PART 1

1136 Kata
Suara bel tanda apel pagi untuk murid-murid Sekolah Dasar Juata Laut terdengar jelas di telinga Chania, putri tunggal Kapten Inf Adi Cokro Widodo. "Papa, cepetan Caca udah telat nih! Tuh, udah bel! Masa baru masuk sekolah udah telat? Nggak asyik Papa ih!" omel Chania yang lebih sering menyebut dirinya dengan nama Caca. Ya, mereka masih di atas mobil, di pelataran parkir sekolah dan bel tersebut memang terdengar jelas, ketika Caca membuka kaca bagian depan. "Sabar, Sayang. Besok panggilan daruratnya udah nggak ada lagi kok. Kemarin itu emang penting banget, Nak," jawab Adi setelah ia mengembuskan napas beratnya. Duda satu dengan satu anak, demikianlah status dari Perwira Pertama berbadan tegap itu sejak enam yang tahun lalu. Menikahi anak perempuan satu-satunya Mayjen Untung Suseno demi kelancaran kariernya di dunia militer, hubungan pernikahannya ternyata hanya bertahan empat tahun saja. Semua terjadi bukan tanpa alasan, sebab setelah menunggu lama untuk bisa memiliki keturunan, Dyah Larasati Suseno lebih dulu menghadap sang khalik saat menghadirkan Prameswari Chania Widodo ke dunia. "Janji, ya? Sekarang cepat bukain Caca pintu, terus anterin sampai ke kelas dulu baru lanjut ke lapangannya, Pa. Caca takut kena marah sama ibu guru," celetuk Chania masih memasang wajah cemberut, lengkap dengan kedua lengan yang sengaja ia silang di dadanya. Alhasil, sang ayah pun secepat kilat menuruti permintaan putri kesayangannya di sana. Tanpa ragu, Adi turun dari mobil dan memutarinya, membukakan pintu dengan niat menggendong Chania, seperti biasanya. "Nggak usah digendong, Pa! Caca udah gede tahu!" Namun, gadis kecil itu menolak mentah-mentah apa yang hendak ayahnya perbuat. Chania lebih memilih untuk turun sendiri dari atas mobil, memperbaiki ransel di pundaknya dan berjalan tanpa menunggu. Ia bahkan meninggalkan bekal makanan dan botol minum yang sudah sepagian ini diusahakan Adi, membuat ayah satu anak itu lagi-lagi harus menghela napasnya. "Udah gede gini, ada aja kelakuan kamu, Nduk. Persis kayak Tante Annisa dulu," batin Adi menyebutkan nama yang sudah sangat lama bertengger di hatinya. Annisa Kemala Wijaya, adalah nama lengkap yang memang tidak pernah bisa Kapten Inf Adi Cokro Widodo lupakan di sepanjang hidupnya. Wanita itu menemaninya sejak masih berada di putih abu-abu hingga bertahun-tahun lamanya ketika menempuh pendidikan di Akademi Militer, tetapi ketika memasukkan pengajuan nikah, ia memilih untuk menyetujui permintaan atasannya, mempersunting Dyah Larasati Suseno dan melepaskan kekasihnya tanpa rasa bersalah. "Papa cepetan dong jalannya! Caca udah terlambat nih!" "Eh? Iy-iya, Sayang," sahut Adi tersadar dari lamunan singkatnya. "Di mana kamu sekarang, Dek? Kapan kamu bakal kembali lagi ke sini? Maafkan Mas, ya?" Alih-alih menepis, nyatanya ia kembali membatin nama yang sama, meski kesadarannya tetap terjaga. Langkah tegap Adi berderap cepat mengikuti tujuan Chania yang setengah berlari mengitari tepi kiri lapangan upacara, dengan tujuan kelas barunya. Sehari sebelum Kegiatan Belajar Mengajar dimulai, keduanya pun sempat mengikuti gladi resik, sesuai arahan dari Kepala Sekolah Dasar Pamusian. Itulah alasan mengapa Chania sudah mengetahui di mana letak kelasnya berada, "Aduh!" "Eh, astaga! Maaf ... Maafkan saya nggak sengaja." Namun, kelincahan kaki Chania bertolak belakang dengan ayahnya, yang bahkan telah menabrak seorang guru pindahan dari Kabupaten Tanjung Selor ke Kota Tarakan. "Nggak papah, Pak. Maaf saya juga tadi terbu-- Mas Adi?!" "Lho?! Dek An-nisa? Kok kamu ..." sahut Adi terbata, bahkan mengembang tanpa ada lanjutan lagi. Bagai gayung bersambut, entah inilah yang dinamakan takdir Tuhan, riak kecil terjadi begitu saja di pandangan mata kedua anak cucu Adam itu. Nyaris sembilan tahun tak pernah bertemu kembali, kini keinginan besar bukan hanya sekedar