Jonathan menutup pintu ruangan Varizen dengan perlahan. Sebelum pagi menjelang, pria itu hendak pergi. Seperti yang terlihat sekarang, ia keluar di jam lima pagi untuk menghindari gadis itu.
Alasannya, Jonathan ingin menjaga jarak demi keselamatan Varizen. semalam, ia berpikir keras mengenai Berto yang melarangnya bertemu dengan Varizen. pasti, sebentar lagi pria itu akan datang. Ia kenal betul bagaimana wataknya.
Benar saja, belum sempat Jonathan melangkahkan kaki, Berto sudah berjalan menuju ke ruangan Varizen. pria itu pun bergegas sembunyi di balik tembok lalu mengawasi pria yang sudah masuk ke dalam ruangan.
Jonathan bernafas lega karena tidak ketahuan. Namun, ia merasa kesal karena pria tua itu selalu saja berada disekitar Varizen. Merasa sudah aman, pria itu pergi meninggalkan tempat persembunyiaanya. Akan tetapi, tak berapa lama kemudian, Berto juga keluar seperti mencari sesuatu.
Berto bergegas pergi meninggalkan rumah sakit dengan berlari. Kegiatan itu, tidak luput dari perhatian Jonathan yang tidak sengaja melihat tua itu sedang buru-buru masuk ke dalam mobil.
“Ada apa dengan dirinya? Bukankah dia baru masuk ke dalam ruangan Varizen?” tanya Jonathan dengan penasaran yang tinggi. Terlebih lagi, dia tidak bersama Jonny. Kemungkinan besar, ada hal penting yang harus diurus.
Jonathan tidak ragu lagi, ia langsung mengikuti mobil Berto dari belakang. Lagi pula, ia juga penasaran akan tingkah aneh pria tua itu.
Selama perjalanan, mereka melewati hutan dan perdesaan. Jonathan semakin ingin tahu kenapa Berto pergi sejauh ini? Ia terus mengikuti mobil itu dengan hati-hati agar tidak ketahuan. Tidak lama kemudian, mobil Berto masuk ke dalam perumahan sederhana.
Jonathan pun mematikan lampu mobil dan mendekat perlahan. Ia berhenti tidak jau dari rumah itu.
Saat Berto turun, seorang pria menyambut kedangannya. Dia terlihat senang dengan kedatangan pria itu. Mereka berdua pun masuk dan menutup pintu. Jonathan langsung keluar mobil, berjalan mengendap-endap layaknya pencuri. Ia menghindari kamera pengawas dengan mengelilingi rumah itu dari jauh.
Jonathan mengambil batu kecil, lalu melemparnya tepat mengenai kamera pengawas. Ia tersenyum puas, kemuduan melancarkan aksinya kembali. Semakin pria itu mendekat, suara mereka semakin jelas.
“Kenapa dia pergi disaat aku membutuhkannya?” tanya Berto dengan amarah yang yang meluap. Sudah beberapa bulan, orang yang dimaksud belumm juga kembali. “Aku tidak mau jalang itu curiga,” katanya lagi sambil menghisap rokok.
“Beliau sedang ada bisnis di luar negeri. Bersabarlah...,” jawab pria itu dengan enteng. “Bagaimana keadaan gadis itu? Kau menjaganya dengan baik, bukan?”
Berto menaruh rokoknya dengan kasar sambil menekan-nekan diasbak, “Aku menjaganya dengan baik, meskipun harus melakukan sedikit sesuatu padanya.”
Pria itu langsung bangkit, meraih kerah Berto dengan kasar, “Sudah tujuh tahun, dan kau masih melakukan cara itu!” geramnya tertahan.
Berto menepis kasar tangan pria itu, “Aku tidak punya pilihan lain. Kalau tidak, dia akan kabur.” Pria itu duduk kembali, “Ubahlah gayamu, jangan membuatnya menderita. Kalau kau masih membuatnya menderita. Aku akan membawanya pergi jauh,” ancamnya dengan dingin.
Berto mengepalkan tangannya sambil berteriak, “Aku tak akan membiarkan kau mengambil gadisku!” ia bangkit, lalu pergi meninggalkan pria itu sendirian. Sedangkan Jonathan bersembunyi disemak-semak. Ia melihat Berto yang meluapkan amarahnya dengan menendang mobil.
“Sialan... k*****t!” teriak Berto, masuk mobil dengan kasar lalu meninggalkan rumah itu. Setelah pria itu benar-benar pergi, Jonathan keluar dari persembunyiannya. Ia berjalan perlahan menuju mobil.
Namun, belum sempat masuk mobil, Jonathan sudah ditodong pistol oleh pria yang berada di dalam rumah tadi. “Siapa yang menyuruhmu?” tanyanya dengan aura dingin.
Jonathan langsung mengakat kedua tangannya, “Aku datang atas kemauanku sendiri,” jawabnya tanpa ragu. Melihat ekspresi tengan dari pria muda itu, pria tersebut menurunkan pistolnya.
“Raykan,” itu namaku. Kau sudah tumbuh besar rupanya, lanjutnya di dalam hati. Ternyata, Felisia menepati janjinya. Ia kemudian tersenyum sambil menyimpan kembali senjata api itu.
“Kenapa kau memberitahu namamu?” tanya Jonathan sambil berbalik badan. Ia penasaran dengan pria yang menurutnya tidak asing.
“Pulanglah... kalau tidak, aku akan menembakmu sekarang,” ancam Raykan sambil bersemirik. Tanpa menunggu waktu, Jonathan langsung masuk mobil dan melajukan mobilnya dengan cepat. Ia melirik ke kaca spion dengan perasaan aneh yang menjalar diseluruh tubuhnya.
Setelah Jonathan pergi, Raykan berjalan menuju rumah sederhana itu. Ia duduk di sofa dengan kasar, mata berwarna hijau itu melirik ke arah foto yang ada di atas meja. Pria itu mengambil lalu mengelusnya.
“Ikatan darah selalu menjadi pemersatu diantara kita,” kata Raykan dengan raut muka ssendu. Untuk sebuah kebahagian, ia harus merelakan orang yang disayangi pergi menjauh. Keluarga satu-satunya berpisah dengan pria itu dalam waktu yang lama.
Raykan menaruh foto itu didadanya. Andai saja, semua bisa diulang, ia taka melakukan kejadian itu dimasa lampu. Jika Jonathan tahu, pasti kutukan dari bibir pria itu terus berbunyi sampai mati.
Mobil Jonathan terus berjalan tak tentu arah karena memikirkan seorang pria yang baru saja ditemui. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, seperti pernah bertemu disuatu tempat. Akan tetapi, kapan dan dimana? Ia pun masih dalam kebingungan. Otaknya bekerja keras mengingat kejadian demi kejadian. Tetap saja, hasilnya nihil, tak ada kenangan yang tersembunyi diantara keduanya.
“Siapa dia? Aku pernah melihatnya?” gumam Jonathan berpikir keras. Bunyi klakson dari mobil lain membuyarkan kinerja otakknya. Ia tersentak kaget dan berhenti mendadak. Jika tak ada mobi itu, pasti pria tersebut sudah menerjang lampu merah.
“Aku harus segera pulang dan istirahat.” Mungkin, hari ini terlalu lelah karena bergadang menunggu Varizen. Jonathan harus segera sampai rumah secepatnya. Setelah itu, ia akan mengambil istarahat yang cukup, lalu berpikir lagi mengenai pria yang bernama Raykan.
Mobil Jonathan kemudian melaju dengan cepat membelaha jalan raya. Mentari yang mulai menyinari bumi menyibakkan semua kabut embun. Perlahan, jarak pandang pria itu semakin jelas.
Jonathan pun menambah kecepatan mobil lagi agar cepat sampai. Tidak lama kemudian, pria itu membanting mobilnya ke arah kanan dan masuk pagar yang telah terbuka lebar. Ia mengerem mobilnya dengan mendadak.
Para pelayan yang melihat itu sedikit kaget dan juga menggeleng perlahan. Ada juga yang bergumam tak jelas. Namun, berbeda lagi dengan para pengawal yang memandang takjub karena kepiawaian menyetir Jonathan.
Sonara melihat Jonathan yang telah turun dari mobil. Ia menyambut dengan ramah, “Selamat pagi, Tuan Jo.” Jonathan mengagguk, lalu pergi meninggalkan wanita itu.
“Seperti biasa, dia selalu saja mengabaikanku,” gumam Sonara lirih. Selama tujuh tahun tinggal bersama, Jonathan jarang sekali bicara dengannya. Mungkin karena ia dekat dengan Berto sehingga pria muda itu menjaga jarak.
“Jangan memikirkan hal yang tak perlu,” celetuk Jonny sambil menghirup kopi. Sonara menoleh dengan tatapan tajam, “Kenapa kau masih bersantai? Dimana Tuan?” tanyanya dengan nada sewot.
“Beliau sedang ada urusan. Sebentar lagi, pasti pulang.” Belum sempat Jonny muntup mulutnya, Berto sudah datang dan memakir kendaraannya. Salah satu pengawal menghampiri dan membuka pintu mobil.
Berto keluar dengan garis wajah yang tidak bisa dijelaskan. Para pengawal yang melihat itu langsung menunduk dan ketakutan. Melihat ekspresi tuannya, Jonny buru-buru memberikan cangkir yang dipegang kepada Sonara. Ia lari menghampri pria tersebut.
“Tuan,” panggil Jonny dengan lembut dan hati-hati. Tangan kanan Berto diangkat, menandakan bahwa ia tidak ingin bicara dan memintanya untuk mengikuti dari belakang.
“Maafkan saya,” kata Jonny sambil menunduk-melirik pria tersebut yang mulai melangkahkan kaki melewati dirinya.
Berto berjalan dengan cepat menuju ke ruangan pribadinya. Ia membuka pintu dengan kasar membuat Jonny menghela nafas panjang. Pasti ada sesuatu yang membuatnya murka. Pria itu kemudian menutup pintu tersebut kembali dengan pelan.
“Beraninya dia mengancamku!” teriak Berto mengepalkan tangan dengan kuat. Temperamen pria itu tidak terkendali jika menyangkut Varizen. Namun, masalah apa lagi yang ditimbulkan gadis itu. Seingat Jonny, dia sedang dirawat di rumah sakit.
“Cari apa kelemahan Raykan. Berikan kepadaku secepatnya,” titah Berto sambil melempari semua benda yang ada disekitar.
Jonny mengangguk, lalu pergi meninggalkan Berto yang masih meluapkan amarah dengan benda-benda mati. Ia menutup pintunya pelan dan mengambil nafas sedalam-dalamnya.
Raykan, pria itulah yang membuat tuannya murka. Sepertinya, ada yang janggal dengan masalah kali ini. Jonny harus mencari segala hal yang berhubungan dengan pria tersebut.
Bersambung