mengeluarkan mobilnya. Tak ada suara tembakan karena aku yakin calon suamiku memakai pistol canggih yang tak bersuara. Namun perut satpam itu berdarah dan dia jatuh di aspal. Aku langsung berbalik badan ke belakang dan menatap takut ke arah Adli yang malah tersenyum tanpa dosa. Aku pikir dia datang sendirian ke restoran ini, namun ketika dia menjentikkan jarinya, saat itu juga semua pengawalnya keluar dari tempat persembunyian mereka dan membersihkan mayat satpam itu. Tubuhku sudah bergetar karena masih tak menyangka jika aku akan melihat aksi pembunuhan secara langsung, tepat di saat aku mengenal Adli. "Sudah aku katakan padamu untuk berhenti. Namun kau malah terus jalan, bukan salahku jika aku marah karena kelakuanmu dan menembak pria tua itu kan?" Dia mendekat ke arahku dan aku spontan mundur dan langsung balik badan lalu berlari secepat yang aku bisa agar bisa meloloskan diri darinya. Namun dia yang memiliki kaki yang panjang, langkah kakinya tiga kali lipat dari langkah kakiku sehingga dia langsung menangkap tubuhku dan memelukku dari belakang. Aku tak kuasa lagi menahan tangisanku hingga aku menangis pilu di depannya dan meneteskan air mata karena takut dia juga akan membunuhku jika dia marah. Namun jauh dari bayanganku, dia malah memelukku dengan lembut dan berbisik padaku. "Aku bukan pria biasa, Luna. Aku tahu kau takut padaku dan tak mencintaiku. Bukan salahmu jika aku mulai menyukaimu, salahkan jiwa berontak dan kuatmu yang membuat aku ingin memilikimu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN