Ada banyak rahasia yang semestinya tetap menjadi rahasia. Banyak pula skandal yang harus segera diungkap. Walau itu sebuah aib yang tak layak dipublish. Namun ketika beban itu sudah terasa makin menyesakan d**a, mau tidak mau semua harus dibuka agar terang benderang.
Problematika dan skandal hidup jangan dibiarkan berlarut-larut agar tak menjadi beban belenggu dan bumerang yang bisa menjadi batu sandungan penjegal indahnya masa depan.
Tak ada waktu untuk berdiam diri. Bukan saatnya hanya jadi penggembira. Dunia ini panggung sandiwara. Wajib berperan aktif dalam lakonnya masing-masing atau akan tertinggal dan tergilas selamanya.
Banyak jalan menuju Roma. Ada lebih dari 1001 cara untuk ke sana. Intuisi, kolaborasi, variasi dan harmonisasi tentu diperlukan agar tujuan hidup makin hidup. Mulai dari sekarang. Mulai dari diri sendiri dan mulai dari hal kecil sesuai kemampuan.
^^^
Siang itu, terik matahari yang sedang ganas tiba-tiba meredup. Terhalang awan hitam yang tebal dan berarak. Langit seketika mendung. Seluruh bumi seakan mewakili perasaan hati seorang remaja yang sedang melaju di atas motor matic tua.
Waktu pada jam tangannya menunjukan pukul 13.35 WIB. Namun, keadaan hari seperti menjelang maghrib.
Perubahan alam yang dramatis tak sedikitpun menyurutkan tekad sorang remaja berseragam putih abu-abu untuk terus memacu kuda besi kesayangannya menuju sebuah kawasan yang sudah sangat dia kenali.
"Gua anak sulung. Hari ini dan seterusnya harus jadi panutan dan pengayom adik-adik. Mereka harus bangga pada gua yang telah berani berbuat dan bertanggung jawab." Pengendata matic itu kembali mem-baja-kan tekadnya.
"Tak boleh lagi keluarga gua menderita hanya karena gua tidak berbuat apa-apa. Detik ini juga semua harus dimulai. Atau tidak sama sekali!" lanjutnya dengan tatapan mata elangnya.
Setelah berbelok sekian derajat memotong jalan ke sisi samping kiri, dia yang menutup seluruh kepala dan wajahnya dengan helm full face, terus menarik gas motornya memasuki kompleks perumahan elite yang paling terkenal di kotanya.
Setelah melewati pos penjagaan pertama, selanjutnya dia akan mengikuti prosedur pemeriksaan keamanan pada pos kedua.
Pemeriksaan yang lebih ketat. Untungnya para petugas di pos berikutnya jauh lebih friendly, humanis dan menyegarkan pandangan mata setiap laki-laki.
Berbanding terbalik dengan pos pertama. Walau prosedurnya tidak terlalu ketat, namun suasananya kaku, gersang dan tak bisa cuci mata.
Remaja yang baru beberapa minggu berusia 18 tahun itu harus sedikit menurunkan ego dan meningkatkan kesabarannya.
Di pos pemeriksaan kedua, selain wajib menunjukan guest card yang didapat dari pos pertama juga wajib menunjukan kartu identitas, nomor handphone, mengisi dan mendatangani form yang berisi berbagai syarat dan ketentuan.
Setelah itu dia masih harus menunggu konfirmasi dari Tuan Ruma, .diterima atau tidak.
"Ridho Fuad Kurniawan, silahkan isi dulu buku tamunya," saran seorang petugas yang wajah cantiknya dibingkai kerudung hitam. Melengkapi anggun dan gagahnya seragam security yang dikenakannya. Dia berbicara sambil membaca kartu pelajar yang baru saja disodorkan remaja tampan itu.
Tanpa menunda waktu, dengan berdiri dan sedikit membungkukkan badan, remaja itu mengisi form yang terbentang di depannya. Remaja itu mengisis bisodatanya dengan sedikit terburu-buru didesak cahaya langit yang mendung dan makin menghitam.
Tampaknya alam sudah tak sabar ingin segera membasahi bumi Kota Hujan yang sama sekali tidak gersang.
'Jadi horang kaya ternyata ribet. Mau nerima tamu aja seperti akan kedatangan penjahat tingkat dewa. Padahal gua datang dengan niat sangat baik, pakaian rapi, wajah ganteng walau badan gua sedikit bau keringat, hihihi.' Remaja itu terkekeh dalam hati. Menertawakan dirinya.
Sebenarnya andai tidak diburu waktu. Meluangkan waktu menunggu lebih lama, tentu tidak masalah bagi remaja keturunan Arab Sunda itu. Dia justru akan leluasa menikmati kecantikan petugas yang berparas cantik, ramah dan bersahabat laksana seorang model atau sekurang-kuranganya SPG. Namun saat ini sedang berbeda cuacanya. Langit semakin mendung dan kelam.
'Mungkin hanya gua, cucu yang mau nemui neneknya wajib mengajukan permohonan terlebih dulu. Itu pun belum tentu disetujui. Dunia oh dunia. Kamu terkadang lucu menggemaskan, namun kadang membuat hati terluka bagai disayat sembilu, hehehe.' Kembali lelaki muda itu mentertawakan nasib tragisnya.
Sesaat setelah mengisi form itu, hati sang jejaka tiba-tiba berdebar dan berharap-harap cemas. Berharap tidak ditolak lagi karena jika itu terjadi, maka hilanglah kesempatannya untuk bisa bertemu ayahnya.
'Semoga hati dan jiwa nenek tiriku sedang dihinggapi Malaikat atau setidaknya Ibu Fery yang baik hati, amin.' lanjutnya berdoa dalam hati.
"De Ridho sudah pernah bertamu sebelumnya ke rumah Nyonya Soraya?" tanya petugas cantik itu seraya membaca form yang baru saja diisi oleh remaja yang dia sebut De Ridho.
Ridho pun mengangguk. Sebenarnya petugas yang di d**a kirinya tersemat nama Susanti Sofia itu, tak perlu bertanya lagi karena di form isian semuanya sudah tertera.
"Kira-kira berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk bertamu dengan Nyonya Soraya?" tanya Susanti dengan diiringi senyum manis dan tatapan lembut.
Ridho bingung. Dia tak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk bertemu dengan nenek tirinya.
Andai dalam situasi normal dan nenek tirinya berbaik hati, tentu Ridho tak keberatan jika harus ngobrol panjang lebar dengan waktu yang tak terbatas. Tapi, jika nenek tirinya sedang kumat dan hatinya dirasuki iblis, satu detik pun pasti terasa sangat lama dan menyiksa.
"Sepuluh atau dua puluh menitan, Bu.” Ridho garuk-garuk kepala, ”ya, kurang lebih segitu," lanjutnya tak yakin, tagannya tak berhenti menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.
"Panggil Kakak atau Susanti aja. Usia kita hanya terpaut 6 tahun aja, kok." Susanti kembali mengumbar senyumnya.
"Siap, Kak!" Ridho menganggukkan kembali kepalanya.
"Oke tunggu sebentar, ya! Nyonya Soraya sedang mengatur schedule-nya. Silakan duduk dulu!" tawar wanita ramah dan bersahabat itu dengan senyuman yang selalu terbit dari bibirnya yang tidak mungil. Senyum yang cukup memesonakan dan memanjakan tatapan para pria.
'Wow! mau ketemu cucu, bahkan time schedule-nya pun wajib diatur dulu. Gila! Cucu yang lain mah bebas main di rumah neneknya. Bahkan tak sedikit yang tinggal bersama. Nah gua? oh my God!' Ridho ngedumel dalam hati sambil menjatuhkan pantatnya pada kursi chitose yang tersedia.
"De, Nyonya Soraya hanya punya waktu 9 menit untuk menerima tamu. Waktu dihitung sejak tamunya memijat bel pintu gerbang." Susanti kembali bicara setelah membaca pesan singkat di layar ponselnya.
"Siap!" Ridho segera berdiri dengan sikap sempurna, laksana pemimpin upacara.
"Terima kasih atas bantuannya, Kak," lanjutnya sambil menyalami Susanti.
Senyum balasan yang tak kalah manisnya terbit dari bibir Ridho. Wajah sang remaja kini lebih semringah dan cerah. Sangat kontras dengan cuaca alam yang kian mendung diselimuti awan hitam yang berarak.
"Maaf, apakah Ade putranya Pak Fuad?" Susanti bertanya seraya melekatkan pandangannya. Meneliti inci demi inci sekujur tubuh Ridho dari atas hingga lantai yang diinjaknya. Dahinya pun seketika berkerut.
"Betul. Mirip ya, Kak? hehehe." Ridho menjawab ringan dan santai. Dia bahkan sudah bisa membaca isi hati Susanti. Pertanyaan yang sama telah beberapa kali terlontar dari petugas lain saat kunjungan terdahulunya.
"Yes!" Susanti antusias. "Andai usia kalian sebaya, pasti banyak yang menduga kalian kembar identik. Tapi..." Susanti tidak melanjutkan ucapannya.
"Kenapa ada tapinya, Kak?" Ridho tetap bersikap santai walau hatinya mulai diliputi rasa penasaran akan kelanjutan ucapan Susanti.
"Kenapa mesti pakai guest card? bukankah bisa langsung masuk dengan kartu family? Masa mau ke ketemu nenek sendiri harus pakai kartu tamu?" Susanti kembali mengernyitkan dahi. Heran. Pandangannya kian terfokus pada wajah Ridho.
"Saya cucu tiri yang spesial, jadi harus pakai guest card, hehehe." Jawaban yang sama pernah Ridho berikan juga pada petugas lain yang beberapa waktu lalu sempat bertanya hal yang sama.
"Oh iya Kak, takut keburu ujan nih. Maaf, saya pamit dulu mau segera ke rumah nenek." Ridho bicara seraya mundur.
"Silakan!" Susanti tersenyum manis mengantar Ridho yang keluar dari pos lalu naik kembali ke atas motornya yang terparkie di samping pos penjagaan.
‘Walau hanya sekilas, siapapun akan tahu kalau Ridho anaknya Pak Fuad. Memang lebih cakep Ridho sih, mungkin karena masih muda.’ Susanti bermonolog saat Ridho sudah menghidupkan kembali mesin motornya.
"Pak Fuad pun pasti sama gantengnya waktu seusia Ridho. Tapi ada apa dengan Ridho? Mengapa dia tidak memiliki family card?" Mata Susanti terus fokus memandangi foto Ridho pada Kartu pelajar yang dipegangnya.
"Apa yang sesungguhnya yang terjadi dengan keluarga mereka? Siapa wanita yang sering dibawa Pak Fuad berkunjung ke rumah ibu tirinya?" Susanti masih mengernyitkan dahinya, mencoba menebak-nebak.
"Aku harus bisa menggali info penting ini dari mulut Ridho sendiri. Uuuh... wanita memang tak pernah mau ketinggalan kalau urusan gosip panas terkini, hihihi." Susanti terkekeh seraya melonggarkan kerudung hitam yang terasa sedikit mencekik lehernya.