[EVRA'S POV]
Apa rencana tuhan sebenarnya? Astaga. Ev berhenti mengeluh dan protes. Udah nggak ada gunanya.
Yap. Aku baru saja selesai ijab qabul. Baru sepuluh menit yang lalu. Akhirnya aku sah menikah. Sah menjadi suami orang. Tapi ajaibnya orang yang aku peristri belum aku lihat secuilpun kulit wajahnya.
Kenapa dia tidak muncul juga? Padahal akad sudah selesai. Harusnya dia keluar sekarang. Aku jadi bete sendiri. Rasanya ini pernikahan terburuk, teraneh dan tergaje yang pernah aku lihat. Sialnya ini pernikahanku sendiri.
Mama dan papa serta keluarga yang lain malah asyik bercerita dengan tamu-tamu dan keluarga dari wanita itu. Ups. Maksudku istriku. Siapa namanya? Kenapa susah sekali mengingat namanya? Ingatkan aku untuk mencari nama panggilan untuknya nanti.
Apa sebenarnya rencana wanita ini? Di tengah kejengkelan yang mulai mencapai kadar limit, Bang Sena menyenggol lenganku.
"Kenapa? Nyari calon istri ya? Eh sudah jadi istri ya sekarang," dia menggodaku. Bang Sena terkekeh.
"Abang apaan sih?"
Bang Sena makin terkekeh. "Sabar aja. Mama bilang cantik kok.."
Aku mendengus. "Kalau cantik kenapa lama banget? Jangan-jangan dia lagi operasi plastik atau lagi berusaha mempermak mukanya."
"Hush kenapa ngomongnya gitu? Kualat kamu.."
"Lagian abang ngerasa aneh nggak sih? Kenapa dia dari kemarin-kemarin pakai nolak ketemu coba. Sok taarufan. Toh kalau ketemu aku juga nggak bakal ngapa-ngapain dia kan? Takut banget sama dosa."
"Yakin nggak diapa-apain?"
Aku berpikir. Munafik kalau bilang enggak. "Ya minimal nyentuh lah. Buat mastiin dia manusia apa bukan."
"Halah gaya kamu. Kayak abang nggak tau kamu gimana aja. Tapi percaya sama abang, dia cantik. Kamu tau kan kalau gadis desa itu punya pesonanya sendiri."
Aku memutar bola mata. Nyatanya keluarga istriku ini juga tidak benar-benar orang desa. Maksudku mereka bukan orang kampung. Mereka keluarga terpandang yang memang lebih memilih hidup di desa. Dibanding rumah yang lain rumah mereka juga besar dan bagus. Ya lumayanlah.
"Bukan masalah cantik atau enggak bang. Ini soal selera. Taste."
Bang Sena tersenyum misterius. "Oke. Kita lihat aja. Apa dia ini bakalan lolos dari seleksi 'taste' kamu.."
Oh iya. Rayn dan Kevin tidak hadir di acara akad sekarang. Mereka menyusul nanti malam untuk acara resepsi besok. Ya resepsinya diadakan besok, bukan hari ini seperti yang biasa orang lakukan. Intinya aku tertahan lagi lebih lama di sini. Kenapa papa dan mama dengan mudahnya setuju kalau resepsi utama diadakan di sini. Padahal akan lebih praktis kalau di kota saja. Aku bukannya sewot soal itu. Tapi menyebalkan berada di lingkungan di mana kamu nggak bisa melakukan apapun. Bahkan nggak ada club di sini. Atau bar. Sudah seminggu mama mengawasi minumku. No alcohol.
Di tengah kegundahan dan kerinduanku pada alkohol, tiba-tiba ruangan menjadi hening. Apa yang terjadi?
Aku mengangkat wajah. Dan...
Seorang wanita dengan gaun putih didampingi dua wanita lain dengan gaun warna biru aqua berjalan pelan memasuki area prosesi akad. Dia berjalan ke arahku.
Ia menunduk. Namun aku masih bisa melihat wajahnya.
Dia semakin dekat. Wajahnya... bersinar. Aku benar-benar tak sadar sampai terdengar suara seseorang berdehem. Aku dengan cepat menguasai diri. Berdehem pelan membasahi kerongkongan.
Dia sudah di depanku. Wanita itu. Istriku.. dia..
"Udah nggak sabar ya, mas. Ini sekarang udah boleh kok dilihat puas-puas," celetuk salah satu 'dayang' yang mendampingi istriku tadi. Uhuk. Istri.
Sontak saja hal itu mengundang gelak tawa.
Aku hanya tersenyum tipis sekilas. Dikiranya aku segitu ngebet apa? Aku bukannya benar-benar ingin bertemu dia. Aku hanya ingin melihat wajahnya. Sebab sudah seminggu bayangan orang tanpa wajah muncul di dalam mimpiku. Menyebalkan sekali. Harusnya aku mimpi wanita menari e****s tapi malah—
"Kenapa diam aja, Vian?" Papa membuyarkan lamunanku. Aku hanya bisa melongo. Tak mengerti maksud papa.
"Itu, Aisyah udah ngulurin tangan dari tadi," timpal Bang Sena.
Anjir. Ternyata wanita itu tengah mengulurkan tangannya. Hendak mengambil tanganku. Aku masih berusaha bersikap tenang. Mengulurkan tanganku pada Aisyah. Dia meraihnya, lalu mencium punggung tanganku.
Hembusan halus menggelitik kulitku, memberi rasa hangat saat Aisyah menyentuh punggung tanganku dengan keningnya. Sensasi aneh apa ini? Bagaimana mungkin mencium tangan saja rasanya bisa se'wow' ini?
Dan wajahnya...
"Ayo foto dulu.." suara mama menarikku dari keterpanaan.
Aku mengambil posisi. Aisyah masih belum mengucapkan satu patah katapun. Saat itu aku tak sengaja bertemu pandang dengan Bang Sena. Anjir. Dia tersenyum aneh padaku.
***
Suara hiruk pikuk membuat aku ingin segera menghilang. Acara foto-foto sudah berakhir sejak lima belas menit lalu. Dan apa yang aku lakukan sekarang? Tidak ada. Aku duduk sendirian seperti orang bodoh. Aisyah? Dia hilang entah ke mana. Kenapa gadis itu suka sekali menghilang? Kayak tuyul.
"Mas Evra!"
Seorang gadis yang tadi mengiringi Aisyah berdiri tak jauh dariku. Cantik. Berjilbab.
"Disuruh siap-siap.."
"Untuk?" Rasanya tidak ada kegiatan apapun yang harus aku lakukan selepas menikah. Kenapa aku diminta bersiap-siap? Tidak mungkin 'itu' kan? Sekarang? Siang begini?
"Loh, kan mau foto.."
"Foto?" Aku makin tak mengerti. Acara foto-foto sudah selesai. Kenapa foto lagi?
"Iya, mas. Foto berdua sama Kak Ai.."
Aku mengerjap beberapa kali. Belum sempat aku bersuara lagi, gadis itu sudah mengintruksi meminta aku cepat. Mau tak mau aku ngikut saja.
"Ini mas Evra nya sudah ada.."
Seluruh penghuni ruangan yang rata-rata wanita itu lantas mengarahkan pandangan dan perhatian mereka padaku. Karena sudah biasa jadi aku tidak ambil pusing. Terserah mereka lah.
"Wah, memang ganteng ya.."
"Ya ampun. Ganteng banget.."
Aku mendengar bisikan-bisikan semacam itu. Tapi aku tidak perduli. Kini pandanganku tertuju pada satu wanita. Rata-rata mereka berjilbab. Cantik. Tapi kembali lagi, mereka bukan seleraku. Kecuali...
"Ayo, Ai. Udah kan? Mas Resa udah nunggu nih," kata salah satu gadis yang entah siapa namanya.
Seluruh penghuni kamar itu diminta keluar. Menyisakan beberapa orang saja. Aku, Aisyah, si fotografer dan gadis yang tadi memanggilku.
"Ayo Ai sama masnya nggak usah tegang ya. Santai aja.." si fotografer memberi intruksi.
"Mas Evra duduk aja di sebelah Kak Ai, nggak usah malu gitu. Kan udah sah.." kata gadis tadi.
Aku masih diam. Kemudian kualihkan pandangan pada wanita yang sudah sah menjadi istriku itu. Aisyah. Aku perhatikan wajahnya tanpa berkedip. Dan pandangan kami bertemu saat ia menolehkan wajahnya. Matanya berwarna hitam. Bibirnya tipis dan hidungnya mancung.
"Ehm.." dia berdehem. Aku tau ini canggung, tapi aku terlalu malas untuk mengalihkan pandangan ke arah lain. Aisyah mengedipkan matanya beberapa kali. Terlihat salah tingkah atau dia justru tidak nyaman karena aku terus memandanginya?
"Ayo Mas nya lebih dekat lagi. Mbak nya dirangkul juga nggak apa-apa," ujar si fotografer memberi intruksi.
Aku menggeser dudukku. Aisyah terlihat agak terkejut saat aku hendak meraih tangannya. Aku menaikkan kedua alis. Seolah bertanya kenapa.
Ragu-ragu dia mengulurkan tangannya. Aku meraihnya, menggenggam dan menarik Aisyah mendekat. Membuat jarak kami sangat dekat dan nyaris menempel satu sama lain.
"Yap bagus.. satu.. dua.. tiga.."
Aku melingkarkan tanganku di pinggang Aisyah. Membuat wanita itu terkesiap. Rasanya aku ingin tertawa kencang. Apa ini? Apa semua dugaanku tentang gadis desa itu benar? Jika iya, maka ini sama sekali nggak akan menyenangkan.
Kayaknya gadis ini belum pernah disentuh orang lain.
***
Sudah jam 4 sore. Kevin dan Rayn belum datang juga. Kemana tuh anak berdua. Pasti sengaja memperlama perjalanan. Dasar sahabat sialan. Mereka nggak tau betapa membosankannya di sini.
"Hallo, bos," jawab suara di sebrang.
"Jo anterin wine ke sini.."
"Baik bos.."
Yap. Sebotol wine nggak akan masalah kan? Aku sudah melepaskan semua pakaian tadi. Pakaian adat melayu yang agak menggangu. Ini semua juga karena permintaan keluarga Aisyah. Karena Aisyah masih keturunan Malaysia, makanya pernikahan menggunakan adat melayu. Aku sih oke oke aja. Mau akad pake adat apa juga nggak ngaruh. Yang penting kan bagian malamnya. Nggak pake adat nggak pake baju.
Aku masih bermain ponsel. Niatnya mau mandi karena sekarang aku hanya memakai sehelai handuk yang juga hanya menutupi tubuh dari pinggang ke lutut. Tapi sesuatu di ponsel masih terlalu menarik perhatianku. Jadi aku masih duduk di pinggir kasur, main ponsel, tanpa baju.
"Astagfirullah.." seru seseorang saat pintu terbuka. Menarik perhatianku.
"Mas, kenapa nggak pakai baju?" Aisyah muncul dengan mata tertutup. Ini adalah suara pertama yang aku dengar dari bibirnya.
So..
"Oh, jadi kamu nggak bisu ya?" Aku menarik sudut bibir. Lalu kembali memainkan ponsel.
"Apa?" nada suaranya terdengar terkejut.
"Aku kira kamu bisu. Makanya kamu kebelet mau nikah dan terima perjodohan ini." Aku mengangkat wajah. Dan saat ini Aisyah juga sedang menatapku dengan kedua mata bulatnya itu. Dia terlihat marah.
Aku kira dia akan marah. Tapi..
"Mas mau mandi kan? Aku siapin baju. Mama, Papa dan yang lain udah nunggu. Ada teman mas juga." Aisyah melangkah menuju lemari. Aku tidak bisa melihat jelas apa bajuku sudah tersusun rapi di sana atau dia mengambilnya dari koper.
"Rayn sama Kevin udah datang?"
Aisyah hanya mengangguk. Tidak menoleh dan tidak bicara.
"Nggak bisa jawab pakai suara?"
Aisyah balik badan. Menatapku datar. "Udah, mas."
"Irit banget ngomong, heran." Aku meletakkan ponsel di atas meja nakas. Lalu melangkah masuk ke dalam kamar mandi.
***