khayalan. Rasa keterkejutan merong-rong jiwa Adi di antara iya dan tidak, tetapi memang ia sedang tidak bermimpi sama sekali. Annisa nyata. Wanita itu kini memiliki surai yang panjang hingga menutupi punggung belakangnya, bahkan memiliki kulit lebih terang daripada sebelumnya. "Permisi, Mas. Saya buru-buru!" Ketika sedang memasang wajah ketus tanpa senyum sedikit pun, Annisa tetap saja semakin menarik perhatian Adi melebihi apa yang pernah terjadi sebelumnya. "Kamu ke mana aja, Dek? Mas cari kamu selama ini," ucap Adi secepatnya mencengkram pergelangan tangan Annisa. Pria tiga puluh empat tahun itu sadar betul apa yang ia lakukan tidak pada tempatnya, tetapi dirinya enggan melewatkan kejadian tersebut barang sedikit pun. "Lepasin, Mas. Kita dilihatin banyak orang dan aku malu! Aku guru pindahan baru dari Tanjung Selor ke sini, Mas. Lepas--" "Tanjung Selor? Kok Mas nggak pernah lihat kamu di sana, Dek?" potong Adi yang masih setia memegangi pergelangan tangan Annisa. "Mas, tolong! Lepasin!" Namun, lagi-lagi Annisa memilih untuk bungkam dan melakukan perlawanan. Ia merasa pertanyaan Adi sudah terlalu jauh masuk ke ranah pribadinya, menyakitkan, karena hal itu adalah bagian dari masa lalu. "Papa?!" "Eh? Iy-iya, Sayang?" "Malu sama umur, Mas. Udah punya anak lagi. Jangan cari masalah!" hardik Annisa dan berhasil membuatnya berlalu secepat kilat dari hadapan Adi. Mengalah demi kebaikan bersama, pada akhirnya dilakukan Adi setelah seruan Chania terdengar di gendang telinganya. Namun, yang sebenar terjadi adalah perasaan tidak nyaman datang secara tiba-tiba, ketika Annisa dengan gamblang mengingatkan status dirinya. Ia merasa sejumlah batu besar sedang menimpa tulang kepalanya dan mengeluarkan darah, terasa dingin, hingga menusuk ke dalam jantung. "Papa! Papa gimana, sih? Sana pulang cepetan!" "Iya, Nak." "Duh, Papa nih! Caca udah mau upacara jangan di sini lagi. Tunggu di mobil aja deh!" "Iya, Nak. Iya, Papa tunggu di mobil," jawab Adi atas gerutuan keras Chania yang kedua kalinya. Sulit bagi Adi untuk mempercayai hari senin di bulan Agustus ini, tetapi Tuhan memang menjadikan semuanya nyata tanpa rekayasa. Kerinduan dan rasa bersalah bercampur menjadi satu bagai racikan bumbu Soto Ayam kesukaan Chania yang ia pelajari minggu lalu dari channel YouTube Chef Arnold, demi menyenangkan hati putri kecilnya. "Dek, maafin Mas. Kamu masih marah, kan? Mas udah kena karmanya, Dek. Dyah pergi meninggalkan kami, sama seperti aku yang tega melepaskan kamu setelah bertahun-tahun kita bersama. Sekarang kamu ada di depan mata Mas, Dek. Tambah cantik dan keibuan, bikin jantung Mas mau copot rasanya. Cuma, ya ... gimana sama status kamu, Dek? Apa kamu sudah menikah juga? Katanya tadi kamu ada di Tanjung Selor, tapi kok Mas nggak pernah ngeliat sama sekali, sih? Padahal Mas sering tugas ke sana juga lho, Dek?" batin Adi dipenuhi jutaan tanya yang hanya bisa didengarnya sendiri. Ia masih berada di tepi kiri lapangan upacara bersama PDL*) miliknya, hanya bergeser sedikit agar bisa setara dengan beberapa orang tua murid baru. Di kejauhan, manik coklat tua miliknya berulang kali mencari keberadaan Annisa yang menjadi tenaga pendidik di sekolah itu, bukan lagi Chania seperti biasanya. Angin memang pernah membawa luka yang tak kunjung padam, ketika logika mengalahkan mata batin dan segala kenangan. Namun, kali ini sepertinya kisah itu tidak akan pernah terulang lagi. Adi percaya takdir dengan telak sedang mempermainkannya, tetapi di sisi lain ia juga menyadari jika kebahagiaan sejati menuntut dirinya untuk kembali berjuang. *** *) PDL, Pakaian Dinas Lapangan. Cerita baru. Tolong beri beta support ya, Teman. Beta sudah nyaris delapan bulan hiatus menulis. Harapan beta, semoga bisa secepatnya update bab baru, minimal 3 atau 4 hari sekali. Salam manis .... Julia Inna Bunga.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN