Ridho 6

1766 Kata
Tak terasa waktu terus berlalu. Resty dan Rayhan sudah libur sekolah. Sudah dua hari Ridho tinggal sendiri di rumahnya. Mama dan kedua adiknya berlibur di tempat kakek di Bandung. Walau di sekolah tidak ada kegiatan belajar mengajar. Namun semua siswa SMA wajib hadir ke sekolah sampai tiba libur akhir tahun ajaran, seminggu kemudian. Waktu luang dimanfaatkan oleh semua siswa untuk berlatih dan mempersiapkan pagelaran acara perpisahan untuk kelas dua belas yang akan diisi dengan berbagai kreasi seni dari kelas sepuluh dan sebelas. Ridho didapuk ikut dalam gelaran upacara adat. Setiap hari dia berlatih walau tidak seintensif yang lain. Ridho bertugas membawa payung di belakang sepasang pengantin yang nanti akan dinobatkan jadi raja dan ratu sehari. "Det, gimana keputusannya. Lu ikut gak kemping ke pantai?" tanya Dendy salah seorang sahabat Ridho. "Gak tahu. Kemungkinannya gak bisa, Den. Gua lagi fokus nyari duit. Tagihan cicilan bank dua minggu lagi masuk batas waktu. Nyokap gua juga nyari pinjaman dari saudara-saudara di Bandung, tapi masih belum ada hasil," jawab Ridho lemah. Tangan kanannya mencabut bunga rumput yang tumbuh di samping aula sekolah tempat berlatih upacara adat. "Bukannya lu udah dibooking sama nyokap gua?" Dendy menatap Ridho seraya mengernyitkan dahi. "Bukan dibooking juga kali, hehehe!" sanggah Ridho seraya terkekeh geli mendengar kata 'dibooking' yang sedikit berkonotasi negatif. "Maksud gua, bukannya nyokap gua udah pasti pakai jasa lu setiap hari. Terus mau fokus nyari duit gimana lagi?" Dendy masih belum paham. "Den, kalau gua cuma ngandelin antar jemput nyokap lu doang, berapa penghasilannya? Paling hanya cukup buat makan gua aja. Makanya gua sekarang rajin nongkrong di pangkalan ojek buat cari tambahan." Ridho memperjelas. "Ya, tapi masa sih lu gak bisa nyempetin waktu dua hari doang buat refreshing bareng kita." Dendy duduk di samping Ridho yang selonDhoran di lantai. "Bukan masalah sempat atau tidak, Sob. Siapa sih yang gak mau jalan bareng kalian. Gua juga anak muda, pengen hura-hura menikmati masa muda. Tapi sikon yang gua hadapi saat ini gak memungkinkan untuk itu," terang Ridho sambil memainkan bunga rumput dengan bibirnya. "Oke oke gua ngerti. Gini aja, berapa rata-rata penghasilan lu per harinya. Atau berapa biasanya nyokap gua ngasih uang tips buat lu?" Dendy masih belum puas dengan jawaban sahabat karibnya. "Tergantung sikon, namanya ngojek kan gak tentu penghasilannya. Uang tips dari nyokap lu memang lebih besar sih, tapi itu pun tergantung kebaikan hati beliau juga." Ridho menatap Dendy yang tersenyum tipis. "Oke gua paham. Gini aja, selama lu ikut kemping, gua yang ganti uang tips sama penghasilan lu sesuai yang biasa lu dapat. Gimana?" Dendy terus memaksa. "Waduh! Gak bisa gitu juga. Gua mesti ngomong dulu sama nyokap lu. Kan udah dibooking sampai semua Dhob-nya kelar, hehehe." Ridho terkekeh geli memakai istilah 'dibooking'. "Urusan nyokap, biar gua yang atur. Yang penting lu mau kan ikut kemping kalau sistemnya gitu? Artinya lu gak kehilangan pendapatan sekaligus bisa refreshing. Semua akomodasi selama lu ikut kemping gua yang nanggung. Oke!" Wajah Dendy seketika semringah. "Gua sih gak keberatan. Tapi sekali lagi, itu semua tergantung nyokap lu. Kalau dia gak ngizinin, gua gak berani ikut. Kalau gua maksa entar pulang kemping dia gak mau pakai jasa gua lagi, kan bahaya, Sob! hehehe." Ridho kembali tersungging. "Halah santai, Kawan! Yang menentukan siapa yang wajib nganter jemput nyokap, kan gua sendiri. Gak ada yang boleh jadi sopir pribadi dia tanpa seizin gua, santai aja. Lu bakalan tetep dipake, kok." Wajah Dendy makin cerah dengan mata berbinar. Dia sangat yakin sahabat karibnya bisa ikut. Sesuai yang diharapkan oleh semua teman-temannya yang akan ikut kemping. Kegembiraan mereka tidak akan lengkap tanpa kehadiran seorang Ridho yang selalu dianggap sebagi anak yang paling dewasa dan bijaksana dari semua teman-temannya. Ridho hanya mengedikkan bahu. Mama Dendy pasti mengizinkannya ikut kemping jika Dendy yang minta. Apapun keinginan Dendy hampir tak pernah ditolak oleh kedua orang tuanya. Dendy anak sulung yang paling dimanja dan disayang oleh seluruh keluarganya. Dendy salah satu sahabat terbaik Ridho. Dia terlahir dari keluarga kaya raya. Ayahnya seorang pejabat di salah satu pertambangan emas terbesar di Papua. Sementara ibunya yang biasa dipanggil 'Mama Dendy' memiliki dua buah salon kecantikan dan sanggar tata rias yang cukup besar dan ternama. Ridho dan Dendy sudah bersahabat sejak kelas satu SMP. Selain karena satu sekolah, rumah mereka pun hanya berjarak kurang lebih 200 meteran. Status soaisl dan kondisi Ekonomi mereka bagai bumi dan langit, namun tak pernah jadi penghalang untuk keabadian persahabatannya. Ketika keadaan Ekonomi keluarga Ridho oleng, Dendy menawarkan solusi cerdas untuk membantunya. Ridho diminta jadi sopir atau ojek pribadi mamanya. Tentu saja dengan tetap tidak menganggu jadwal sekolah. Dendy bukan tidak bisa membantu Ridho dengan cara instan. Namun dia sangat tahu karakter Ridho yang jauh dari jiwa mengemis atau meminta-minta. Ridho bahkan akan menolak bantuan dari siapapun jika dia tidak bisa melakukan apapun untuk yang membantunya. Bulan ini, Mama Dendy cukup padat jadwal rias pengantin di tempat resepsi maupun pagelaran upacara adat perayaan perpisahan dan kenaikan kelas mulai tingkat SD hingga SMA. Ridho sangat bersyukur bisa menjadi sopir atau ojek pribadi Mama Dendy. Selain tugasnya cukup ringan, uang tips yang diterimanya pun jauh lebih besar dibanding ngojek biasa. Dia pun tak perlu membeli bensin karena memakai mobil atau motor milik Mama Dendy sendiri. "Det, gimana kalau lu pinjam uang dulu sama nyokap gua buat bayar cicilan ke bank. Anggap saja gaji lu satu atau dua bulan ke depan diambil duluan." Dendy mencoba menawarkan solusi lain yang sangat mengejutkan Ridho. "Hahaha, Gua butuh duit besar bro, sekurang-kurangnya lima atau sepuluh juta. Nganter jemput nyokap lu, kan gak jelas juga waktunya. Belum tentu pakai jasa gua tiap hari, tergantung Dhob-nya kan?" Ridho menatap Dendy yang masih senyum-senyum gak jelas. "Why not? Kalau perlu untuk sepuluh bulan ke depan, apa salahnya?" Dendy menjawab enteng. "Gak usah Den, gak enak gua sama nyokap lu. Dia terlalu baik. Segini aja gua udah sangat syukur, nyokap lu masih mau pakai jasa gua. Padahal dia bisa bawa motor atau mobil sendiri. Atau pakai jasa sopir yang lebih profesional." Ridho bersikeras menolak. "Ya elah, kan gua udah bilang. Kita saling bantu. Gua nitip keselamatan dan keamanan nyokap gua. Elu bisa sedikit terbantu Ekonominya. Gua percaya sama lu, Det. Makanya gua rekomendasikan lu buat nganter dan ngejemput nyokap gua. Lu bisa punya penghasilan yang gak ganggu sekolah. Bener gak?" Dendy pantang menyerah. "Justru itu, gua gak enak. Nyokap lu terlalu baik sama gua. Sumpah, gua gak berani menuntut lebih banyak atau yang macam-macam dari nyokap lu, Den." Ridho tetap keukeuh. "Udah deh lu diam aja. Gak usah banyak protes. Entar gua yang ngomong sama nyokap. Yang penting lu bersikap baik sama nyokap gua. Kita udah lama bersahabat, nyokap gua aja udah anggap lu anak sendiri, gak mungkin dia gak mau bantu?" "Ya, lu ada-ada Den!" Ridho kehabisan alasan. "Kalau selama ini nyokap gua gak ngebantu elu, karena dia gak tahu masalah yang sedang lu hadapi. Gua yakin lu gak pernah cerita kan sama nyokap gua?" Dendy kembali bertanya serius. Ridho menjawab dengan menganggukkan kepala seraya tersenyum tipis. Dia sangat jarang berkeluh kecuali sekedar curhat pada orang-orang yang sudah sangat dia percaya. "Itu masalahnya. Lu selalu merasa sendiri, semua masalah yang lu hadapi hanya lu aja yang tahu, gak pernah mau berbagi sama teman. Walau gua gak bisa bantu secara langsung, kan bisa bantu dengan cara lain, Sob." "Gua gak mau jadi beban orang lain, Den." "Kalau minta atau ngemis itu baru membebani orang lain. Beda kali, kalau lu kan ada jasa dan tenaga yang dikeluarkan untuk kepentingan nyokap gua. Anggap saja status lu karyawan lepas nyokap gua, jadinya lu gak membebani siapapun." "Terserah lu aja, Den. Tapu gua harap lu jangan maksa nyokap lu. Yang gak enak nanti malah gua." "Aman, Sob. Tapi lu jangan geer. Sejujurnya nyokap gua sangat senang dengan kerjaan lu. Menurutnya lu kerja cekatan, bawa kendaraannya apik, dan gak banyak mengeluh. Gua yakin dia akan setuju dengan usulan gua tadi, Oke!" Wajah Dendy seketika cerah dan semringah sementara Ridho hanya tertegun. Dendy memang selalu begitu. Ketika dia punya keinginan atau niat apapun, pasti akan ngotot. Terkadang menghalalkan segala cara sampai keinginannya benar-benar tercapai. Ridho tak bisa lagi menolak atau mengiyakan keinginan Dendy. Walau dalam hatinya ingin mencegahnya. Tak enak hati karena terlalu sering dan terlalu banyak Dendy dan keluarganya mengulurkan tangan untuk dirinya. Sejak bersahabat dengan Dendy, Ridho sudah merasakan segala kebaikannya. Dia bahkan diberi kebebasan untuk menikmati segala fasilitas yang tersedia di kamar dan di rumah sahabat tajirnya itu. Ridho sering numpang makan, tidur, mandi dan lain-lain. Jika ayahnya Dendy pulang dari Papua, semua teman dekat Dendy akan mendapat uang kaget yang lumayan besar hingga cukup untuk jajan seminggu. Sesungguhnya Ridho pun sudah sering menolak kebaikan Mama Dendy. Wanita yang selalu berpenampilan cantik, energik dan simple itu, sering menawari pinjaman uang pada Ridho. Dia sedikit banyak memahmi bagaimana kondisi Ekonomi keluarga Bu Anita. Walau sebenarnya dia belum tahu jika keluarga Ridho memiliki beban cicilan ke bank yang jumlahnya sangat besar. Ridho pun sering menyampaikan tawaran baik dari Mama Dendy itu pada Mamanya, namun Bu Anita selalu menyaranakan agar Ridho tidak membiasakan diri gali lobang tutup lobang. Pinjam uang untukbayar utang. “Kita usahakan saja dulu dengan cara kita. Kalau pun harus pinjam, lebih baik pada suadara atau kerabat terdekat dulu. Kalau keluarga mungkin bisa lebih saling memahami. Jangan sampai hubungan baik kita dengan keluarganya Dendy, jadi retak dan tak harmonis karena urusan utang piutang.” Demikain amanat Bu Anita, yang selalu dipegang teguh oleh Ridho.  Haruskah Ridho menerima tawaran Dendy dan mengkhianatai pesan mamanya? Benarkah Dendy bisa jadi dewa penolong untuk kelaarganya? Ridho dan Fazal dua orang yang paling beruntung bisa merasakan kemurahan hati Dendy dan keluarganya. Teman sekolah yang lain menganggap Dendy sebagai orang yang sombong, arogan dan pilih-pilih dalam berteman. Sebenarnya Dendy tidak pernah pilih kasih dalam berteman. Dia hanya tidak akan berteman dengan orang yang ada kecendrungan aji mumpung, terlalu memanfaatkan kelebihan orang lain. Orang-orang yang mengajak berteman karena ada tujuan terselubung pasti akan tersingkir. Ridho pun sangat berterima kasih pada salah seorang temannya, Fazal. Dia telah merelakan pekerjaan sampingannya digantikan olehnya. Sebelumnya yang menjadi sopir pribadi Mama Dendy adalah Fazal, dari sejak dia kelas sepuluh SMA. Fazal Nugroho, putra bungsu Pak Surya dengan istri pertamanya yang sudah meninggal. Kini remaja kelahiran asli Dhogja itu tinggal dengan bapak dan ibu tirinya. Fazal berwajah tirus, hitam manis, kumis tipis, postur tubuh langsing dengan tinggi 169 cm berat 56 kg. Lebay, ceplas ceplos, agresif, humoris, antusias dan sedikit m***m. Kondisi Ekonomi keluarganya cukup sejahtera. Lebih makmur dari Ridho namun tidak semakmur Dendy. Bapaknya Fazal pegawai menengah di salah satu BUMN. Sementara ibunya seorang yang aktif dalam bisnis online dan kredit alat-alat rumah tangga untuk para tetangganya. Kedua kakak perempuan Fazal, kuliah dan tinggal di Dhogja. ^^^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN