Pintu berwarna hijau itu mulai terbuka, tepat jam delapan pagi kurang sepuluh menit seperti biasa. Seorang pemuda dengan senyum menawan dan rambut hitam terurai bak artis Korea Lee Seung Gie keluar dari dalam sana dengan membawa sejumlah mangkok plastik tempat makan kucing lengkap beserta panganan kucing kiloan bermerek. Orang itu adalah Ahmad Rida, sosok paling dicintai, disenangi dan disukai oleh seluruh kucing di kampung Batu Kunawa. Satu-satunya manusia di kampung itu yang memiliki kepedulian yang besar terhadap hewan terutama kucing.
Seekor kucing muda bercorak oren dan putih nampak mengikuti pemuda itu dari belakang.
"Kau mau ikut Rimpu?" tanyanya. "Sudah kubilang kau harusnya tetap di rumah saja, tidak perlu mengikutiku, nanti kau bisa tersesat. Dasar kucing yang bebal," Rida tersenyum lalu seketika menarik Rimpu dengan tangannya untuk menggendongnya.
Rida mengelus-elus Rimpu sebentar lalu kembali meletakannya ke tanah. "Ayo, jika kau benar-benar ingin ikut. Kau memang kucing yang susah sekali disuruh diam."
Seperti biasa Rida bersiap hendak melakukan rutinitasnya setiap pagi sebelum kesibukan aktivitas menyita waktunya seharian, yakni memberi makan kucing-kucing jalanan atau para kucing kampung yang tidak memiliki majikan. Ini merupakan kebiasaan yang telah ia lakukan selama bertahun-tahun bahkan sejak ia masih sangat kecil. Dahulu ia sering melakukannya bersama almarhum sang kakek–Habib Darmawan yang juga merupakan penyayang kucing dan sangat pemberi terhadap hewan, sangat sesuai dengan namanya, manusia yang Dermawan.
Rida mengingat betul setiap pagi dahulu almarhum sang kakek suka mengelilingi beberapa kampung bersama dirinya yang saat itu masih sangat kecil hanya untuk memberi makan kucing-kucing. Ketika itu Ahmad Rida selalu naik diatas sepeda roda tiganya yang terbuat dari besi bukan plastik, lalu didorong oleh mendiang sang kakek dari belakang dengan menggunakan sebilah kayu panjang.
Almarhum Habib Darmawan Al Kadzim dahulu biasa menyisihkan ikan-ikan atau lauk bekas dari rumahnya atau mengumpulkan sisa-sisa lauk milik tetangga yang ia pinta untuk khusus diberikan kepada kucing-kucing yang kelaparan. Kadang jika ada uang lebih, beliau akan membelikan ikan segar lalu memasaknya sendiri. Saat itu Habib Darmawan membawa banyak kantong plastik berisi ikan dan lauk pauk sembari mendorong sepeda roda tiga yang ditumpangi oleh Rida kecil setiap paginya.
Kini kebiasaan itu senantiasa diteruskan oleh Rida hingga saat ini ketika dia telah tumbuh menjadi seorang pemuda 20 tahun keatas yang mapan dan matang. Bagi Ahmad Rida, ada kesenangan tersendiri ketika dia dapat memberi kebahagiaan kepada kucing-kucing di kampungnya tersebut. Rida sangat menyukai hewan yang satu ini. Dia mewarisi sikap penyayang itu juga dari almarhum sang kakek. Baginya memberi makan atau berkasih sayang terhadap hewan ciptaan Tuhan seperti kucing merupakan sebuah amalan.
Biasanya Rida membawa berbagai macam jenis makanan kucing, tidak hanya satu jenis saja. Ada makanan basah seperti ikan goreng, pepesan ikan kering, dan abon ikan, karena Rida tahu tidak semua kucing di kampungnya menyukai atau dapat memakan makanan kucing instan kiloan bermerek. Beberapa diantara mereka hanya bisa makan panganan konvensional saja. Rida sudah sangat memahami setiap karakter dari kucing-kucing di kampungnya. Ia mengerti masing-masing kebutuhan dari mereka, seperti bagaimana caranya memberi makan beberapa kucing liar yang ia tahu takut jika didekati oleh manusia karena tidak pernah kontak fisik dengan manusia sejak mereka dilahirkan. Kucing-kucing liar penakut seperti Arnot pun akan tetap mendekati Rida dengan sikap malu-malu mau khas mereka. Rida tentu saja sudah memiliki trik khusus untuk kasus semacam ini.
***
Tidak lama setelah Rida berjalan meninggalkan rumahnya dengan diikuti oleh Rimpu yang berlari pelan di belakang, ia sudah mendapati kumpulan kucing yang sedang nongkrong bersama. Disana sudah ada Arnot, Kemul, Madi, Muin dan Umas. Rida mengenali nama mereka semua karena sebagian besar kucing tanpa majikan di Batu Kunawa memang dinamai olehnya.
"Hei Rimpu, seperti biasa kau selalu mengekor pada Tuan Rida." Celetuk Muin.
"Halo semuanya. Mana yang lain?" Sapa Rimpu.
"Umas, Muin, ayo semuanya...! Kemari, saatnya makan." Seru Rida seraya meletakan beberapa makanan di pinggiran jalan setapak kampung. Makanan-makanan itu ia letakkan diatas selembar tisu putih agar tidak kotor. Dengan lahap para kucing yang sudah kelaparan dan menanti kedatangan Rida sedari tadi pun mulai memakan makanan mereka.
Kucing-kucing lain yang melihat dari kejauhan mulai mendekati Rida. Tumil dan Jaim mulai mendekat dan juga langsung diberi makan oleh Rida. Dua kucing itu berasal dari g**g Empat. Jauh sekali mereka berdua berjalan-jalan hingga sampai ke g**g Delapan.
Diantara kerumunan kucing itu, Rida mengenali satu kucing baru berwarna oren dan putih dengan rasio warna seimbang, mirip seperti corak Rimpam dan kedua Unyis-nya terdahulu yakni Legendary Unyis dan Successor Unyis. Kucing itu ternyata jenis kucing penakut dan liar. Ia hanya menatap tajam pada Rida sembari mendekat perlahan untuk mengharap makanan seperti kucing lainnya.
Rida memahami bahwa kucing tersebut adalah jenis kucing yang liar karena selalu menjauh ketika hendak ia dekati, maka Rida hanya melempar makanannya saja agar kucing itu mau mendekat lalu mengambilnya sendiri.
Kucing itu nampaknya merupakan salah satu kucing baru di kampung ini karena Rida merasa tidak pernah sekalipun melihatnya. Mendekati musim kawin, memang begitu lumrah jika ada beberapa pejantan asing yang datang ke suatu kampung dimana terdapat banyak betina-betina subur dan produktif berada.
Semua kucing yang memiliki meongan level menengah ke bawah nampak segan dan sedikit menjauh menjaga jarak mereka ketika kucing pejantan tersebut mulai mendekat. Begitu juga dengan Rimpu yang fokus memperhatikan sosok kucing bertubuh bongsor dan kuat itu. Rimpu terlihat menundukkan kepalanya ke tanah dan mengendus-endus bau tubuh dari kucing tersebut.
Aku tidak pernah melihat pejantan yang satu ini, pikir Rimpu. Dia juga bukan salah satu dari keempat Balam Raja setahuku. Tapi aku bisa mengendus bau wisanya yang sekuat wisa Tuan Rimpam.
"Namanya adalah Thamren," sahut Muin lewat telepati pribadi. "Dia baru saja datang kemari, mungkin sudah semingguan disini. Salah satu yang ingin mengikuti musim kawin disini."
"Thamren? Musim kawin?"
"Sebaiknya kau menjauh dan jangan dekati dia Rimpu. Jangan cari masalah." Timpal Umas.
Setelah puas melahap sepotong ayam goreng yang tadi dilempar oleh Rida, kucing bernama Thamren itu langsung lari dan menjauh dengan sangat cepat seakan tak tahu caranya berterima kasih. Rimpu sedikit bergeming dan meliriknya dari kejauhan. Dia selalu penasaran setiap kali melihat sosok kucing yang baru dilihatnya. Sifat kurios alami seekor kucing.
"Kampung ini sebentar lagi akan dipenuhi oleh pejantan-pejantan elite seperti itu." Tandas Kemul. "Mendekati musim kawin, situasi akan semakin riskan dan berbahaya. Kita semua harus lebih berhati-hati, hindari terlibat masalah dengan mereka. Entah bakal ada berapa poros yang akan tercipta di musim kawin kali ini."
"Kau benar, Kemul." Sahut Madi.
"Jangan memikirkan itu, kita habiskan saja makanan yang diberikan oleh Tuan Rida." Timpal Muin.
Karena obrolan itu, Rimpu jadi memikirkan tentang apa yang dimaksud dengan musim kawin tersebut? Seingatnya ia juga beberapa kali pernah mendengarnya dari beberapa kucing dan bahkan dari ibunya, Unyis X.
***
Setelah puas bercengkrama dengan Umas, Muin, dan Kemul cs, Rida kemudian pergi. Masih ada banyak tempat yang harus Rida sambangi. Keluar dari g**g Delapan, Rida menyusuri g**g Enam, g**g Tujuh, g**g Empat, g**g Sembilan dan g**g sepuluh. Hampir semua g**g di Batu Kunawa dia masuki. Rida yang diikuti Rimpu bertemu dengan banyak kucing seperti Senru, Kital, Kitty, dan Arik di jalanan g**g Sembilan dan banyak kucing lainnya di setiap g**g.
"Makanlah yang lahap, b***k, Mucil, Penta dan Tamam." Ucap Rimpu melihat kucing-kucing dari g**g Enam itu menyantap makanan yang diberikan oleh Rida.
"Terima kasih, Rimpu." Sahut Mucil.
Sekitar 20 hingga 30 menit waktu yang biasa Rida habiskan untuk memberi makan kucing-kucing di kampungnya seraya bercengkrama dengan mereka. Sebuah sentuhan tangan penuh kasih sayang dan menghangatkan yang selalu dinantikan oleh para kucing di Batu Kunawa. Tidak ada alasan bagi para kucing-kucing itu untuk tidak menyukai dan menyayangi Ahmad Rida. Sebagai seorang Sayyid keturunan Rasulullah, Ahmad Rida benar-benar dapat merepresentasikan akhlak-akhlak agung nan mulia dari kakek buyutnya tersebut dalam setiap jengkal perilakunya.
Hari ini Rida hanya bisa menyisir kampung Batu Kunawa saja karena Rimpu mengikutinya. Biasanya jika waktunya luang atau setidaknya tiap seminggu sekali, Rida juga memberi makan kucing-kucing yang ada di luar Batu Kunawa seperti di kampung Batu Tiban, Batu Mandiy dan Batu Kara.