[EVRA'S POV]
Salah satu kegiatan yang sebenarnya tidak aku suka adalah fitting baju. Apalagi sama perempuan. Karena itu artinya aku harus menunggu. Kalian tau, itu adalah hal paling membosankan.
"Mas nya mau fitting juga, kan?" tanya Sesi, salah satu pegawai butik yang lambaian tangannya mengalahkan lambaian mantan.
Aku memutar bola mata. Memangnya kalau aku tidak fitting baju untuk apa aku di sini? Lalu nanti Ai dengan siapa saat resepsi? Tck. Pertanyaannya membuat tegang urat saraf saja.
"Eh iya dong ya. Kalau Mas nya nggak fitting, nanti Mbak nya sama siapa dong," ia terkekeh sendiri.
Lucu. Tck.
"Ayo, Mas, sini.."
"Gimana, Ev? Suka? Ada yang kurang pas?" Tante Gebi, pemilik butik yang sekaligus sahabat baik Mama memeriksa setelan yang aku kenakan. Aku menatap diri di cermin. Sepertinya tidak ada masalah. Secara keseluruhan aku suka.
"Not bad." Lagipula aku tidak punya pilihan. Acara dua hari lagi. Aku malas kalau harus kembali lagi ke sini. Bukan karena aku risih digoda oleh pegawai-pegawai Tante Gebi, tapi karena aku malas ribet. Ada banyak pekerjaan lain yang harus aku kerjakan selain kembali ke sini.
Tante Gebi manggut-manggut.
"Nyari siapa? Istri kamu ya?" tanya Tante Gebi. Agaknya dia tau aku sedang menunggu Aisyah karena melirik ke bilik tempatnya tadi. Perempuan. Selalu saja lama.
"Sabar ya. Namanya juga perempuan. Laki-laki emang harus sabar kalau berurusan sama perempuan cantik." Tante Gebi mengedipkan sebelah mata.
Perempuan cantik? Ya setidaknya aku beruntung karena Mama memesan baju kami di sini. Di butik Tante Gebi. Karena dari semua butik kenalan keluargaku, hanya tempat ini satu-satunya butik yang tidak pernah aku kunjungi bersama wanita-wanitaku.
Bisa kebayangkan apa yang akan terjadi? Setidaknya pegawai di sini aku jamin keemberannya. Mereka pasti dengan senang hati berkoar ria pada Aisyah. Aku bukannya takut. Sama sekali tidak. Aku rasa Aisyah juga sudah bisa menebak kalau aku ini populer di kalangan perempuan. Tapi, aku benci jika orang lain membicarakannya di depan mataku.
Sabar Evra. Anggap saja aku balas budi karena dia sudah baik sejak kemarin. Membuatkan teh, menyiapkan baju, dan memberi morning kiss yang halal tanpa embel-embel dosa. Aku bersyukur untuk yang satu itu. Bisa dibilang kapasitas dosaku kedepannya akan mulai berkurang karena untuk sebuah ciuman, aku sudah punya yang halal. Sejauh ini Aisyah belum membuat peraturan yang aneh-aneh seperti no skinship, no kiss, no hug, dan yang lainnya. Meski dia masih malu-malu, tapi aku masih bebas mau melakukan apapun.
Sebenarnya aku sedang memikirkan apa? Kenapa harus senang karena aku bebas melakukan apapun dengannya? Dia istriku, tentu saja aku bebas. Lagipula, sejak kapan aku jadi suka perempuan model begitu? Evra, cepatlah sadar dan kembalilah ke dunia nyata.
"Apa dia masih lama? Well, Tan, ini mulai agak membosankan."
Tante Gebi mengangguk. "Sebentar." Tante Gebi hilang ke dalam bilik. Aku memilih memeriksa lagi setelan yang aku kenakan. Kalau-kalau ada satu benang yang keluar jalur.
Bunyi tirai dibuka menarik perhatianku. Begitu tirai dibuka, kudengar decak kagum pegawai butik menghiasi telinga.
"Gimana, Mas? Cantik, kan?" tanya Sesi sepertinya sengaja menggodaku.
"Gimana, Ev? Cantik?" tanya Tante Gebi membuyarkan lamunanku. Aku berdehem. Apa dia akan memakai gaun sesederhana itu? Apa dia tidak punya hasrat untuk memakai gaun yang sedikit lebih wah? Biasanya perempuan-perempuan sangat gila jika berurusan dengan gaun. Apalagi gaun untuk hari penting seperti ini. Pasti mereka ingin menjadi yang paling cantik pada hari itu dan sudah pasti didukung dengan gaun yang wah. Tapi kenapa Aisyah seperti tidak tertarik pada hal berbau glamor seperti itu?
"Hmm, cantik."
Tante Gebi tersenyum. Sementara Aisyah terlihat tak begitu nyaman. Aku juga bingung kenapa Tante Gebi setuju membuat gaun sesederhana ini untuk sebuah acara penting? Apa semua orang sudah setuju pada isi kepala Aisyah? Apa tiba-tiba semua orang jadi mengikuti keinginanya?
"Ini Tante udah usaha bikinnya sesederhana mungkin, sesuai request Nia."
"Ini udah yang paling simple, ya, Tan?" tanya Aisyah. Tante Gebi mengangguk. Aisyah akhirnya tersenyum.
"Gimana? Aisyah suka?"
Aisyah mengangguk. Tante Gebi memeriksa sekali lagi. Mungkin memastikan kalau ukurannya pas atau memastikan tidak ada yang salah pada gaunnya itu.
"Ok, nggak ada masalah. Nanti Tante kirim ke rumah ya, gaun sama setelannya."
Setelah berterimakasih, aku dan Ai meninggalkan butik Tante Gebi.
"Kenapa?"
Ai yang sedang memasang seatbelt menoleh padaku. Menatapku dengan bingung.
"Kamu kenapa? Mukanya ditekuk gitu? Nggak suka sama dressnya?"
"Hah. Suka kok, Mas."
"Well, kamu perempuan tercepat yang pernah fitting baju sama aku. Jarang banget satu baju langsung cocok." aku menjalankan mobil.
"Ya. Perempuan desa biasanya nggak suka pilih-pilih." Aku melirik ke arahnya. Apa dia baru saja menyindirku karena aku selalu menyebutnya perempuan desa? Terserahlah. Aku tidak perduli.
"Mau ke mana? Makan?"
Aisyah mengangguk. "Oh iya, Mas. Bisa temenin Ai ke Binus, ya.."
"Binus? Ngapain?"
"Mau lihat kampus, ada perlu juga."
Aku masih belum mengerti maksud istriku ini. Sungguh. Adakah yang bisa menjelaskan? Sepertinya Ai tau aku bingung, ia kemudian menjelaskan.
"Emang Mama sama Papa belum kasih tau, Mas? Ai kan mau lanjut S2 di Binus."
Aku melotot. Hampir saja ditabrak mobil di belakang karena mengerem mendadak. Mungkin karena mobil yang aku gunakan membuat pengemudi di belakang tidak berani meneriaki atau memencet klakson panjang tanda protes. Jazz merah itu berlalu melewati kami begitu saja.
"Mas, hati-hati dong. Hampir aja nabrak."
Aku menghela napas. Perempuan di sebelahku ini sepertinya memang perlu diberi sedikit pemahaman. Kujalankan kembali mobil.
"Mama atau Papa nggak kasih tau aku. Kamu juga kenapa baru kasih tau sekarang?" aku sedikit kesal oleh pemberitahuan tiba-tiba ini. Aisyah sepertinya juga terkejut atas reaksiku.
"Hmm, Ai kira Mas udah dikasih tau."
Aku menghela napas kesal. Dia ingin lanjut S2 tapi aku tidak diberitahu? Lucu sekali. Bukan apa-apa. Tapi ayolah, ini menyebalkan. Kami baru saja menikah. Lalu dia akan habiskan setengah dari harinya di kampus? Lalu bagaimana denganku?
Astaga. Apa aku baru saja bersikap kekanakan? Aku bukannya ingin diperhatikan seharian olehnya, toh aku juga bekerja. Tapi dengan dia melanjutkan S2, itu berarti perhatiannya akan terbagi, kan? Lalu apa aku salah menuntut perhatian penuh dari istri sendiri? Tidak kan?
"Mas, jadi.." Ai melirikku takut-takut. "Gimana?" tanyanya penuh harap.
"Kamu udah daftar di sana?"
Dia mengangguk.
"Udah diterima?"
Sekali lagi dia mengangguk.
"Berarti tinggal masuk kuliah?"
"Iya," jawabnya.
Aku mendengus. "Kamu udah mau kuliah tapi baru minta izin sama aku sekarang?"
Aisyah menunduk. Aku menghentikan mobil di parkir. Kemudian mematikan mesin mobil. Kami sama-sama diam. Kemudian kupandangi Ai yang masih menunduk. Aku tau perempuan macam dia ini mudah sekali dibuat merasa bersalah.
"Kita lupain dulu masalah itu sekarang. Aku lapar dan mau makan. Kita lanjut bahas itu nanti." Aku turun dari mobil. Aisyah menurut tanpa banyak berkomentar.
***