“Uumm, gimana keadaan ibuk?” tanya Galins, melirik Tata sebentar.
Tata mengangguk samar. “Udah dioperasi, tinggal nunggu perkembangannya.”
“Semoga cepat pulih dan sehat kembali.”
Tata melirik Galis dengan senyum tipis. “Aamiin, makasih. Uumm, ibunya mas Galins gimana? Sudah sadar?”
“Udah tadi siang, tapi belum boleh minum atau makan. Jadi ya … begitu. Masih nunggu perintah dari dokter.”
Untuk sesaat mereka berdua saling diam, tak ada obrolan. Sampai mobil yang Galins bawa berhenti di lampu merah.
“Kamu kerja di mana?” tanya Galins, memulai obrolan lagi.
“Di pabrik garmen. Udah uumm, hampir tiga tahunan keknya.”
“Termasuk orang yang betah sama kerjaan ya.” Puji Galins, mulai menginjak gas lagi.
“Cuma tamatan SMA, mas. Mau kerja apa lagi kalo enggak di pabrik. Di pabrik pun kalau nggak banyak lemburan, gaji sebulan juga masih kurang buat hidup sebulan.” Tutur Tata yang emang kenyataan. “Kalo mas Galins?”
“Belum lama balik ke Indonesia. Baru … dua bulan sih. Mau mulai belajar gantiin usahanya mama.”
“Mamanya mas Galins buka usaha apa?” Tata nggak kepo sih sebenernya, tapi dari pada nggak ngomong, kan?
“Mama ada catering makanan sama rumah makan juga. Udah aa cabangnya sih. Lumayan rame, apa lagi sekarang mama lagi sakit begini. Terpaksa cateringnya tutup dulu karna yang ngurusin Cuma tangan kanan mama aja. Aku juga belum ngerti.”
“Memang papanya mas Galins nggak ikutan bantu?”
Galins menoleh, lalu tersenyum sampai tertawa kecil. “Papaku sibuk sama pekerjaannya sendiri. Dia nggak ada waktu ngurusin kerjaan mama.”
Tata jadi ikut tersenyum dengan kepala yang menggeleng. Melihat kehidupan yang seperti itu, seakan hidup di dunia ini hanya berperan mencari uang saja. Miris sekali, seperti tak ada waktu untuk keluarga.
Mungkin sekitar dua buluh menit, mobil yang Galins bawa berhenti di parkiran rumah sakit. Tata turun, begitu juga dengan dia yang turun dengan menenteng plastik putih belanjaannya tadi.
“Ibukmu ada di ruangan mana?” tanyanya sembari melangkah masuk melalui lorong samping rumah sakit.
“Ada di ruang Anisa. Mau ikut jenguk?” tanya Tata karna Galins seperti mengikuti.
“Umm, boleh?”
Tata mengangguk dengan senyum ramahnya. “Mari,” ajaknya.
Menaiki tangga yang didesain muter-muter, lalu memasuki lorong panjang. langkah kaki keduanya berhenti di depan pintu berwarna putih yang sedikit terbuka. Tata mendorong pintu, melangkah masuk yang tentu saja diikiti oleh Galins.
“Mas Galins,” sapa Dika, lalu menatap kakaknya yang terlihat dekat dengan Galins.
“Dik,” sapa Galins balik.
Galins melangkah mendekati ranjang, berdiri di samping kepala bu Ratih. Dia menatap wajah pucat yang seperti masih lelap tidur. Meneguk ludah mengingat bayangan bu Ratih yang jatuh masuk ke selokan kemarin pagi. Ya, memang dia yang salah, dan seharusnya dia yang bertanggung jawab.
“Kalau kalian butuh apa-apa, aku siap bantu.” Galins berucap, menatap Dika dan Tata bergantian. “Aku tau seperti apa perasaan kalian, karna liat mama yang terbaring dengan ringisan kesakitan, aku nggak tega banget.”
“Saling mendoakan saja, Mas. Kita dalam keadaan yang sama.” Balas Tata.
Galins hanya menunduk dengan tangan yang menekan ujung mata. “Yaudah, aku ke ruangan mama dulu ya.”
Tata mengangguk, melangkah mengikuti Galins. Cuma nganterin tamu aja, karna setelah Galins keluar dari ruangan, Tata kembali masuk dan duduk di sebelah Dika.
“Kok bisa barengan sama mas Galins, mbak?” tanya Dika, tentu saja kepo.
“Eh iya.” Tata beringsut, menghadap ke arah Dika. “Motorku tadi dibawa sama mas Rian.”
Cuma denger namanya disebut, kedua mata Dika langsung melebar.
“Tadi aku suruh dia balikin ke rumah. kamu pulang aja. besok harus sekolah, kan? Tadi aku udah masak nasi, besok kamu bikin mie goreng aja, atau goreng telur buat sarapan.” Tata membuka tas kecilnya, mengeluarkan selembar uang. “Nih, buat saku besok.”
Dika menunduk, menatap selembar uang sepuluh ribuan yang diulurkan kakaknya. Menerima uang itu lalu beranjak dari duduknya. Sempat menatap ke arah ranjang sebentar, lalu keluar dari ruang rawat.
**
Rian turun dari atas motor, melangkah masuk ke warungnya Desi.
“Des,” panggilnya.
“Iya,” jawaban dari dalam sana. Tak lama, Desi keluar dengan menggendong anaknya yang masih balita. “Eh, mas Rian.”
“Titip.” Rian menyerahkan kunci motor, menaruh di atas meja.
“Kunci motornya siapa, mas?” tanya Desi, membolak-balikkan kunci motor.
“Punya Tata, tapi jangan bilang ke orang-orang ya. Apa lagi ke ibuk atau istriku.”
Kedua mata Desi jadi membulat. “Lha, Tatanya kemana?”
“Dia di rumah sakit, nungguin ibunya,” jawab Rian santai. “Uumm, tadi abis pergi bareng aku, makanya motornya suruh bawa aku. Mau aku balikin ke rumahnya, rumahnya kosong nggak ada orang. Mau aku bawa pulang ke rumahku, sudah pasti istriku bakalan marah-marah. Jadi aku titipin ke kamu saja, ya. Eh iya, jangan cerita sama bude Esti juga. Bahaya nanti. Ya sudah, aku pulang dulu.”
Rian ngeloyor keluar dari warungnya Desi, menyisakan Desi yang melongo dengan keterkejutan luar biasa. Dia tuh kenal sama Tata sudah dari kecil. Dia juga tau kalau Tata dan Rian ini sempat pacaran dan berencana akan menikah. Tapi setau Desi, Tata nggak sampai gila seperti ini. Apa lagi sampai mau jadi selingkuhan Rian.
“Astagfirullah ….” Desi mendesah, memilih menyimpan kunci motor dan kembali masuk karna anaknya rewel minta susuu.
**
[kunci motormu aku titipkan di warungnya Desi. Motormu juga ada di sana.] send Foto copy.
Melihat chat yang dikirim sudah centang dua, Rian menghapus chat itu. Lalu menyimpan hapenya ke saku jaket. Melangkah dengan congkaknya menuju ke rumah milik kedua orang tuanya yang memang terlihat paling bagus di antara rumah-rumah para tetangga yang lain.
Rian mendesah saat melihat Wulan yang sudah berdiri di teras rumah. dia membuang muka dengan tangan yang memijit pelipis. “Bisa-bisanya aku dulu kepincut sama wanita galak seperti dia. Iya sih, masih cantik dan memang cantik kalau mukanya dandan terus seperti itu. Harusnya memang sebelum menikah, aku minta dia berdiri di depanku dengan muka asli, tanpa bedak. Astaga … perasaan dosaku nggak banyak, tapi kok dapat istri seperti ini sih. Ya Allah, aku salah apa coba? Aku sudah baik dan selalu hati-hati melangkah, tapi kok tetap saja dapat istri yang salah.”
Pelan Rian melangkah menuju ke halaman rumah. Membuka gerbang dan masuk tanpa peduli dengan muka Wulan yang seperti keluar api.
“Dari mana kamu, mas?” tanya Wulan, pasti saja nadanya kedengaran galak dan menantang.
Rian mendesah, membalas tatapan marah istrinya dengan tatapan yang teduh. “Baru pulang, Wul, kamu kok langsung nantang begini sih? Nggak suka, suami pulang?”
Wulan mendengus. “Kamu ambil uangku tanpa ijin. Itu yang nggak aku suka, mas.”
“Lho, uangmu itu juga uangku, Wul. Kamu nggak ungat, dulu pas nikah aku kasih kamu mahar berapa? Aku kasihnya lima puluh juga sama emas beberapa gram lho. Aku Cuma ambil uangmu segitu, itu nggak ada apa-apanya dibandingkan sama apa yang selama ini aku kasih ke kamu.” Rian membela diri.
“Mas, yang namanya mahar, itu udah jadi hakku. Memang selama ini kamu ngasih aku apa?” tanya Wulan, nadanya sedikit meninggi.
“Kamu tinggal di rumahku. Setiap hari kamu juga makan gratis di sini. Memang kamu pernah kerja bantuin bapak atau ibuk? Nyuci bajuku saja nggak pernah. Kamu duah mirip ratu si sini, Wul.”
“Lho, kamu yang ngajak aku tinggal di sini, mas. Istri kan memang harus ikut suaminya. Kalau kamu tinggal di sini, masa’ aku harus tinggal di kontrakan? Kamu ini gimana sih, mas?”
Perdebatan mereka terhenti saat sebuah motor gede berhenti di depan gerbang. Lalu Dika yang ngebonceng di belakang motor itu turun. Rian segera berlari menghampiri Dika sebelum Dika mengucapkan sesuatu.
“Motor mbak-mu ada di warungnya Desi. Ambil di sana.” Ngomongnya lirih, takut kalau istrinya dengar.
Tak mau berdebat, tak mau ikut campur, Dika memilih kembali naik ke boncengan motor Galan. “Cabut,” interupsi Dika.
“Jangan bilang kamu kasih uang itu ke Tata si wanita nggak laku itu ya, Mas!” teriak Wulan.
“Aku akan cari selingkuhan kalau kamu marah-marah terus dan nggak bisa berubah, Wul!” bentak Rian, mengancam. Lalu melangkah masuk ke dalam rumah sebelum Wulan membalas kalimatnya lagi.