“Ya Dewa, padahal semalam kau beri aku mimpi mendapat tangkapan ikan yang besar, kenapa kau malah beri kebuntungan ketika aku akan melakukan perjalanan.” Pedagang dari desa itu mengeluh.
Berkali-kali kuda mereka meringkik, tanda bahwa dia merasa tak aman. Pedagang itu menatap pada Surenpati dengan tatapan yang kesal. “Kenapa kau diam saja? Tidak tau kita sedang dalam bahaya!” bentaknya.
“Ah, iya.”
“Cepat lakukan sesuatu!”
Surenpati hanya merasakan jika pedati yang mereka naiki bergoyang-goyang.
Lalu para perompak tak bisa menunggu para penumpang pedati melakukan sesuatu, mereka sudah menendang dan mengambil alih kuda yang menarik pedati. Hingga kereta mereka berguling dan Surenpati pun melompat.
“Wah, tubuh Darma sangat ringan untuk bergerak.” Surenpati memuji terhadap tubuh atletis yang kini dimilikinya.
Secepat kilat dia kembali ke bawah dan menolong pak kusir dan pedagang tersebut.
Setelah mereka menepi, Surenpati pun berdiri dan menatap pada perompak tersebut. “Ki sanak, tidakkah Anda tahu yang kalian lakukan ini melanggar perintah Sang Hyang Widhi?” Suara Surenpati benar-benar berat layaknya ksatria yang sedang diliputi amarah.
“Jangan mengguruiku anak muda? Memangnya siapa kau ini? Keberadaanmu sama sekali tidak diperhitungkan di dunia ini.” Pimpinan perompak itu mengejek Surenpati. “Aku ... Si Codet Merah! Yang akan menguasai Banyu Sewu dengan kekuatan dan kejahatanku.”
“Kalau begitu, perkenalkan ... aku Surenpati, yang akan menumpas kejahatan.”
“Hahahah haha.” Tawa menggema di tengah malam yang dingin. “Kalau begitu, bersiaplah!” Pimpinan perompak, yang menyebut dirinya sebagai codet merah, langsung melompat untuk memberikan serangan pada Surenpati. Dilihat dari kemudahannya dalam melompat hingga setinggi itu, sepertinya pimpinan perompak ini memiliki penguasaan tenaga dalam yang tinggi.
Surenpati langsung waspada. Ini bukan pertempuran yang sama dengan yang pernah ia lakukan dahulu. Saat menjadi Adarma, dia bisa mengandalkan senjata jarak jauh dan beberapa strategi untuk menumbangkan lawan. Namun ketika dia menjadi Darma saat ini, lawannya menggunakan tenaga dalam dan ilmu silat yang sama sekali tak pernah ia pelajari.
Beruntungnya, tubuh Darma yang saat ini ia huni, memiliki kemampuan yang tinggi untuk menghadapi pertempuran seperti ini. Dengan lihai, ia pun menghindar. Karena ringannya tubuh Darma, selagi menghindar Surenpati melemparkan belati kecil yang terselip di balik bajunya.
Si Codet Merah berteriak lalu terjatuh. Dia mengeluh sakit di area bahunya. Di sana tampak ada belati milik Surenpati yang tertancap. “Kurang ajar!” Codet Merah mengumpat pada Surenpati.
Melihat pimpinan mereka terkapar, para anggota lainnya tidak tinggal diam. Mereka langsung menyerbu pada Surenpati dengan membabi buta. Namun ketangkasan mereka, tentu tidak bisa dibandingkan dengan tubuh dari Ksatria Bintang I andalan dari kerajaan Panca Tirta. Dengan mudahnya, Surenpati menghindar dari semua serangan itu. Ketika para perompak itu menghunuskan senjatanya, tepat saat itu juga Surenpati melompat dan menghindari semuanya.
Alhasil para anggota itu saling bertubrukan satu sama lain. Beruntungnya mereka tidak saling mengenai senjatanya.
Surenpati yang berhasil melompat, hinggap di atas dahan pohon yang tinggi.
Pedagang getah karet itu beserta seorang kusir yang ia bawa bersembunyi di balik pedati. Surenpati melihat mereka dan berusaha agar perompak itu tidak menjangkau orang-orang tersebut.
Codet Merah berhasil bangkit dan menyingkirkan anggotanya sendiri agar menepi dari arena pertempuran. Dia membuang belati yang menancap di bahunya.
Surenpati kembali turun dan kini berhadapan lagi dengan pimpinan perompak berwajah seram tersebut. Kali ini lawan dari Surenpati itu berjalan dengan sebelah bahu yang agak miring karena menahan sakit, meski begitu si musuh tetap menghunuskan golok pada sang pendekar.
Khas dari para perompak jalanan adalah senjata golok yang terbuat dari besi. Biasanya semakin hitam besi yang digunakan, semakin tinggi ketajaman golok tersebut. Tak sembarang orang memiliki besi hitam, hanya segelintir orang yang mungkin telah berpengalaman dengan golok bisa memilikinya dan golok yang dimiliki oleh Codet Merah terbuat dari besi hitam, yang artinya dia bukan pimpinan perompak yang bisa diremehkan.
Codet Merah merasa heran pada pria yang ia lawan. Setahunya, tidak ada pendekar di daerah pedalaman Banyu Sewu yang memiliki tenaga dalam lebih tinggi darinya. “Karena kau sudah melempar senjata untuk melukaiku, maka aku tak sungkan lagi untuk menggunakan senjata milikku.” Kali ini dia berlari dan mengarahkan pedangnya benar-benar tepat menuju ke arah Surenpati.
Dengan gesit, pria yang mengisi tubuh Darma tersebut menghindar dari setiap serangan yang diberikan. Karena tubuh Darma yang begitu ringan ditambah dengan keahlian Adarma selama menjadi mafia, menghadapi Codet Merah bukanlah suatu hal yang sulit untuk dilakukan.
Kini serangan terjadi hanya dalam satu arah. Sementara Surenpati sejak tadi hanya menghindar tanpa memberi serangan balasan.
Pedagang sutra yang bersembunyi di balik pedati berdoa pada Sang Hyang Widhi agar semesta berpihak pada mereka dan Surenpati diberi kemenangan. Bagaimanapun juga, sang pedagang merasa jika nasibnya kini berada di tangan Surenpati.
Lama pertempuran berlangsung, Si Codet Merah mulai kelelahan karena lawannya tak kunjung tumbang. Surenpati terlalu gesit untuk diberi serangan. Padahal pria bermata setajam elang itu tak memberi serangan balasan, namun si codet merasa kewalahan sendiri.
“Bagaimana? Hanya seperti itu kemampuan dari pimpinan perompak?” Surenpati memberi pertanyaan yang memprovokasi kemarahan lawan.
“Kurang ajar! Jangan remehkan aku!”
Tepat ketika Codet Merah mendekat pada Surenpati, pria itu berhasil merebut golok milik lawannya dan langsung memelintir tangan si codet.
“Ketua!” Para anggota perompak merasa khawatir dan berusaha mendekat. Namun salah satu dari anggota mereka menahan anggota lainnya.
Surenpati hanya ingin memelintir tangan Codet Merah, namun karena tenaga dalam yang dimiliki tubuh Darma terlalu besar hal itu membuat tangan Codet Merah patah dengan tulangnya yang terbalik ke belakang.
Jeritan musuh tak ia pedulikan, jika ia masih menjadi Adarma pasti saat ini si codet akan kehilangan tangannya karena ditebas oleh golok. Namun ketika menjadi Darma sekarang, dirinya rasanya memiliki belas kasih yang tinggi terhadap lawan. Hingga ia pun melepaskan musuh dalam keadaan tangan terpelintir.
“Ampun, ampuni aku!” Codet merah tersungkur di atas tanah, dia mencium ujung kaki Surenpati dengan posisi tangan yang terpelintir ke belakang.
“Ampun, jika Ki Sanak bersedia memberitahu, sebenarnya siapa dan dari mana asal Ki Sanak?” tanya pimpinan perompak sambil menahan kesakitan.
Melihat pimpinannya tersungkur sambil bersujud pada lawannya, para anggota perompak yang lain pun langsung bergetar lututnya dan ikut bersujud pada Surenpati. Mereka semua bertanya-tanya, siapa sebenarnya pemuda di hadapan mereka yang mampu membuat pimpinannya bertekuk lutut seperti ini?
“Aku hanya seorang pria biasa yang tinggal di perkampungan dekat hutan perbatasan Kerajaan Banyu Sewu. Seperti yang kubilang sebelumnya, namaku Surenpati.”