Hari ini adalah hari paling menyebalkan untukku karena kelakuan pria yang aku tabrak tadi. Perkataan pria itu sangat menyakitkan dan cukup mempengaruhi suasana hatiku hingga aku menunda semua acara penting yang berhubungan dengan promosi bukuku. Aku butuh waktu sendiri sejenak.
Namun rasanya semesta tidak memberiku izin untuk berdamai karena di depan pintu kamar hotelku ada lima pengawal berpakaian serba hitam dengan tubuh tegap dan tinggi, tak lupa tatapan datar di matanya. Aku hendak berbalik badan dan kabur sebelum mereka menyadariku namun sialnya lagi mereka sudah menyadari keberadaanku lebih dulu.
"Nona Lunara!"
"Berhenti di sana!"
Aku menuruti ucapan pimpinan pengawal ayahku itu karena percuma lari dan kabur, aku pasti akan tertangkap. Mereka segera berlari menghampiri diriku. Pasti mereka ingin memaksaku pulang sama seperti yang dulu-dulu. Aku hanya bisa menghela nafas kasar karena begitu cepatnya ayahku menemukanku dengan koneksinya.
"Nona Lunara disuruh pulang oleh Tuan Alan."
"Keluarga Nona khawatir dengan kehilangan Nona yang tiba-tiba."
"Khawatir? Aku tak percaya akan hal itu."
Aku hanya bisa tersenyum getir mendengar perkataan dua pengawal itu, hal itu tak akan terjadi bahkan jika aku mati mereka akan lebih senang karena beban hidup mereka hilang. Namun sepertinya pengawal ini tak mau tahu apapun alasanku.
"Kami hanya diperintahkan untuk membawa Nona Luna ke rumah kembali, tidak peduli Nona Luna percaya atau tidak dengan ucapan kami."
"Kalau aku tak mau pergi dengan kalian, bagaimana?"
Aku bertanya pada para pengawal ini dengan nada menantang dan alis naik pertanda ingin tahu apa yang akan mereka lakukan. Mereka terlihat berpikir sejenak dan saling tatap satu sama lain antara para pengawal kemudian pimpinan pengawal itu menjawab dengan tegas dan tak terbantahkan.
"Kami akan tetap membawa Nona Lunara dengan paksa."
"Baiklah, ayo kita pergi ke rumahku."
Aku langsung berbalik badan dan berjalan di depan mereka, tanpa menunggu respon mereka atas ucapanku barusan yang berbanding terbalik saat aku bertanya dengan nada menantang. Mereka pasti terkejut namun aku tak peduli dan memilih fokus memikirkan apa yang akan dilakukan kedua orang tuaku nanti.
Entah kenapa aku merasa ada hal yang buruk akan terjadi. Ada sesuatu yang terjadi dan mereka membutuhkan aku hingga mencariku, dulu saja tunggu berbulan-bulan sejak kehilanganku, baru akhirnya mereka mencari dan membawaku pulang karena kakek meninggal dan mereka ingin segera dapat bagian harta warisan masing-masing. Kalau anggota keluarga belum lengkap maka harta warisan tak akan dibagi. Hal itu membuat aku semakin yakin ada maksud terselubung dari penjemputan aku.
"Aku harap mereka masih bisa berpikir waras saat meminta sesuatu dariku."
[][][][][][][][][][][][][][][][][][]
Adalah orang tua yang lebih egois dari pada orang tuaku? Maka jawabannya tidak. Sudah sepuluh menit sejak aku duduk bergabung di sofa dengan mereka, membicarakan masalah yang menurut mereka penting namun tidak bagiku. Awalnya mereka berbasa-basi dengan mengatakan ini dan itu seperti menanyakan kabarku dan lain-lain. Aku tak menjawab dan hanya diam, menunggu mereka bicara inti permasalahannya.
Akhirnya permintaan itu keluar dari bibir ibuku yang kini menggenggam tanganku dan menatap harap padaku, matanya sudah berlinang air mata kesedihan. Ayahku pun sudah terlihat putus asa. Kakakku kini terlihat bersalah padaku. Semua itu hanya akting mereka ketika membutuhkan aku. Permintaan mereka sangat konyol dan tidak waras. Aku sendiri sampai tak tahu harus mengatakan apa sejak mendengar permintaan mereka karena masih terkejut.
"Kami semua butuh bantuanmu untuk tetap bertahan hidup. Ayahmu yang kami pikir direktur di perusahaan swasta, ternyata adalah satu salah anggota mafia berbahaya di Negeri ini. Sekarang mereka mengincar nyawa kami karena ayahmu sudah berkhianat dengan memberi tahu rahasia Klan Mafianya. Kamu harus menikah dengan Adli Amar Gafni agar kami mendapat pertolongan dari Klan Mafia Italia karena dia adalah anak ketua mafia tersebut dan dia menyukaimu sejak melihat dirimu di televisi sehabis penerbitan bukumu."
Ingin rasanya aku berteriak memaki mereka lalu menolak permintaan mereka namun aku tahu jika itu percuma karena mereka masih keluargaku dan mereka masih punya hubungan denganku yang membuat mereka mampu melakukan atau memutuskan apapun di hidupku ini.
"Nak, bagaimana? Kau mau kan menolong ayahmu ini?"
Aku menoleh ke arah ayahku yang sepertinya sudah tak sabar mendapat jawabanku. Aku hanya menatapnya dengan tatapan mengejek dan senyum miring di bibirku. Wajahnya yang semula memelas pun menjadi mengeras karena marah akan ejekanku lewat tatapan mata dan senyuman.
"Saat susah kau membutuhkan perempuan penderita Charley Horse ini?"
"Jaga batasanmu, Luna! Aku membutuhkanmu karena selama hidupmu, kau tidak pernah berguna bagiku!"
"Suamiku, sabar. Kita masih membutuhkannya."
"Iya, Ayah. Tenang, kalau Luna sampai menolak, kemana lagi kita mencari perlindungan?"
Aku bisa mendengar suara bisik-bisik dari kakak dan ibuku yang langsung berdiri saat melihat ayahku berdiri karena sudah tak bisa menahan amarahnya lagi. Mereka langsung membuat ayahku duduk dan memintanya tenang. Mereka pikir aku tak bisa mendengar bisikan mereka namun mereka tak tahu jika telingaku sangat baik dan cepat menerima suara.
"Maafkan, Ayahmu ini. Ayah emosi dan melupakan jika kau adalah puteriku, seharusnya aku bersikap lembut dan halus padamu."
Dia mulai lagi berakting agar aku simpati padanya. Jujur, aku sudah muak berada di antara keluarga yang semuanya munafik, ayahku yang berbuat salah namun aku yang harus menanggungnya, kenapa harus aku yang jadi tumbalnya?
"Aku ingin mengajukan satu pertanyaan untuk kalian."
"Pertanyaan apa? Kenapa kau sulit sekali membantu kami? Apa kau tak sayang pada kami?"
Kali ini kakakku yang kehilangan kesabarannya, mungkin dia takut mati muda. Ibuku juga sudah mulai kesal karena aku mengulur waktu terlalu lama. Aku tahu tak ada pilihan lain selain menerimanya namun aku hanya ingin memastikan satu hal.
"Katakan saja pertanyaanmu."
"Jika aku menerima perjodohan ini, apakah aku bisa bebas dari ikatan keluarga ini yang berarti aku bukan puteri kalian lagi, aku tak punya hubungan pada kalian, aku bukan saudara perempuan Akran. Setelahnya aku hanya orang asing yang tak akan peduli kalian mati atau hidup. Setuju?"
Mereka terlihat terkejut dan terdiam memikirkan pertanyaan yang menjurus ke syarat. Aku tetap tenang menunggu ada yang buka suara, aku ingin memastikan kebebasanku setelah ini walaupun aku tahu setelah keluarga dari sangkar buaya maka aku akan masuk ke sangkar singa.
"Baiklah. Kau bebas melakukan apapun setelah kau menikah, kau bukan puteri keluarga ini lagi, kami akan membebaskan dirimu dari ikatan darah dan ikatan keluarga yang selama ini."
"Baiklah, aku setuju."
Mereka terlihat begitu senang dengan senyum manis di bibir mereka. Aku pun tersenyum karena sebentar lagi aku akan bebas seutuhnya dari keluarga ini. Ibuku hendak memelukku namun aku langsung mendorong tubuhnya ke belakang. Sepertinya dia lupa akan persetujuan yang dia berikan tadi.
"Aku bukan lagi puteri kalian. Jangan coba-coba memelukku."
"Baiklah. Itu tak masalah, yang terpenting nyawa kita sudah aman."
"Terima kasih atas bantuanmu, Luna."
Setelahnya mereka pergi begitu saja dengan kesibukan masing-masing, sedangkan aku masih terdiam di tempat. Aku tak tahu bahaya apa yang akan mengintaiku saat menyetujui untuk menikah dengan keturunan Klan Mafia Italia. Aku sedih akan sikap orang tuaku yang egois, namun aku tak mau menunjukkan air mataku di depan mereka lagi. Sudah cukup aku menangisi keluarga yang bahkan tak peduli padaku. Jika mereka mati atau hidup, itu bukan urusanku lagi.