tiga

1439 Kata
"JANGAN, Mel! Ish!" Aku tertawa, saat Marsya dengan cepat merebut tablet dari tanganku. Dia ini berlebihan sekali. Aku hanya ingin memberi tahu Rama kecil tentang kehidupan teknologi tetapi dia bersikap seakan aku ingin membunuh anaknya. "Mau itu, Bunda..." "Kata Ayah nggak boleh pegang itu. Nanti tangannya kotor, terus nggak boleh makan." Aku memutar bola mata. For God's shake, sia sahabatku. Baiklah. "Mika sama Iyya lama banget ke Indomaret doang?" Aku mengalihkan pembicaraan. "Banyak yang dibeli kali. Lah, lo nitipnya aja banyak." Malam ini, aku sengaja meminta mereka untuk datang ke rumahku. Mika bersama Gamia yang tumbuh menjadi remaja cantik tetapi mengerikan. Bagaimana tidak? Di usia 11 tahun, dia sudah mengerti cara menggunakan aplikasi Musically yang sedang hits di kalangannya. Selain itu, Mika juga sering mengeluh, kalau Gamia sudah mulai mengenal make up, dan barang-barang bagus. Itu hasil dari didikan Galang. Rasakan. Berbeda dengan lelaki mungil nan menggemaskan replika Radian ini. Well, meskipun aku sempat membenci Ayahnya karena perlakuannya pada Marsya, tetapi aku tidak menampik kalau Arama sangatlah menggemaskan. Bulu matanya lentik, menyerupai milikku. Mata karamelnya, dan satu lagi; lubang pipi hasil imitasi dari Ayahnya. Dia masih 5 tahun, tetapi berhasil menarik perhatian banyak orang. Semoga jika sudah besar nanti, dia bisa menjadi panutan, tidak berengsek seperti Ayahnya. "Ante Acha tadi nitip Chitato yang rasa apa, sih?" See? Itu suara Gamia. Tanpa mengucapkan salam dan langsung berteriak begitu saja. Ck! "Lupa nggak bilang. Dapetnya apa?" "Ayam panggang."   "Yaudah. Kalau nggak mau, sini buat Tante Amel aja." Aku mengulurkan tangan, tetapi dengan cepat dia menarik bungkusan itu. "Lo nitip es krim doang, kan, Mel?" Kini, Mika membuka plastik dan mengeluarkan es krim pesananku. Penyejuk hati setelah pelukan Pram. Oh sial, aku merindukannya. Jika ada Pram, dia pasti akan tersenyum lebar melihat betapa ramainya rumah ini. Banyak sahabatku, anak-anaknya yang sudah kuanggap seperti anak sendiri. Pram menyukai mereka semua. Tanpa ada alasan. Entahlah. Kadang aku merasa dia bukanlah seorang manusia, dia tidak pernah melarangku kemana pun, pergi bersama siapa pun. Tetapi, ada saatnya di mana aku ingin dia bersikap posesif, seperti Galang dan Radian. Merasa benar-benar dicintai. Oh tunggu, bukankah setiap orang memiliki caranya sendiri untuk menunjukkan perasaannya? My... Aku percaya itu. "Bunda, mau yang kayak Kak Iyya." Suara lelaki mungilku kembali terdengar. Dia ini bawel dan menggemaskan. "Minta dikit, dong, Kak Iyya. Buat Rama..." Aku berusaha merayu Iyya. Dia ini egois, jarang mau berbagi. Lihatlah, dia bahkan menyelipkan bungkusan itu di ketiaknya. "Kasih, Yya... Masa udah gede gitu..." Mika menimpali, yang hanya dibalas dengusan oleh Gamia. Gadis ini.... "Rama mah apa-apa minta. Tadi nggak mau bilang. Nih!" Aku menahan tawa, saat melihat Gamia melemparkan bungkusan itu kasar. God, apa yang akan terjadi dengannya sepuluh tahun lagi? "Dikit aja, kok, Kak. Sini Bunda yang ambilin." Marsya adalah Ibu terbaik yang pernah ada. Tidak pernah marah terhadap siapa pun. Selalu tertawa dan tersenyum. Meskipun Radian menyakitinya; dulu. "Segini aja, cukup?" Rama mengangguk. "Nggak usah. Buat Rama aja. Nggak mau bekas." Gamia menepis bungkusan yang disodorkan oleh Marsya. "Mama sakit, kenapa nyubit, sih? Ah... Aku bilangin Papa pokoknya... Males." "Ya kamu makin hari, makin nggak sopan. Siapa yang ngajarin ngomong kayak gitu?" "Mika...." Aku menepuk bahunya. Dia menghela napas kasar. Aku tahu, dia sering bertengkar dengan Galang perihal mendidik Gamia. Dan begini hasilnya. Semakin tak terkendali. "Iyya, kamarin Tante abis beli sepatu baru, dong?" "Ntar juga Papa beliin aku." Aku terbahak. Yakin seratus persen kalau anak ini akan langsung mengadu ke Papanya. Hell, gadis jaman sekarang. "Bunda, Kak Iyya jahat, ya?" Semua diam, memandangi wajah mungil Rama yang sedang menanti jawaban dari Bundanya. Gamia sudah mencebik kesal di tempat duduknya, dan Mika yang berusaha menahan senyum geli. "Bukan jahat, Sayang... Kak Iyya itu pemberani," jawab Marsya, lembut. Aku baru akan membuka mulut, tetapi urung saat mendengar seseorang mengucapkan salam. "Laki gue!" Berdiri dari sofa, aku segera melangkah menuju pintu depan. Dia berjalan mendekat. "Aaaaa! Malam banget pulangnya." Aku memeluk pinggangnya erat. Suara kekehan seksi itu kembali terdengar. "Baru juga jam sembilan." Dia menarik diri, kemudian menciumku lembut. "Ada Gamia sama Rama." "Ohya? Mau nginep?" "Nanti dijemput. Mana boleh sama Radian dan Galang... Ew banget." "Mulutnya." Dia kembali mengecupku. Lalu berjalan ke ruang TV. "Hai... Waw, lagi pesta apa nih?” Aku tersenyum, memandangi mereka dari jarak beberapa langkah. Pram sangat paham bagaimana masuk ke duniaku. Berbalik, aku segera ke dapur untuk mengambilkannya minuman dingin. Dia suka Jus Jeruk. Seperti biasa. "Ini..."   Dia menerima gelas dari tanganku dan mengucapkan terima kasih tanpa menoleh. "Gimana studionya Galang, Mika? "Alhamdulilah baik-baik aja. Gue mah nggak ngerti tuh ngejalaninnya." "Yang penting jalan terus, ya.... Banyak duitnya gampang. Udah bisa bayar fotograger handal juga." Pram tertawa kecil, meminum minumannya. "Gue denger, mau buka majalah Traveling?" "Baru rencana, sih. Mau jadi host-nya?" "Jangan!" selaku cepat. "Makin nggak mau pulang dia." "Lebay banget lo!" sembur Mika. "Mama... Kapan sih Papa jemputnya?" Oh My.... Aku kira dia sudah tidak bernyawa karena terlihat tiduran di karpet menghadap televisi. Sedangkan lelaki mungil itu sudah tertidur pulas di pangkuan Marsya. Mulutnya terbuka sedikit, imut sekali. Marsya bilang, Rama benar-benar duplikat dari Radian. Plek, tidak ada yang berbeda. Pram menatap Gamia dengan senyuman kecil. "Lho, katanya Iyya mau nginep di rumah Om Pram?" "Siapa yang bilang?" Pram tertawa mendengar dengusan gadis kecil itu, sedangkan Mika menatap tajam Gamia yang sama sekali tidak menghiraukan. "Radian makin jaya nih proyeknya, ya, Sya?" Pram kembali bersuara. Oh Tuhanku... lelakiku ini terlalu baik. Too sweet. Dia bahkan tahu kalau Marsya tidak akan berbicara jika dia tidak memulai. Marsya memang berubah sedrastis itu. Dan semuanya berkat Radian. Gara-gara lebih tepatnya. . . . . AKU sedang menunggu Pram keluar dari kamar mandi. Dia benar-benar tidak mau masuk ke kamar sampai Radian dan Galang datang. Katanya, jarang sekali bisa mengobrol dengan mereka. Bahkan tadi, dia sempat meminta Radian dan Galang untuk berbincang sebentar, sebelum mereka semua meninggalkan rumah kami. "Udah makan belum?" "Udah. Tadi bareng Produser." Dia mengusap rambut basahnya dengan handuk kecil. Kemudian berjalan ke meja rias untuk menyisir rambutnya. Sudah ganteng, rajin, bersih, cerdas, dia sempurna! Aku menyenderkan punggung di ujung ranjang yang sudah kulapisi bantal. Memperhatikan tiap geraknya yang sedang menyisir, meletakkan sisir, membenarkan kaus dan celana piyamanya, lalu berbalik mendekati ranjang. Semua yang ia lakukan terlalu sempurna. "Seharian ngapain aja?" Aku tersenyum. Inilah momen yang paling kusuka. Setiap malam, aku seperti memiliki jadwal khusus untuk bercerita dengannya. Bukan laporan, lebih menceritakan apa yang paling kuingat hari ini. "Tadi, sebelum anak-anak dateng, aku pergi belanja, kan..." "He'em." "Kamu tahu? Aku ketemu Devan Mahenra di mal.... Ih sumpah, dia itu ganteng banget, Pram!" Dia tertawa kecil, meletakkan kedua tangannya di belakang kepala. "Yaiyalah! Kamu lihatnya nggak bareng aku." Kepalanya menoleh ke arahku. "Foto bareng nggak?" "Foto, dong! Mau lihat?" "Boleh."   Aku menyibakkan selimut, mengambil ponsel dari atas nakas, lalu memperlihatkan beberapa foto yang kuambil tadi. Aku juga mengamati ekspresinya. Dia mengangkat sebelah alis, lalu menyeringai. "Pasti langsung di-post di IG. Iya, kan?" Aku mengangguk. "Kamu belum like, ya?" "Males." "Dih, curang! Aku aja selalu like foto kamu. Walaupun kadang nggak jelas maksud dan tujuan fotonya." Dia terkekeh, lagi. Kemudian memosisikan diri berbaring dan menarik selimut hingga dadanya. "Tidur aja, Ra. Udah malem. Besok aku like, deh." "Gitu doang?" "Mau dikomen juga?" jawabnya sembari memejamkan mata. Kan, dia mulai tidak peka! Aku rindu dia. Berharap kalau dia mau memelukku, menciumiku, bahkan b******a denganku. Ini malah tidur! "Kok diem?" dia bergerak, kini memiringkan tubuhnya, menghadapku. Aku masih pada posisi sama tidak berniat menjawabnya. "Belum ngantuk?" Aku diam. "Hei," Tangannya menoel lenganku. "Kenapa, sih? Laper?" Aku masih diam. "Ra...." "Kamu nggak pernah peka, ah!" Aku langsung berbaring miring, memunggunginya. Makan tuh punggung! "Malah ngambek." Aku hanya bergeming. "Kalau kangen itu bilang. Gengsi kok, digedein," bisiknya, di leherku. Sialan. "Mau ML, kan? Ngaku...." Berengsek! Memang hanya dia lelaki berengsek yang budiman. Tetapi keparatnga karena aku mencintainya. Segera berbalik, aku mencium bibirnya kasar, dan memberi gigitan di akhir ciuman. "Ow... ow... ow! Kamu makin bringas aja, ya..." Dia memegang bahuku. "Pelan-pelan, dong. Sini, naik sini..." Dia telentang dan menunjuk dadanya. Tawaran yang menarik. Tidak ingin terlalu membuang waktu, aku segera bergerak dan memosisikan diri di atasnya; menciumi rahang, pipi, hidung, dan terakhir bibirnya. Dia hanya terkekeh sembari membalas ciumanku. "Baru sehari nggak ketemu aja begini, gimana kalau sebulan?" Alisnya terangkat sombong. Sial. "Mungkin aku benar-benar makan kamu dalam artian sesungguhnya." "Hahaha... Kalau nanti-" "Bawel!" Aku segera membungkam mulutnya lagi, kemudian beralih ke lehernya. Aku terkejut, saat tiba-tiba dia duduk dan balas menciumku. Entah sejak kapan, yang kutahu saat ini bajunya sudah terlepas, begitu pun milikku. "Aku mau kamu." Aku dan dia mengucapkan kalimat yang sama dan di waktu yang sama pula. Tertawa kecil, dia segera menidurkanku di bawahnya. "Kamu selalu mengejutkanku, Ra. Selalu..."  Aku tahu...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN