Surenpati melirik ke belakang tempat Empu Kasinoman berada. Kemudian dia mengangguk seakan memberi isyarat jika dia juga melihat masa lalu Indrajaya saat memegang dahinya, sama halnya seperti ketika dia memegang dahi Ratu Wanoja.
‘Sepertinya, Ibunda sedang memikirkan banyak hal yang membuatnya tertekan dan memiliki beban pikiran. Kebanyak penyakit memang berasal dari pikiran.” Surenpati menyimpulkan. “Ketika pikiran kita tertekan dan banyak beban, maka daya tahan tubuh kita melemah, sehingga sumber penyakit akan lebih mudah untuk mengifeksi bagian tubuh yang rentan dan menjadi penyakit”
Indrajaya mengerti yang dikatakan kakaknya. Semua itu masuk akal.
“Jika bisa, tetaplah berada di dekat ibu. Hibur dia dan buat dia melupakan kesedihannya. Kalau boleh tau, apa selama ini kau tau apa yang membebani ibumu?” tanya Surenpati.
Indrajaya terdiam menatap pada kakaknya itu. “Kau.”
Surenpati mengerjapkan matanya. “A ... aku?” tanya Surenpati tak mengerti.
“Ya, kau yang menjadi beban pikiran ibu.” Indrajaya berjalan mendekati arah jendela. “Saat ayah belum mengungkap identitas dirimu, ibu sering mengkhawatirkan dirimu. Dia sering menyelinap keluar istana, bepura-pura menjadi rakyat biasa untuk bisa menemukanmu.”
Mereka menghela napas, Surenpati mendengar cerita dari adik Darma itu dengan seksama. “Sampai tubuh ibu mulai melemah, lalu dia memintaku untuk mencari kakak kandungku. Yang aku lakukan juga sama. Sampai satu kecurigaanku mengarah padamu.”
“Kau mencurigaiku?” tanya Surenpati.
Indra mengangguk. “Yang membuat aku mencurigaimu adalah karena sikap dari keris pusaka Kasinoman.” Indra berbalik kembali dan menatap kakaknya. “Keris itu menunjukkan gelagat aneh setiap berada di dekatku. Lalu ... keris itu juga menolakku.” Indrajaya terkekeh.
“Memang kenapa kalau keris itu memilihku? Kau ingin memilikinya?” tanya Surenpati.
Indra menggeleng kali ini. “Bukan begitu, Kakanda. Keris itu memilih sendiri siapa pemiliknya, lalu ... sangat langka bagi sang penghuni keris itu untuk memilih seseorang yang bukan berasal dari keturunan si pemilik sebelumnya. Dengan kata lain, orang yang dipilih oleh si keris, pastilah anak dari Raja. Anak dari ayahku.”
Di sini, Surenpati mulai mengerti. “Lalu ...? Jika keris itu memilihku, memang apa kelebihannya untukku?”
“Keris pusaka Kasinoman merupakan keris yang dipegang oleh raja secara turun temurun. Selain itu, keris ini merupakan salah satu pusaka berharga dari tujuh pusaka berharga lainnya,” Jelas Indrajaya. “Seseorang yang dipilih oleh sang keris akan menjadi pemimpin di tanah Salem.”
“Tapi ... sekarang keris itu hilang.” Surenpati tampak menyayangkan.
“Aku bersyukur, karena akhirnya tidak ada lagi yang bisa diperebutkan. Kembali lagi pada masalah ibu, setelah aku mencari tahu tentang siapa dirimu dan aku semakin yakin jika pusaka Kasinoman memilihmu, aku berniat memberi tahu padamu setelah kamu pulang dari perang untuk perluasan wilayah saat itu. Namun, Murkademang telah tiba terlebih dahulu. Sehingga semuanya menjadi kacau. Sepertinya, ibu merasa kehilangan Yang Mulia Raja. Bagaimana pun keduanya saling mencintai dan terpisah oleh maut. Apalagi kau sempat tak sadarkan diri, mungkin karena banyak hal yang terjadi dalam hidup ibu lah yang membuat dirinya merasa lebih baik.”
Surenpati tersenyum tipis. Mungkin keris pusaka itu hilang, tapi Empu sang penghuni keris masih tetap setia mengikuti Rudi ke mana pun pria itu pergi.
*
Satu minggu kemudian, keadaan ibu berangsur membaik. Namun Surenpati sudah tak pulang selama dua hari. Ia beralasan jika dia sedang berburu dan hanya akan pulang jika memiliki tangkapan.
“Kau tau ke mana Kanda Darma, Indra?” tanya sang ibu yang kini mulai kembali pada aktivitas dapur.
“Kanda pamit untuk menangkap buruan, dia janji akan pulang selama beberapa hari setelah dia berhasil menangkap sebuah buruan.”
Wanoja mencoba untuk tenang. Darma bahkan hampir menjadi raja jika tak ada Murkademang.
Wanita itu menghembuskan napas lalu melanjutkan kegiatan. “Sesekali, minta dia mengabari kita yang mengunjunginya.”
“Tenang saja, aku memiliki banyak cadangan batu tulis dan bisa kugunakan siapa saja. Aku akan segera menulis surat untuknya.” Indrajaya menuju pada rak bukunya yang terbuat dari bambu.
“Apa dia bisa membaca sepertimu, Indra?” tanya Wanoja tak percaya. Di zaman ini, kemampuan berbahasa sangat terbatas untuk beberapa kalangan saja. Namun karena penggunaan hurufnya tidak berbeda jauh dengan aksara Jawa di zaman Surenpati saat menjadi Adarma, maka dari itu hal tersebut membuat Surenpati saat itu paham tulisan yang dibawa oleh Indrajaya.
“Syukurlah jika dia bisa membaca.”
*
Sementara itu, pria yang berpamitan untuk berburu rusa hutan itu sedang pergi ke pusat kerajaan Banyu Sewu. Surenpati menumpang pada pedati milik salah satu pedagang dengan membayar menggunakan dua kantong gandum pada pedagang tersebut.
Ia harus segera mencari tahu tentang Murkademang, karena bagaimanapun juga, misi dari Adarma masuk ke dalam tubuh Darma dan menyamar menjadi Surenpati ini adalah untuk menjatuhkan Murkademang.
Maka dari itu, Surenpati berpikir jika dirinya harus memiliki beberapa perbekalan ilmu bela diri untuk menjatuhkan Murkademang. Meski ia pandai berkelahi, namun ia bukan Darma yang bisa mengeluarkan tenaga dalam.
Selain itu, berdasarkan arahan dari sang Empu, sebenarnya Surenpati ini bisa menggunakan tenaga dalam milik Darma, selama dia memiliki guru yang mengajarinya berbagai jurus maka Surenpati akan bisa menjadi kuat dengan cepat.
Perjalanan ke kota membutuhkan waktu tiga hari dua malam, pedagang itu memperkirakan jika mereka akan sampai di kota pada esok hari di siang hari.
Kuda tetap berjalan meskipun langit mulai menggelap. Suara hewan-hewan di hutan mengikuti mereka. Ini sungguh asing bagi seorang Adarma. Benar-benar, hidup sebagai Darma yang menyamar menjadi Surenpati memberinya tantangan tersendiri.
“Hyyaa!” Kuda yang dipacu berhenti mendadak lalu ia pun meringkik. “Ada apa?” tanya sang pedagang pada pengendali tali tersebut.
“I ... itu ...!” Pengendali itu menunjuk pada sesuatu di depannya.
Aura ini? Surenpati merasakan suatu perasaan gelisah hingga darah terasa berdesir dengan kencang. Lalu sesuatu yang tidak beraroma, namun bisa menusuk hidung hanya dengan keberadaannya. Empu, perasaan apa ini?
INI ADALAH HAWA MEMBUNUH, DARMA MEMILIKI FIRASAT YANG KUAT UNTUK MEMBACA HAWA MEMBUNUH DARI TUBUH ORANG LAIN.
Itu artinya, orang yang menghadang kita ini?
YA, KAU BENAR! ORANG YANG MENGHADANG PEDATI ADALAH PERAMPOK JALANAN YANG BEROPERASI MALAM HARI. LALU MEREKA TANPA SEGAN MENGHABISI KORBAN, SEHINGGA KEDUA ORANG TERSEBUT BISA MEMANCARKAN HAWA MEMBUNUH.
Gawat!
Surenpati mencoba untuk berpikir dengan tenang.
“Ki, ada apa di depan?” tanya sang pedagang.
“I ... itu, para perampok, Tuan.”
“Hei, kalian! Serahkan harta kalian semua atau kalian mau mati di sini?”