Setelah Sekian Lama 2

1843 Kata
Sky datang ke rumah sakit, untuk kedua kalinya, beberapa orang ada di sana. Termasuk orang tuanya dan adik-adiknya, “masuklah, Grandad menunggumu...” Ujar Alyan. “Apa maksud menungguku?” tanya Sky bingung. "Kamu akan segera tahu," jawab ayahnya lagi. Dia melangkah masuk, menemukan Grandmom Anna dan Eyang Kaflin bersama istrinya ada di sana. Mata Sky langsung beradu tatap dengan mata tua Kai. Beberapa alat masih terpasang. “Sky datang, Kai...” suara Grandmom Anna membuat Sky tersadar untuk segera mendekat. Eyang Kaflin merangkulnya lembut, “dia pulang untukmu,” Sky berjalan kesisinya karena Kaivan terlihat ingin bicara, Sky mendekat, membungkuk dan meraih tangan Kaivan Lais. “Grandad...” Bibir Kaivan bergerak, tampak berat tetapi tetap memaksa, “terima kasih,” bisiknya. Terdengar jelas ditelinganya. Kaivan mengucapkan terima kasih karena Sky meski berat tetap kembali pada keluarganya. “Jangan katakan apa pun dulu, Kai...” ujar Anna. Menyentuh kaki suaminya. Semua orang terkejut dapati Kaivan Lais membuka matanya, kemudian dokter memeriksa dan kabar baik keluarga terima. Sagara hanya meminta Sky datang, tidak memberitahu jika Kaivan sudah siuman. Kejutan untuknya. Kaivan merasa memiliki kesempatan baik untuk bicara dengan cucunya yang sudah lama pergi darinya, tidak hiraukan mulutnya yang terasa kering. Dia tetap bicara, “ma—maafkan aku,” juga meminta maaf, dia merasa keputusan Sky dulu pergi karena kerasnya Kaivan yang melarangnya untuk meneruskan jadi atlet setelah cedera parah yang menimpa Sky. Sky mengeratkan tangannya pada Kaivan, tidak mengatakan apa pun. Tetapi, dari ekspresi dan tatapan Kaivan, dia seolah diberi banyak tanggung jawab. Secara tidak nyata, ia seolah tengah terikat untuk tidak ke mana-mana. Ia menghela napas dalam-dalam, lalu menegakkan berdirinya. Kemudian membiarkan neneknya berada di samping Kaivan. Memegang tangannya, Kai bahkan menaikkan tangan untuk menyentuh wajahnya. “Kupikir tidak akan melihatmu membuka mata lagi, Kaivan.” Kaivan tersenyum, “mendekatlah, aku ingin memelukmu, Anna” bisiknya. Sky mundur perlahan, meninggalkan ruangan tersebut agar tidak terlalu banyak orang, kemudian bertemu dengan Sagara yang tengah merangkul Felora. “Sudah makan malam, Ka? Jika belum, aku dan Felora mau makan malam juga.” Felora menatap Sky, tersenyum. “Ayo, Kak. Fayra juga pasti ikut. Tunggu dia kembali dari toilet.” Sky menatap adik-adiknya tersebut, kemudian mau-tidak mau pun memberi anggukan. Menunggu Fayra. Mereka pergi ke resto jepang masih menjadi milik keluarga. Hasil bisnis ayahnya dengan kerabat ayahnya. Sagara dan Felora di mobil lain, ia dan Fayra di mobilnya. Fayra mengambil tempat make up dari tasnya, kemudian sibuk dengan itu sambil mengoceh. Sky memang terganggu dengan orang yang berisik, banyak bicara. Tetapi, ada dua orang yang tidak bisa ia hentikan untuk diam. Pertama Fayra, kedua Lula. Wanita itu baru diam saat ia mencium bibirnya. Fayra menoleh, tersenyum lalu berdecak, “enaknya bisa pergi sama kamu atau Sagara, tanpa pengawal-pengawal rese itu!” “Berapa orang yang biasa jaga kamu?” “Yang terlihat satu-dua orang,” jawabnya sambil memainkan ujung rambutnya. “Maksudnya?” “Orang akan berpikir, penjagaanku lebay... melebihi anak presiden! Iya, yang kelihatan satu-dua. Nah, sisanya tidak terlihat.” Jawabnya. Sky menoleh, Fayra tersenyum sambil memerhatikan kakaknya. “Sudah jangan bahas mengenai kehidupanku yang membosankan! Besok aku ada undangan, rasanya berdosa bila tidak pamer punya kakak ganteng kayak kamu!” Kening Sky mengernyit, “pamer?” “Iya, kamu temani aku pergi! Ke acara ulang tahun temanku, sekalian biar aku tanpa pengawal kalau ditemani kamu, jadi kamu sebagai tiket izin dari Papa-Mama.” Beritahunya seenaknya, dan Sky tahu akan membuat adiknya sedih bila menolak. “Aku tidak bisa menolak?” tanyanya. Fayra menyengir, “ayolah, Ka. Please... Jangan menolak ya?” Sky menghela napas, “hanya sebentar.” “Iya-iya...” sambil menyeringai, Fayra belum tentu akan hanya sebentar datang ke acara temannya nanti. “Eh, kamu belum punya pacar? Selama di luar negeri, kayaknya tidak mungkin kalau enggak ada yang mau sama kamu deh!” Sky tidak ingin menjawab, adiknya tak perlu tahu hal-hal pribadinya. “Atau sudah ada? Calon kakak iparku bule?” Sky biarkan adiknya terus mengoceh hingga mereka tiba di resto. Sagara merangkul Felora, sementara Sky membiarkan adiknya menyelinapkan tangan di lengannya. “Kalau gandengan sama kamu, orang-orang kasih tatapan ‘iri’.... kita adik-kakak, dilihat sebagai pasangan serasi.” Fayra terkekeh sendiri, “ugh tapi kalau lagi jalan sama Uncle Aric, atau Papa... tatapan mereka semua kayak aku ini tahanan neraka, pasti sambil berpikir aku ‘ani-ani’ yang berhasil!” “Ani-ani, what?” bingung Sky. Fayra menatap kakaknya, “sugar baby, gadis simpanan.” “Kamu tidak terlihat seperti gadis begitu,” Sky akan patahkan lidah orang-orang yang berani menghina adik perempuannya itu. “Iya, biarkan saja. Risiko kalau jalan sama Uncle dan Papa begitu. Tapi, Aunty Vanya dan Mama paling senang kalau aku yang jagain mereka, dibanding biarkan jalan sendiri. Misal datang ke undangan pas mereka sedang sakit, tak bisa temani.” Fayra memang mirip sekali ibunya, tipe ceria yang akan cerita pada orang terdekatnya. “Aku juga dulu suka gantikan Bunda, temani Ayah.” Saut Felora yang tengah mendengar. Mereka tiba di depan pintu resto, dan langkah Sky tiba-tiba berhenti dengan tatapan lurus pada wanita di depannya yang juga langsung berhenti bicara. Dia hanya sedang sendiri, tangan yang memegang ponsel ditangannya pun diturunkannya. Sedangkan Sky yang berhenti, membuat Fayra, Felora dan Sagara juga berhenti. Mereka ikut menatap ke arah mata Sky berlabuh, gadis cantik berdiri kaku. Kemudian melanjutkan langkahnya. Sky menaikkan satu alisnya, terutama saat gadis itu mencoba bersikap biasa dan tidak mengenalinya. Mata Sky tertuju pada langkahnya yang cepat menyusul seorang pria, yang Sky pernah lihat merangkulnya. Sky pikir suami bagi Lula. “Ka Sky, ayo! ajak Fayra menarik kakaknya. "Bisa-bisanya aku bertemu Influencer sombong itu dua kali dalam bulan ini!" Keluh Fayra yang mengenali gadis tadi. Ya, Malam ini bukan hanya Fayra tetapi Sky bertemu lagi dengan gadis itu, dengan kondisi gadis itu melihatnya tetapi bersikap asing. 'Dia bersikap asing, karena melupakanku atau berpura-pura?' Batinnya. *** Jantung Lula hampir mau lepas, malam ini, ia ada makan malam di salah satu resto ala Jepang bersama keluarganya. Anggita, Athaar, Althaf dan putranya, Rigel sudah ke resto lebih awal. Tadi Lula harus terlambat, baru bisa menyusul setelah selesai dengan urusan pekerjaannya. Lula yang sedang menelepon sambil tangan lain memegang kamera handheld mini untuk mengambil vlog kesehariannya pun ikut ia turunkan. Beberapa detik mendebarkan ketika matanya bukan hanya menatapnya dari jauh, tetapi untuk pertama kali setelah sekian lama, beradu lagi dengan pemilik mata yang selalu menatap tajam. Lula hampir pingsan, jika tidak berusaha keras untuk terlihat biasa. Mencoba mengendalikan diri, ia melanjutkan jalan seolah tidak pernah bertemu, tak ada apa-apa di masa lalu mereka. Lula juga melihat Sky tidak sendiri, bersama tiga orang dan salah satunya merangkul lengannya seperti pasangan. Lula menyusul, bertemu Athaar dan langsung saja merangkul lengan kakaknya. “Kenapa tangan kamu, dingin dan berkeringat?” Athaar juga memerhatikan ekspresi adiknya, ditambah wajah Lula pucat. Pertama, Lula tidak pernah menyangka akan bertemu Sky lagi. Kedua, ia tidak ingin Sky bertemu Rigel. Ketiga, keluarganya akan tidak nyaman jika tahu ada bagian dari keluarga Lais, satu resto lagi dengan mereka. Lula sungguh dilema, “ah, tidak apa-apa...” kemudian menarik Athaar menuju ruangan mereka. Duduk lesehan, keluarganya sudah duduk dan sedang menikmati teh hijau yang khas dari resto di sana. Sebenarnya bukan Athaar yang menentukan resto, tapi sepupu mereka. Makan malam kali ini bersama keluarga ibunya. Rigel sudah lolos dari pangkuan Althaf. Dia terlihat bosan, sampai Anggita tiba-tiba bilang, “ajak coba lihat-lihat... tadi kita melewati taman bambu.” Ya, restonya cukup besar, mereka memesan tempat yang melewati taman dengan pohon bambu yang terawat. Ada ayunan kayu dan ramah anak. “Jangan, Rigel jangan ke mana-mana! Tetap di ruangan ini.” Cegah Lula dengan cepat. Ia takut putranya bertemu lagi dengan Sky. Lula sungguh pusing bukan main, belakangan semakin sering bertemu dengan Sky. “Rigel bosan, Sea...” Lula segera mengeluarkan tab dari ponselnya, “kamu yakin? Lho ini bukan jadwal Rigel lihat ponsel atau tab, kan?” Lula yang buat aturan, terpaksa harus merusaknya agar putranya mau diam hanya di sana. Lula terlihat ragu, kemudian Anggita mengambil alih. “Hanya sebentar,” Lula memasukkan tabnya lagi, “jangan jauh-jauh. Hanya di depan.” Althaf langsung berdiri, meraup tubuh Rigel dan membawanya keluar. Lula mengatur napas. Namun, hanya sebentar. Ia tidak bisa tenang. “Aku mau susul Rigel...” rasanya tidak tenang jika ia tidak memastikan sendiri, mengawasi putranya agar tidak berinteraksi lagi dengan Sky. Lula segera mengambil tasnya, memasukkan ponselnya juga dan menyusul putranya. Lega mendapati Althaf tidak membawa Rigel jauh-jauh. Dia menatap putranya, menatap sekitar, berharap Sky dan lainnya berada di ruang yang ada di lantai atas atau lain saja. Lula tidak mengganggu putranya dan adiknya, segera berbalik dan matanya melebar, “Ya ampun!” memekik terkejut dengan sosok pria yang berdiri tegap, menatapnya tajam dan penuh mengawasi. Entah sejak kapan, pria paling dihindari, kini berdiri di depannya. “Ka-kamu, sedang apa di sini?” suara Lula bertanya, nyaris seperti suaranya tercekat. Tangannya juga mulai gemetar, ia gugup berada tepat di bawah tatapan Sky. “Dari reaksimu, aku rasa memang kamu tadi hanya pura-pura tidak mengenaliku.” Jawabnya. 'Oh hell no! You are stupid so stupid, Lula! Bisa-bisanya reaksiku masih gugup begini?! Harusnya di depan Tuan Langit ini, aku bersikap asing, tidak mengenalinya?!' Hatinya mengutuk tingkahnya. Berhadapan dengan Sky, membuatnya seperti membeku, sampai tidak tahu harus berbuat apa?! Lula menelan ludahnya dengan susah payah, ritme kencang jantungnya membuat darahnya juga berubah jadi panas dingin. Sky kemudian terlihat penasaran dengan pemandangan di belakang sana. "Uhm, apa yang kamu lihat huh?!" Tanyanya dengan nada tidak bersahabat, coba menghalangi agar Sky tidak melihat Rigel. Jika tahu akhirnya akan bertemu Sky, ia tidak akan pernah datang ke resto ini. Kenapa semesta mempermainkannya, seperti sekarang? Harus bertemu Sky lagi! “Itu anakmu?” dia tidak perlu menunjuk, tetapi Lula tentu tahu maksud Sky adalah Rigel. Tidak mau Sky mendekati Rigel, impulsif Lula mendekat dan segera mengambil tangan Sky. Dia menarik pria itu untuk menjauh dari sana. Termasuk agar keluarganya, tidak ada yang tahu interaksinya dengan Sky. Sky tanpa protes, membiarkan Lula membawanya pergi. Tidak hanya bertemu, tapi tindakan Lula membuat genggaman tak asing itu kembali dirasakan. Setelah berada cukup jauh, sepi, barulah Lula menarik tangannya. “Kenapa kamu di Jakarta—Hm...mmm!” Lula langsung berdehem, bersikap biasa bahkan ia bersedekap seolah itulah sikap pembelaan dirinya. Tidak mau terpengaruh sama sekali, “ya, ya sebenarnya juga bukan urusanku kamu ada di Jakarta, atau di Chicago!” Sky menatap perubahan sikap Lula, terlihat jelas mulai membangun tembok pertahanan diri darinya. “Lula—“ “Bisakah bersikap seperti seharusnya? Maksudku, kita bersikap seolah tidak pernah kenal?” Sungguh situasinya menyulitkan sekali untuk Lula. “Kamu menginginkan kita bersikap begitu?” “Bukan menginginkan, tapi seharusnya!” Lula menekan bagian ‘seharusnya’. Kemudian Lula mundur beberapa langkah, memberi batas untuk jarak aman kebersamaan mereka. Sky menatap heran dengan tingkah Lula. Lula tidak mau berlama-lama, kemudian kembali mempertemukan tatapan dengan Sky sambil berpikir jika dirinya tidak harus ada di sana. Lula segera berbalik, Sky melempar pertanyaan yang sejak tadi tertahan di bibirnya, “kamu belum menjawabku, Lula... Anak itu, anakmu? Kamu sudah menikah?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN