CHAPTER 11

1567 Kata
Karena ini giliran Adam untuk membuat makan siang, dia masuk ke dalam rumah dan berfikir untuk memasak makanan yang akan disukai oleh Sindy. Jujur saja Adam cukup ahli dalam memasak karena dirinya cukup pandai dan sering masak bersama dengan mantan kekasihnya, jadi bukan hal yang aneh untuknya melakukan hal ini. Adam berkali-kali meyakinkan dirinya kalau dia tidaklah gila dan semua yang dia lihat adalah kenyataan, seperti sekarang Adam merasakan sebuah hembusan nafas di bahunya. Bahkan Adam menghentikan Gerakan tubuhnya karena hal ini, dia menelan salivanya kasar merasakan kalau hembusan napas itu terasa semakin jelas. “Adam?” Pria itu langsung berbalik, dia kaget melihat keberadaan Sindy yang ada di belakangnya. “Kau baik baik saja?” “Ya, aku baik baik saja,” ucap Adam mengusap peluh di dahinya, dan menoleh pada Sindy yang menatapnya dengan heran. “Kenapa?” tanya Sindy lagi, tapi Adam menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Sosok itu menarik napasnya dalam kemudian kembali focus pada masakannya. Dia merasa pusing, peluh bercucuran di dahinya, dan telinganya menerima suara suara aneh itu lagi. Membuatnya merasa mual hingga setelah Adam menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan buru buru masuk ke dalam kamarnya sendiri. bahkan Adam mengunci dirinya sendiri di dalam kamar. “Adam, apa kau baik baik saja?” tanya Sindy dari luar kamar sambil mengetuk pintunya, sosok itu mencoba masuk ke dalam kamar Adam tapi ternyata dikunci. “Sebentar, nanti aku keluar,” ucapnya sambil mengusap keringat di pelipisnya. Adam seperti orang yang sakit, dia terlihat pucat dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh tubuhnya sendiri. sengaja supaya rasa panas di dalam tubuhnya ini hilang, tapi sayangnya Adam malah merasa pusing. Hingga dia terdiam sejenak di bawah guyuran shower dengan air yang mengguyur tubuhnya. Selama lima menit, Adam terdiam di sana. yang mana membuat Sindy tidak makan, dia hanya menunggu Adam di luar kamarnya. Di sisi lain, Adam mulai melangkah beranjak dari kamar mandi dan mengganti pakaiannya. Perasaannya mulai kembali tenang, tapi gelisah dirasakannya kembali setelah melihat ranjangnya yang berantakan. Demi Tuhan, Adam mengingat kalau dia membersihkan tempat ini sebelumnya. Kenapa sekarang bisa sekotor ini lagi? Menarik napasnya dalam, Adam membereskan lagi kamarnya. Bahkan dia melihat ada jejak kaki di bagian selimut, begitu menjijikan dengan warna cokelat yang mendominasi. Kini Adam semakin yakin, kalau tempat ini salah hingga dia memilih untuk memakai jaketnya dan membawa tasnya. BRAK! Pintu terbuka dengan begitu kasar hingga membuat Sindy menoleh dan mengerutkan keningnya. “Adam, kau mau kemana?” tanya dia dengan wajah yang gelisah. “Aku akan keluar sebentar, ada hal yang harus aku lakukan.” “Kemana?” tanya Sindy lagi. “Aku akan kembali sore nanti.” “Bagaimana dengan makan siangnya? Kau belum makan apapun,” ucap Sindy mencoba menahan Adam. Namun, sosok itu menggelengkan kepalanya. “Aku janji akan kembali, aku hanya keluar sebentar. Ada yang harus aku urus, maaf aku tidak bisa mengajakmu.” Begitu katanya sambil mengelus pipi Sindy mencoba memberikan ketenangan pada perempuan itu. Ada yang salah dalam dirinya, jadi Adam ingin menyelesaikannya terlebih dahulu. Apalagi keberadaan Sindy di sini membuat Adam merasa senang dan juga Bahagia, tapi tempat inilah yang salah di matanya. “Makan sianglah, dan istirahat, hari ini kau banyak melakukan banyak hal. Aku akan kembali.” “Tapi bagaimana kalau kau tidak kembali?” “Berikan nomor ponselmu,” ucap Adam mengeluarkan ponselnya. Mereka bertukar nomor. “Kau bisa menghubungiku jika kau membutuhkan sesuatu. Aku tidak akan pergi lebih dari empat jam.” “Oke, aku menunggumu,” ucap Sindy yang membuatnya lebih tenang untuk melepaskan Adam. Sosok itu akhirnya membiarkan Adam menaiki motornya dan pergi dari sana. senyuman Sindy langsung pudar ketika matanya tidak lagi melihat Adam, dia melangkah ke dalam rumah dan membuka pintu ke basement. Tangannya memegang sebuah pisau yang dia ambil dari dapur, kemudian mengetuk ngetuknya pada dinding sambil menuruni tangga. “Kalian keterlaluan! Aku bilang lakukan dengan perlahan, Sialan! Lakukan dengan perlahan dan jangan sampai dia tau seperti ini!” Hihihihi…. Hahahaha…. Hahaha…. Riuh langsung terdengar memenuhi telinga Sindy, tapi perempuan itu malah tersenyum miring. “Kalian berani?” tanya dia menggores dinding dengan ujung pisau, hingga suara itu semakin hilang dan akhirnya lenyap. Sindy menarik napasnya dalam kemudian tersenyum miring, dia berbalik hendak menaiki tangga lagi, sayangnya tubuhnya berhenti bergerak tatkala melihat sosok yang tinggi menjulang di ambang pintu di sana. Membuatnya langsung bersujud kemudian berkata, “Tuanku…. Tuanku….,” ucapnya dilanjutkan dengan mengiris lengannya sendiri. “Untukmu, Tuanku… untukmu, Tuanku…,” begitu ucapnya sampai akhirnya sosok hitam besar itu berubah menjadi sosok mirip anjing berwarna hitam dan memiliki banyak bekas luka. Bergerak mendekati Sindy kemudian menjilati lukanya dan membuat Sindy tertawa seperti orang gila. *** Kenyataannya, kini Adam pergi ke sebuah tempat dimana ada seorang penjaga yang dulunya juga bekerja di pondok itu. Adam ingin memastikan sesuatu, dia ingin tau apakah dia juga mengalami hal hal yang sama seperti yang dia alami seperti mendengar sebuah suara suara aneh ataupun benda benda yang berpindah dengan sendirinya. Kini, Adam berada di sebuah tempat rest Area yang ada di tengah hutan. Matanya langsung tertuju pada seorang laki laki tua yang sedang melayani pelanggan yang sedang beristirahat. Merasa diperhatikan, sosok tersebut langsung memberikan pelanggan yang sedang dia layani pada yang lain. Sementara dirinya mendekati Adam karena merasa diperhatikan sejak tadi. “Hai, apa ada yang bisa aku bantu?” tanya sosok tersebut. “Aku Adam,” ucapnya memperkenalkan diri. “Aku bekerja di pondok keluarga Whitengton di hutan bisik. Bisa aku bicara sebentar padamu?” “Tentu, duduklah anak muda,” ucapnya mempersilahkan Adam untuk duduk di salah satu kursi di sana. “Namaku Ben, aku juga dulu bekerja di sana. jadi, apa yang bisa aku bantu?” “Apa kau pernah merasa aneh saat berjaga di sana?” “Aneh bagaimana?” tanya Ben dengan heran. “Maksudnya, kau dulu menginap juga di sana kan?” Ben menganggukan kepalanya. “Ya, dulu aku juga menginap di sana, dan pulang setiap akhir pekan, kecuali jika mereka membutuhkanku untuk menetap di sana, aku akan diam di sana.” “Apa kau pernah mendengar suara suara aneh? Atau benda benda yang berpindah dengan sendirinya?” Ben menggelengkan kepalanya. “Tidak sama sekali, suara seperti apa?” “Aku seringkali mendengar suara aneh, orang yang tertawa ataupun berbisik. Bahkan barang barangku berpindah dengan sendirinya, dan jangan lupakan kalau aku menemukan sebuah jejak kaki di kasurku. Yang mana hanya ada aku yang menempati tempat itu.” Ben tertawa. “Sepertinya kau belum tau ya.” “Tau apa?” “Ada sebuah suku pedalaman di balik gunung itu. Anak anak mereka memang jahil dan sering turun gunung, kemudian beberapa kali sering masuk ke dalam pondok. mereka tidak pernah mau menampakan dirinya.” “Suku apa? Aku baru mendengar hal ini.” “Ya, aku juga, aku mendengarnya dari Tuan Besar waktu itu, mereka suku pedalaman yang menyembunyikan identitas. Jangan khawatir, mereka tidak akan mengganggu.” “Ini sudah terjadi sejak pertama kali aku datang,” ucap Adam dengan gelisah. “Jika mereka manusia, kenapa tidak meminta baik baik padaku? Aku pasti akan memberikan apa yang mereka inginkan.” “Ini bukan musim panen, mereka tidak punya banyak makanan. Jadi para orangtua mereka lebih focus mencari makanan dan anak anak jahil itu turun gunung. Jika musim sudah berganti, mereka sudah tidak akan mengganggu.” Adam terdiam, dia masih belum mempercayai hal ini. Ada suku di balik gunung itu, berarti menandakan kalau mereka adalah manusia bukan? “Tapi apa yang mereka lakukan itu tidak mencerminkan kalau mereka adalah manusia.” Sontak saja Ben tertawa karenanya. dia menggelengkan kepalanya tidak percaya. “Lalu, kau mengira itu adalah hantu? Apa kau bercanda?” “Aku rasa begitu, karena hal ini tidak masuk akal.” Ben kembali tertawa. “Tenang saja, mereka tidak akn berani macam macam bahkan melukaimu.” “Tapi aku tidak tenang dengan keberadaan mereka.” “Mungkin kau bisa bicara dengan Hans, apa dia masih berada di sana?” Adam mengangguk. “Aneh sekali, dulu aku tidak pernah merasa terusik karena mereka sama sekali tidak mengganggu.” “Mereka mengganggu, aku seorang penulis yang butuh ketenangan.” “Bicaralah dengan Hans, tapi selama mereka tidak melukaimu, itu akan baik baik saja.” ben kemudian menatap tempat miliknya. “Jangan menyerah, bekerja di sana bisa membuatmu kaya. Lihatlah aku sekarang, memiliki rest area ini. ini hasil dari sana.” Meskipun Adam tergiur, tapi jawaban Ben tidak membuatnya puas. Selama beberapa menit dia berdiam seorang diri karena Ben harus kembali melayani pelanggan. Sementara Adam sendirian di sana menatap langit mendung, tapi tidak hujan. Membuat hutan terlihat lebih gelap dan menyeramkan. “Ben, aku harus pulang.” “Oke, datanglah ke sini jika kau butuh teman.” Adam mengangguk, dia kembali menaiki motornya dan kembali ke pondok. dirinya berjanji pada Sindy tidak akan pulang lebih dari empat jam. Mungkin, dirinya harus bertanya tentang Sindy perihal hal ini. karena begitu sampai di pondok tersebut, Adam langsung memarkirkan motornya dan masuk ke dalam. “Sindy?” panggilnya. “Aku di atas sini,” jawabnya dari arah kamar, yang mana membuat Adam melangkah kea rah sana untuk memastikan langsung. Dia mengetuk pintu kamar Sindy, dan tidak lama kemudian sosok itu keluar dari kamar. Adam kaget melihat penampilan Sindy yang lebih seksi dari biasanya. Lebih dari tadi pagi. “Ada apa?” tanya Sindy. “Bisa kita bicara sebentar?” “masuklah, kita bicara di dalam,” ucapnya sambil menarik tangan Adam dan tersenyum menggoda padanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN