Ternyata benar apa yang dikatakan oleh perempuan itu. Di siang harinya, Hans datang dan memberi salam pada Sindy selaku cucu dari pemilik pondok ini. “Senang berjumpa dengan anda lagi, Nona. Maafkan saya yang tidak tahu kalau anda masih ada di sini dan tersesat. Tuan besar tidak mengatakan apapun pada saya.”
“Tidak apa apa, memang kami sedang bertengkar jadi tidak mungkin baginya memberitahumu.”
“Bagaimana anda bisa keluar dari hutan?”
“Dulu kau mengajariku beberapa hal tentang arah mata angin, jadi aku masih bisa menemukannya meskipun butuh waktu semalaman.”
Hans mengangguk paham. Dari kejauhan, Adam bisa melihat kalau Hans mencoba untuk menjaga etikanya di hadapan perempuan yang dia panggil Nona tersebut. “Jika anda sedang mabuk memang sangat sulit untuk dikendalikan, saya tidak tau anda akan sejauh itu.”
Sindy tertawa karenanya. “Memang, lain kali aku tidak akan minum alcohol lagi untuk menghindari hal hal semacam itu. Emosiku naik turun saat minum alcohol.”
Kemudian terdengar suara tawa keduanya, yang mana membuat Adam memilih untuk focus membenarkan kran yang terbuka di halaman depan. Sementara Sindy dan juga Hans berdiri di pinggir danau; tepat di bawah pohon.
“Kau sudah selesai?” baru Adam menoleh kemudian mengangguk.
“Sudah, aku memeriksa ke sekitar, tidak ada yang perlu dikerjakan lagi.” Sampai Adam sadar perempuan itu sudah tidak terlihat di luar. “Kemana dia?”
“Ke dalam mengangkat telpon.”
“Memangnya telponnya berbunyi?”
“Ya, kau tidak mendengarnya? Lihat, aku bilang kau sering berhalusinasi dikarenakan kau sering melamun.”
Adam terdiam karenanya.
“Mungkin itu juga pertanda yang bagus, penulis yang sesungguhnya benar benar bisa merasakan keadaan sekitar. Kau mungkin akan menjadi orang yang sukses jika suatu saat nanti ada bukumu yang meledak.”
“Ya, aku harap begitu. Aku masih belum menghasilkan apapun,” ucap Adam mendesah kecewa.
Percakapan keduanya harus terhentikan karena Sindy keluar dari dalam rumah. “Bisa kau antar aku?” tanya Sosok tersebut pada Adam.
“Anda butuh pergi kemana, Nona?”
“Hei, aku bilang jangan bicara formal denganku.” Sindy mengerucutkan bibirnya. “Ayo kita ke kotamu, aku ingin membeli beberapa hal. Tadi Kakek menelpon untuk memastikanku sudah di sini, dia ingin membeli ikan laut dalam kaleng khas kotamu.”
Adam mengangguk. “Aku akan mengeluarkan motorku terlebih dahulu.”
“Hati hati membawa kendaraannya,” ucap Hans memberikan nasihat.
Siang itu, Adam membawa Sindy ke kotanya. Butuh waktu satu jam dalam perjalanan, dan Sindy termasuk orang yang begitu aktif hingga dia terus berbicara, membuat Adam tersenyum sendiri mendengarnya, perempuan di belakangnya itu begitu menggemaskan.
Jarak dari hutan ke kota membutuhkan waktu sekitar satu jam. Apalagi ke kota Tua tempat Sindy tinggal, dimana di sana aalah kota orang orang kaya. Membutuhkan waktu sekitar empat atau lima jam dari tempat ini.
Karena kota tempat Adam tinggal memiliki pantai dan ikan yang melimpah, ke pasar ikan adalah tujuan mereka. sindy membeli beberapa makanan yang akan dia olah jika keluarganya tiba sebagai permintaan maaf.
“Aku akan membuat makanan enak untuk keluargaku sebagai permintaan maaf karena telah mengamuk malam itu.”
“Biar aku yang membawa ini,” ucap Adam mengambil alih tas belanjaan yang dipegang oleh Sindy..
“Terima kasih, Adam. Ngomong ngomong, dimana rumahmu?”
“Rumahku jauh dari tempat ini, kenapa memangnya?”
“Aku ingin menyapa keluargamu.”
“Mereka tidak ada di rumah jika jam segini, lebih baik kita pulang saja.”
“Baiklah,” ucap Sindy melangkah di samping Adam yang akan membawanya keluar dari pasar ikan tersebut.
“Adam?” tanya seseorang membuat Adam menoleh.
“Sindy?”
“Hai, maaf aku tidak tahan untuk menyapamu disetiap kita bertemu,” ucap sosok itu.
“Siapa?” tanya seseorang yang ada di belakang Adam.
“Oh, hai, namaku Sindy.” Mantan pacar Adam memperkenalkan diri.
“Whoa, namaku juga Sindy, aku temannya Adam.”
“Nama kita sama? Sebuah kebetulan, kalian sedang berbelanja?”
“Iya, membeli ikan.”
“Ayo,” ucap Adam. “Kami harus pergi.”
“Oke, hati hati di jalan,” ucap sang mantan.
Dia bahkan menarik tangan cucu majikannya untuk melangkah lebih cepat. “Dia cantik sekali ya? Kau berteman dengannya sejak kapan?”
“Dia mantan pacarku.”
“Oh astaga, tapi kalian bisa seakur itu, aku merasa kagum melihatnya.”
**
“Adam apa kau baik baik saja?” tanya Sindy karena sejak pulang dari pasar, sosok itu terus saja diam dan terkesan tidak mendengarkan apa yang dikatakan olehnya. Karena Adam tidak kunjung menjawab dan hanya focus pada danau, Sindy berinisiatif membuatkan teh hangat untuknya dengan beberapa cookies lalu menyimpannya di meja yang ada di hadapannya.
Adam menaikan alisnya. “Untukku?”
“Ya, untukmu. Makanlah, kau terlihat sedih. Jika aku sedih, Ibuku membuatkan ini untukku. Kenapa bukan s**u? Katanya karena aku orang dewasa,” ucapnya sambil terkekeh dan duduk di kursi kayu lainnya. Sindy meminum teh miliknya sendiri. “Teh ini juga memberikan ketenangan, aku mencampurkan rempah rempah di dalamnya. Cobalah.”
Adam meminumnya, dia menaikan alisnya dan menatap Sindy. “Ini sangat enak. Aromanya begitu membuat pikiranku tenang.”
“Dan makan cookiesnya agar kau merasa senang.”
Dan makan kuenya supaya kau merasa Bahagia. Itu kalimat yang selalu dikatakan oleh mantan pacarnya. Itulah yang membuat Adam sedih sekarang, dia mengingat mantan kekasihnya. Jika ditanya tentang perasaan benci, tidak sekalipun Adam membenci Sindy. Namun melihat sosok itu dengan orang lain, Adam marah pada dirinya sendiri karena tidak bisa menjadi pria impian untuknya.
“Kenapa kau malah diam saja?”
“Tidak apa apa, terima kasih untuk cookiesnya.”
“Sama sama.” Sindy tersenyum dan meminum tehnya dengan mata yang berbinar. Ini semakin membuat Adam sedih, kepribadian mereka benar benar mirip.
“Kau mau kemana?”
“Mengambil snack lainnya, enak sekali memandang danau sambil memakan makanan hangat,” jawab Sindy sambil melangkah menjauh, dia bersenandung kecil yang mana membuat Adam semakin mengingat pada kekasihnya. Dia selalu seperti itu jika sedang melakukan ativitas.
Ngomong ngomong jika dilihat lebih teliti, Sindy benar benar memiliki kepribadian yang mirip dengan mantan pacarnya. Nama mereka sama, style dan juga gaya bicara. Mantan pacarnya sangat ceria seperti Sindy Whitengton ini, yang mana keceriaannya selalu membuat Adam ikut tersenyum karenanya. kali ini, Adam hanya mampu menghela napasnya dalam karena dia belum benar benar bisa melupakan sang mantan.
“Berapa umurmu?” tanya Adam saat Sindy kembali mendekat dann duduk di sampingnya.
“Umurku baru 21 tahun, kau sendiri?”
“wah, aku lebih tua darimu. Aku sudah 24 tahun.”
“Benarkah?” tanya dia sambil sibuk menghidangkan snack lain di hadapannya, disimpan di meja dan menyuruh Adam untuk memakannya.
“Kau kuliah?”
“Tidak, aku belajar di rumah. Orangtuaku memanggil mereka agar aku belajar di rumah.”
“Kau pasti sangat kaya.”
“Sebenarnya itu sangat mengganggu, aku ingin kebebasan dan bermain dengan anak anak lainnya. Orangtuaku ketat, tapi sekalinya marah mereka tidak peduli padaku. Lihatlah aku sekarang ini,” ucap Sindy memajukan bibirnya karena sedih.
Adam tertawa karena hal itu. “Hei, mereka melakukan hal itu karena mereka menyayangimu. Jangan seperti itu, mungkin kau memang butuh pelajaran.”
“Mereka maarah hanya karena aku mencoba minum alcohol.”
“Maka lain kali jangan melakukan itu lagi, mungkin orangtuamu tidak ingin tubuhmu kenapa napa. Oke?”
Sindy mengangguk sambil tersenyum. Akhirnya di hari itu, mereka bertukar cerita hingga Adam tau kalau hobby Sindy adalah membaca dan juga berenang. Kenapa harus begitu sama dengan mantan pacarnya? Bahkan warna, gaya berpakaian mereka identic. Hanya wajah dan suara saja yang membedakan.
Karena hal itu, Adam berani menceritakan kalau dirinya seorang penulis buku yang belum terkenal sama sekali. Dia bahkan memberikan naskahnya pada Sindy untuk dibaca, dan reaksi Sindy benar benar sama seperti mantan kekasihnya; mendukung.
“Wah, ini buku yang hebat. Kau hanya perlu menunggu, orang orang pasti akan ketagihan saat membacanya. Apalagi plotnya begitu berputar. Bolehkah aku meminjamnya? Mendengarnya darimu membuatku ingin membaca secara keseluruhan.”
“tentu saja,” ucap Adam merasa Bahagia ada orang yang menghargai tulisannya. Andaikan semua orang seperti itu, dia pasti akan Bahagia karenanya. “Terima kasih juga atas dukunganmu, itu membuatku semakin senang karenanya. dan membuatku semakin ingin membuktikan kalau aku bisa.”
“Tentu saja, kau harus membuktikan kalau kau bisa. Aku akan senang menjadi pembaca pertamamu.”
“Dan aku senang bisa mendapatkan pujian darimu.”
“Selama beberapa hari ke depan, bolehkan aku membaca cerita ceritamu? Aku bosan, dan ingin menghabiskan hari di sini.”
“Tentu saja, kau bisa melakukannya. Aku juga tidak akan kemana mana, menunggu tempat ini sambil mengetik cerita yang akan mengejutkan dunia.”
**
Hanya dalam sehari, Adam dan Sindy bisa sedekat itu karena mereka saling berbagi cerita satu sama lain. Membuat Adam lebih semangat menulis seperti sekarang, apalagi dengan disiapkan makanan oleh Sindy. Perempuan itu benar benar hebat dalam memasak, menjadi sosok perempuan idaman dengan sama seperti mantan pacarnya.
Ah, mengingat mantan pacarnya lagi membuat Adam sakit hati, dia benar benar mencintai perempuan yang sebentar lagi akan menikah dengan pria lain dan itu bukan dirinya. Padahal, mereka berdua sudah melewati banyak hal selama ini. sedih? Jelas Adam sakit hati.
“Apa yang kau pikirkan? Kenapa hanya diam dan membiarkan laptopmu terbuka seperti itu?”
Adam menoleh dan mendapati Sindy yang bbaru saja membereskan dapur. “Tidak ada, hanya melihat danau yang indah itu.”
Mereka masih berada di ruangan yang sama seperti sebelumnya. “Aku akan tidur lebih awal, kau tidak apa apa jika aku tinggalkan sendirian?”
“Aku sudah terbiasa sendirian, kau bisa meninggalkanku di sini.”
“Jangan bergadang, kepalamu bisa sakit. Lanjutkan besok saja mengetiknya,” ucap Sindy memberikan perhatian padanya. Adam mengangguk paham, Bahagia memiliki seseorang yang mengingatkannya. “Lampunya akan dimatikan, takut meledak lagi. Ini sudah hampir tengah malam, kau akan pindah ke kamar?”
“Aku rasa begitu.”
“Mau aku bantu angkat laptopnya?”
“Tidak usah, biar aku saja. kau istirahatlah, pasti Lelah hari ini.”
Sindy tersenyum dengan begitu manisnya. Jujur saja, Sindy di sini lebih cantik dari mantan kekasihnya, dia memiliki kulit seputih salju dan rambut pirang dengan matanya yang indah. Ditambah kepribadian yang seperti mantannya, bagaimana bisa Adam menahan gejolak di hatinya lebih lama lagi.
“Good night, Adam.”
“Good night, Sindy, mimpi indah untukmu.” Bahkan Adam melihat bagaimana Sindy menaiki tangga sambil melambaikan tangan padanya. Membuat Adam terkekeh karena tingkahnya yang menggemaskan. Sampai akhirnya dia mematikan lampu dan kembali ke kamar. Di sana dia melanjutkan mengetik terlebih dahulu beberapa menit sampai akhirnya mengantuk.
Adam menguap, dia memegang keningnya yang terasa pusing. Akkhirnya, dia memilih untuk menutup laptop dan berbaring sejenak di atas Kasur tanpa mematikan lampu kamarnya. Sengaja karena Adam ingin kembali mengetik.
Kini, dia tidak mendengar suara suara aneh dari arah basement. Ketenangan yang Adam dapatkan, sampai jantungnya berpacu dengan kencang tatkala lampu tiba tiba padam.
Ketika Adam membuka mata, dia tidak bisa melihat apapun. Hitam kelam seakan matanya terpejam. Keningnya berkerut saat Adam merasakan hembusan napas di pipinya.
Dia buru buru mendudukan dirinya panik dengan tangan meraba raba mencari ponsel. Dan hal itu membuat sosok yang berjongkok di sisi ranjang itu tersenyum.
“s**t,” umpatnya segera menyalakan baterai ponsel. Adam langsung melangkah keluar kamar takut Sindy ketakutan karena kegelapan ini.
“s**t!” kini umpatannya lebih keras saat melihat kain putih mengambang di setiap sudut ruangan. Kaca yang tertutupi itu selalu berhasil mengejutkannya hingga hampir serangan jantung seperti ini.
“Sindy, astaga apa dia baik baik saja.” adam melangkah melewati beberapa sosok yang berjajar.
Tidak, itu bukan cermin yang tertutupi kain. Itu adalah pengantin dengan gaun putih yang memunggungi Adam dan tersenyum dengan begitu seram.