Perjalanan malam kali ini pun terasa sangat cepat setelah terjadinya pertempuran dengan para perompak. Pasukan Codet Merah yang tadinya hendak mencuri pada rombongan pedagang sutra pun memutuskan untuk meminta maaf pada mereka dan menebus kesalahannya dengan mendampingi rombongan pedagang sutra menuju ke kota.
Hanya saja, sang pedagang menolak hal tersebut. Namun atas saran dari Surenpati yang mengatakan jika pendampingan dari para perompak itu akan menguntungkan karena setidaknya mereka memiliki pengawal yang akan menjaga mereka dari perompak yang lainnya. Pada akhirnya kelompok perompak codet merah hanya mengantar rombongan pedagang hingga tepi hutan menuju ke perkampungan berikutnya.
“Setelah di sini, tidak akan lama lagi kalian akan sampai di pusat kerajaan,” ucap salah satu anggota codet merah.
Surenpati sendiri, telah membantu pimpinan perompak, Si Codet Merah, untuk mengembalikan tangannya pada posisi semula. Walaupun hal tersebut tak bisa menghilangkan rasa sakitnya begitu saja.
“Terima kasih, pada Tuan Surenpati yang telah bermurah hati mengampuni kami. Mulai sekarang, Demi nama Sang Hyang Widhi, kami berjanji akan mengabdi padamu dan berhenti untuk mencuri lagi.” Codet Merah bersumpah di depan Surenpati.
“Aku dan yang lainnya memegang sumpahmu. Tepati janji kalian dan ketika kita bertemu lagi, kau sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.”
Mereka pun berpisah di tepi hutan.
Setelah itu, rombongan pedagang sutra memasuki kampung. Kampung ini merupakan kampung pertama yang akan mereka lewati sebelum menuju ke kota. Ada lima kampung yang akan mereka lalui, namun jika menggunakan jalur pedagang, maka waktu yang ditempuh untuk sampai di kota tidak akan lama. Tengah hari nanti, mereka akan sampai di pusat kerajaan Banyu Sewu.
“Yudha, apa kita perlu istirahat? Setidaknya untuk memberikan makan dan minum bagi para kuda.” Pedagang sutra memanggil kusir itu dengan nama Yudha.
“Jika menurut Tuan kita tidak akan terlambat, maka beristirahat terlebih dahulu adalah pilihan yang baik. Para kuda juga terlihat lelah.” Yudha memberikan pendapatnya.
“Baiklah, ayo cari penginapan terdekat yang juga menyediakan rumput untuk kuda kita.”
Surenpati hanya memperhatikan percakapan mereka tanpa memberi pendapat. Seandainya ia membawa surai biru, apa mungkin para pedagang itu bisa selamat dari perompak Codet Merah? Atau mungkin akan berbeda lagi cerita yang terjadi.
“Tuan Surenpati, apa kau tidak merasa keberatan jika kita berhenti sejenak?” tanya sang pedagang sutra.
“Tidak apa-apa.” Surenpati tidak menunjukkan penolakan.
“Ini.” Pedagang Sutra itu memberikan kembali dua kantung gandum pada Surenpati.
“Ini ...?”
“Ya, saya kembalikan bayaran Anda, Tuan. Saya rasa Anda adalah pahlawan yang telah menolong kami. Terima kasih, memberi tumpangan gratis untuk Anda ke kota rasanya tidak setara dengan yang telah Tuan Surenpati lakukan untuk kami. Terimalah kantung gandum ini, sebagai rasa terima kasih kami.”
Surenpati pun menerima gandum tersebut dan menyimpannya di balik jubah miliknya.
“Tuan, jika tidak keberatan. Apa Tuan bersedia membeli dua kantung gandum ini? Saya tidak memiliki cukup uang untuk bekal saya di sana nanti.” Surenpati urung memasukkan gandum miliknya.
“Berapa yang Tuan butuhkan? Saya akan beri tiga keping perak secara cuma-cuma kepada Anda.”
Pedagang pun mengeluarkan tiga kepingan logam berwarna perak untuk Surenpati.
Sementara itu, pria itu hanya menerima uang logam tersebut tanpa berkomentar apa-apa. Dia hanya berterima kasih lalu menyimpan uang logam itu.
Dalam hatinya saat menjadi Adarma dulu, uang logam dengan kepingan perak tak ada artinya. Namun entah bagaimana jika di dunia ini? Apakah logam perak ada artinya?
SATU KEPING UANG LOGAM PERAK SEHARGA 100 KEPING UANG LOGAM TEMBAGA. JIKA KITA GUNAKAN, SATU KEPING LOGAM PERAK BISA UNTUK MEMBAYAR PENGINAPAN KELAS BAWAH DALAM SEMALAM. BIASANYA JUGA SUDAH TERMASUK MAKANANNYA, NAMUN KITA TIDAK AKAN MENDAPATKAN DAGING DALAM PENGINAPAN SEHARGA SATU KEPING PERAK.
Terdengar suara Empu Kasinoman memberikan petunjuk bagi Surenpati.
Pria pendekar itu pun mengangguk. Sepertinya cukup lumayan juga jumlah tiga keping koin perak pemberian pedagang sutra.
“Terima kasih, Tuan. Saya akan mengembalikan jika saya sudah memiliki gantinya.”
“Tak perlu aku memberikannya cuma-cuma padamu.”
“Sekali lagi, terima kasih.”
Setelah itu, mereka pun berhenti di sebuah penginapan sederhana untuk sekedar mengistirahatkan badan dan memberi makan juga minum bagi kuda mereka.
Dari yang Surenpati dengar, Raja Banyu Sewu ini bersahabat dengan Raja Panca Tirta. Apakah raja itu akan mengenali wajah Darma?
Surenpati ke mari untuk mencari banyak informasi mengenai perguruan bela diri yang dapat ia gunakan untuk menimba ilmu. Agar setidaknya dia bisa mengendalikan kekuatan yang ada dalam tubuh Darma. Karena menurut Empu Kasinoman, kekuatan dalam tubuh Darma tidak menghilang dari raganya. Butuh beberapa ilmu yang dikuasai untuk membangkitkan kekuatan tersebut.
Surenpati duduk di depan penginapan, dia merasa tak punya uang dan harus berhemat untuk makan di penginapan. Beruntungnya, dia membawa beberapa buah-buahan yang ia petik dari hutan sebelum ia melakukan perjalanan.
“Tuan Surenpati, kau tidak bergabung dengan kami?” tanya sang pedagang sutra.
“Saya membawa bekal, Tuan.”
“Ayo bergabung, saya yang akan membayar semua makanan.”
“Tidak perlu, saya tidak bisa menerimanya.”
“Kenapa? Aku tidak keberatan.”
“Tidak perlu.” Surenpati menolaknya.
Entah apa yang ada di pikirannya, jika dulu ketika ia menjadi Adarma, maka ia akan dengan sukarela merebut milik orang lain bahkan mencurinya. Namun kali ini, meski ditawari dengan kebaikan hati, dirinya menolak. Selama menjadi Darma, banyak sekali nilai-nilai kebaikan yang tertanam dalam tubuh ini sehingga sangat sulit bagi Surenpati untuk memikirkan hal-hal berbau kejahatan. Termasuk hutang budi, sepertinya Darma bukan tipe orang yang suka berhutang budi.
Setelah beristirahat dirasa cukup, mereka melanjutkan perjalanan kembali. Kuda pun tampak lebih segar dari sebelumnya. Perjalanan tinggal sedikit lagi, mereka harus sampai di pusat kerajaan Banyu Sewu sebelum matahari terbenam.
“Tuan, apa Anda memiliki keperluan mendesak ketika sampai di kota nanti?” tanya sang pedagang sutra pada Surenpati.
“Ada suatu hal yang harus saya cari tahu. Tuan, bisakah berhenti memanggil saya dengan Tuan. Saya hanya anak muda yang tidak memiliki apa-apa.” Surenpati merendah.
“Ah, saya tidak enak karena Anda ini seperti seorang ksatria bagi saya.”
Surenpati menggelengkan kepala. “Cukup dengan memanggil saya dengan Surenpati, itu sudah lebih baik.”
“Kalau begitu, Ananda Surenpati cukup memanggilku dengan sebutan Sadana. Panggil aku Paman Sadana. Aku adalah petani karet dan sutra yang tinggal di kampung perbatasan.”
Surenpati tersenyum. “Saya sudah sering mendengar tentang Paman Sadana.”