Lunara Melike -3-

1832 Kata
Akhirnya setelah menunggu hampir dua jam dan memutuskan menelepon editorku yang juga ada temanku yaitu, Aleva Lalini. Sebenarnya aku tak enak hati sudah menyusahkannya dari zaman sekolah sampai sudah dewasa. Meskipun dia tidak terlihat keberatan namun tetap saja aku sadar diri bahwa aku begitu menyusahkan. Apalagi saat ingat respon pria asing di kedai kopi tadi, dia hanya terlihat begitu tak suka dan menganggap aku ini beban lewat tatapannya. "Apa para pengunjung di kedai kopi itu tidak punya hati hingga tak ada yang menolongmu?" "Aku tak berani meminta tolong kepada mereka, aku tak mau menyusahkan mereka. Maaf sudah menyusahkanmu untuk kesekian kalinya." Aku bisa melihat Leva mendengus sebal mendengar ucapanku. Dia terus bersikap seperti itu setiap aku merasa bahwa aku ini beban bagi siapa pun di sekitarku. Namun memang itu kenyataannya. Aku menatap sendu ke arah tangan dan kakiku yang masih belum sembuh sampai akhirnya temanku datang dan meminta bantuan pada salah satu pelayan untuk menggendongku ke dalam mobil. "Luna, setiap orang punya kekurangan masing-masing. Jadi bukan berarti kekurangan itu akan membuatmu menjadi rendah dan menjadi beban bagi orang lain." "Kau selalu saja menyemangati dan mendukungku dengan kata-kata itu. Namun hari ini, seseorang mengungkapkan kebenaran bahwa aku adalah beban." Dia terkejut mendengar ucapanku lalu menepi ke tepi jalanan untuk menyimak ucapanku dan menatapku dengan tatapan sendu. Dia pasti tahu bahwa sekarang aku sedang merasa sedih. Dia pun memelukku dan berusaha menguatkan diriku, pelukan hangat yang menenangkanku. "Tidak masalah walaupun seluruh dunia mengatakan kau adalah beban namun kau adalah temanku." "Terima kasih." "Jadi, siapa orang yang mengatakan kau beban? Biar aku beri dia pelajaran." Setelah pelukan terlepas, dia pun meminta penjelasan atas apa yang aku ucapkan. Aku ragu untuk mengatakannya karena ini bukan masalah yang baru dan sudah sering dalam hidupku. Dia terlihat marah pada orang yang bahkan tak ia kenal. Aku memilih menggelengkan kepalaku pertanda tak mau menjawab pertanyaannya, lebih baik dia tak tahu tentang orang itu atau dia akan mencarinya dan membuat keributan, pria di kedai itu terlihat menyeramkan dan dingin walaupun parasnya menawan. "Kau ini, kenapa harus melindungi orang yang menghinamu?" "Karena dia tidak salah. Kalau aku yang tidak sempurna, bukan berarti aku harus menyalahkan dan merepotkan orang yang sempurna." "Sudahlah, kita akhiri pembicaraan ini." Leva sepertinya mengerti jika pembicaraan ini hanya akan mengingatkanku pada kekuranganku dan memilih mengakhirinya. Aku pun akhirnya bisa bernafas lega karena dia sudah berhenti menanyaiku sampai akhirnya kami sampai di rumahku. "Pak Satpam, buka gerbangnya." "Iya, Non." Tak lupa aku mengucap terima kasih pada salah satu pekerja di rumahku ini setelah gerbang terbuka, mobil temanku pun masuk ke pekarangan rumahku yang besar dan sejuk karena dipenuhi oleh tumbuh-tumbuhan. Setelah sampai di depan rumah mewah tingkat dua yang merupakan rumah keluargaku, Leva pun keluar dari mobil dan hendak membantuku masuk namun ketika aku berusaha menggerakkan kakiku ternyata kakiku sudah bisa jalan dan bergerak, begitu pun dengan tanganku. "Tangan dan kakiku sudah bisa digerakkan, Leva." "Aku turut senang melihatnya." Aku tersenyum senang lalu keluar dari mobil temanku, memang penyakitku ini terbilang aneh, hanya waktu dan Tuhan saja yang tahu kapan penyakit ini kembali dan hilang. "Kalau begitu, aku pamit pulang." "Iya, terima kasih atas bantuanmu, Leva." "Sama-sama. Itu sudah tugasku sebagai teman, membantu teman yang kesusahan." Kami pun akhirnya berpelukan dan dia pun masuk ke dalam mobilnya. Aku melambaikan tangan ke arahnya lalu masuk ke dalam rumah setelah mobilnya sudah keluar dari pekarangan rumahku. Aku melihat kakakku, Akran sedang membaca buku hukum pidana yang sangat tebal di tangannya, aku memilih langsung jalan dan seakan tak melihatnya. "Siapa lagi yang kau susahkan saat penyakitmu itu kambuh?" Aku hanya berhenti di tempat, tak mau menatap ke arahnya karena aku tahu pasti dia sedang tersenyum miring dan mengejek diriku. Dia tahu aku butuh bantuannya saat pelayan kedai menelepon lewat ponselku namun dia memilih mematikan sambungan panggilan saat tahu tujuannya di telepon. "Setidaknya aku tidak menyusahkan keluargaku yang sibuk. Satu kesalahanku yaitu menelepon kalian." Aku pun langsung segera melanjutkan jalanku agar tidak lagi mendengar hinaannya yang hanya membuat hatiku sakit dan perih. Dia memanggil namaku dan berteriak padaku, namun aku tak peduli dan malah masuk ke kamar lalu mengunci pintu kamar agar dia tak bisa masuk ke kamarku. Dia itu bukan kakakku melainkan iblis. "Luna!" "Luna, berhenti!" "Aku belum selesai bicara, Luna!" [][][][][][][][][][][][][][][][][] Malam harinya, aku pun keluar dari rumah ingin mencari makanan karena aku sudah melewatkan waktu makan malam dengan mengurung diri di dalam kamar sedangkan peraturan di rumahku sangat ketat. Anggota rumah ini dididik untuk jadi displin dan teratur sehingga saat ada yang telat dan tak datang ke meja makan saat waktu makan tiba maka tak akan ada makanan untuk orang itu. Namun saat aku hendak masuk ke dalam mobilku yang sudah diambil supir dari kedai kopi, gerakan tanganku terhenti saat melihat mobil saudaraku. "Pergi, Luna. Cepat pergi, sebelum dia melakukan kejadian itu lagi." Aku berucap pada diriku sendiri, hendak membuka pintu mobil namun tanganku seketika kaku dan tak bisa digerakkan. Aku berusaha menggerakkan tanganku namun tak bisa, saat melihat Akran keluar dari mobilnya dan berjalan ke arahku. Aku memutuskan untuk berlari saja masuk ke dalam kamar. Namun naas dia berhasil menangkapku dan memelukku dari belakang, dia mencium pipiku dengan penuh nafsu, aku tahu dia mabuk dari aroma alkohol dari mulutnya namun aku juga tahu dia masih sadar. Dia adalah pemabuk yang unggul, berapa banyak pun dia minum dia tak akan hilang kendali. Dia sadar apa yang dia lakukan padaku, dia melecehkan aku yang merupakan adiknya sendiri. "Akran, lepaskan!" "Sadarlah, aku ini adikmu." "Kita sedarah." Aku mencoba menjelaskan padanya, aku ingin suaraku lantang agar dia mengerti namun ketakutan akibat sentuhannya yang merajalela di tubuhku membuat aku takut. Arkan tak mendengarkan aku dan membalik tubuhku agar menghadapnya. "Tangan gadis kecilku ini kembali kram ya? Sini biar aku bantu." "Tidak, jangan lakukan itu .... ARRRGHHHH!" Dia tak mendengarkan lagi permohonanku dan malah menekan kuat tanganku ke bawah agar kembali normal, dia tahu yang dia lakukan hanya percuma karena hanya akan menyakiti bahkan mematahkan tulang tanganku karena tanganku tak bisa kembali normal jika masih kram, masih dengan posisi sama saat hendak membuka pintu mobil. Rasanya begitu sakit, bahkan sampai berbunyi, aku rasa tulang di tanganku akan patah akibat kelakuan biadabnya. Aku tak bisa melawan karena tanganku kaku, jadi aku pun hendak lari lagi. "Mau kemana kau gadis kecilku?" "Malam ini tak akan aku lepaskan dirimu." Kata-katanya begitu menyeramkan, bahkan aku terus berlari dan terus berusaha menyelamatkan diriku malam ini dari usahanya memperkosa diriku. Namun seketika kakiku kaku di tempat dan tak bisa digerakkan. Aku menangis histeris melihat kondisiku yang tak bisa kabur lagi darinya. "Aku mohon jangan buat penyakitku kambuh, Tuhan." "Iblis itu akan memperkosaku malam ini, setidaknya bantu aku kali ini." "Bergeraklah kakiku, kau satu-satunya harapanku." "Kau, aku tangkap." Pupus sudah harapanku, saat saudaraku itu muncul di hadapanku dengan tatapan penuh gairah yang membuatku merinding. Aku menggelengkan kepalaku ketika dia memelukku dan mencumbu leherku dengan ganas. Dia kakakku, bukannya melindungiku dari para pria j*****m di luar sana, dia malah menjadi salah satu pria j*****m di luar sana. Hal ini sudah sering terjadi selama satu tahun ini, dia mulai berani menyentuhku dengan keterlaluan saat tahu melihat jika orang tua kami sudah tak peduli padaku lagi. Berkali-kali dia masuk ke dalam kamarku, mencoba mencium dan menyentuhku, aku berhasil kabur darinya dengan segala upaya dan usaha namun sepertinya kali ini adalah kegagalanku memperjuangkan kesucianku. Aku jijik setiap sentuhannya di tubuhku. Kenapa aku harus hidup di antara orang-orang biadap yang memanfaatkan kekuranganku untuk keuntungannya pribadi dan menghina kekuranganku bagaikan hal yang menjijikkan? "Kau tahu, Luna?" "Sudah sejak lama aku ingin menyentuh dan menidurimu, kau begitu cantik dan mampu membuatku b*******h. Selama ini aku menahan nafsuku sebagai pria padamu, tapi kali ini aku akan memuaskan nafsuku." "Malam ini, tubuhmu akan menjadi milikku." Tangannya makin berani menyentuh kedua dadaku, aku hanya bisa memejamkan mataku dengan erat karena tak mampu melihat diriku yang dinodai oleh kakakku sendiri. Aku berusaha berteriak minta tolong, berharap ada penghuni rumah lainnya yang mendengar seperti para pekerja rumah karena orang tuaku sibuk bekerja. "Tolong!" "Siapa pun, tolong aku dari pria biadab ini!" "Jangan lakukan itu kak!" Dia merobek bajuku hingga pakaian dalam bagian atasku terlihat di depannya, aku ingin menutupi dalamanku namun tanganku kaku dan tak bisa digerakkan. Pertama kalinya dalam kehidupanku yang dipenuhi kekurangan ini, aku mengutuk diriku yang cacat dan tak berguna sehingga hanya bisa pasrah menerima perlakuan b***t ini. "Percuma kau berteriak sampai suaramu habis karena tak akan ada yang mendengar." "Tak akan ada yang bisa menghentikan diriku meniduri ... ARGGGGHHHH! Aku terkejut ketika tiba-tiba saja kakakku merintih kesakitan dengan nada berteriak. Tubuhnya lalu jatuh begitu saja ke belakang, akhirnya aku tahu penyebab kakakku terjatuh adalah bibi Yanti yang memukul kepalanya menggunakan penggorengan di dapur hingga dia pingsan. Akhirnya aku bisa bernafas lega ketika ada yang menolongku. Tangisku pecah ketika melihat bibi Yanti menatap kasihan ke arahku yang bernasib buruk karena hampir diperkosa saudara kandungku sendiri. Dia memelukku dengan lembut dan berusaha menguatkanku. "Luna engga kuat hidup di dunia lagi." "Luna lelah." "Kenapa Luna harus menerima cobaan seberat ini?" "Yang sabar, Non. Non harus kuat, Bibi yakin Non Luna pasti bisa melewati semua ini. Bibi panggil satpam dulu buat bantu Non ke kamar lalu Bibi akan bereskan semua ini." Aku hanya bisa mengangguk sebagai jawaban lalu pembantuku pun mencari penutup tubuhku dan mengambil selimut dari kamarnya dan melilitkannya di tubuhku, kemudian berlari cepat keluar dari rumah ke arah pos satpam di depan gerbang. Dia harus bergerak cepat agar masalah ini tidak diketahui oleh orang tuaku atau nantinya para pekerja di sini akan dipecat dan aku akan dimarahi karena membuat putra sulung mereka terluka tanpa tahu penyebabnya. Aku menatap penuh kebencian ke arah kakakku, aku tak akan sudi menyebutnya kakak lagi. Dia tak pantas mendapat panggilan ini, sekali lagi aku katakan dia itu iblis! Tak lama kemudian satpam rumahku sudah datang bersama pembantuku, satpam rumahku terlihat terkejut melihat keadaan ini, aku hanya bisa menunduk malu saat orang asing menolongku dari kebejatan keluargaku. "Non Luna, baik-baik saja kan? Tuan Muda berulah lagi ya?" "Luna baik-baik saja, Pak. Bisa bantu Luna ke kamar?" "Iya, Non. Maaf Bapak harus gendong Non Luna." "Engga apa-apa, memang kondisi saya yang engga memungkinkan untuk berjalan sendiri." Dia pun mulai menggendong tubuhku masuk ke dalam kamar, aku tak merasa takut dia berbuat macam-macam padaku karena dia pernah mengatakan bahwa aku memiliki kemiripan sifat yaitu lugu dan polos dengan puterinya yang sudah meninggal, jika puterinya masih hidup pasti dia seumuran denganku. Maka dari itu dia menganggap aku seperti puterinya sendiri. Dia pun meletakkan aku di atas kasur lalu pamit keluar kamar dan menutup pintu kamar. Di dalam kamar, aku kembali menangis mengingat perlakuan b***t kakakku. Aku pernah mengadu ke ibuku namun dia memintaku bungkam dan mengancam agar tak ada yang tahu tentang hal memalukan ini atau reputasi keluarga akan hancur. Sedangkan ayahku, aku cukup belajar dari respon ibuku. Jika wanita yang mengandung dan melahirkanku pun tak peduli denganku maka percuma berharap pada ayahku. Pasti pembantu dan satpam sedang membereskan kekacauan di ruang tamu, termasuk membawa kakak ke kamar agar tak ada yang tahu aksi tadi malam. "Luna ingin mati saja."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN