“Mbak Tata kerja di pabrik garmen yang kanan jalan itu?” tanya Galan dengan masih memerhatikan cara Tata menyuapkan nasi ke mulut.
Tata mengangguk, tangannya kembali sibuk memilah sosis dan suwiran ayam di dalam sterofoam. “Yang pinggir jalan itu.”
“Iya lah, di pinggir jalan. Karna yang tengah-tengah itu hanya ada cinta di antara kita, heheh ….” sahut Galan cepat, lalu cowok itu nyengir ketika Tata menoleh menatap padanya.
Untung saja nasi di dalam mulut Tata sudah di telan, coba baru mau nelan, udah pasti dia keselek lagi. Mau ngomel tapi nih bocah kan nggak salah apa-apa, jadilah Tata hanya mendengus dan kembali memasukkan nasi ke mulut.
“Mbak Tata kerjanya kalo di pabrik ngapain? Jahit juga?” kembali pertanyaan dari Galan terdengar.
Lalu kepala yang rambutnya dicepol acak itu mengangguk lagi tanpa menatap ke arah Galan.
“Besok jahitin punyaku ya, mbak,” pinta Galan kemudian.
Kali ini Tata menoleh, terlihat jelas mulutnya sampai berhenti mengunyah karna ingin mendengar penuturan Galan selanjutnya.
“Jahitin hati kita, biar selalu jadi satu seumur hidup ini.” Kembali cowok itu nyengir dengan tangan yang membenarkan topi. “Mbak Tata cantik banget, pacaran yuk, mbak.”
Reflek Tata langsung memukul kepala yang di tutupi topi itu dengan kedua mata yang melotot. “Cckk! Masih kecil jadi playboy!”
Tata segera beranjak dari duduk setelah mengatakan itu. Melemparkan bekas makanannya ke dalam tempat sampah lalu melangkah kembali masuk ke dalam rumah sakit. Sementara Galan melangkah dengan santai di belakang Tata, lalu akan berhenti saat langkah kaki Tata juga berhenti.
“Kamu ngapain sih ngintil terus!?” risih juga si Tata dibuntuti sampai di depan ruang rawat ibunya.
“Karna gue bakalan jadi bayangan yang ngehapus semua jejak elo. Agar elo tetep fokus liat masa depan bareng gue. Nggak perlu lagi liatin jejak-jejak masa lalu,” jawab Galan tengil, lalu mengedipkan satu mata setelah mengatakan itu.
Satu tangan Tata mengepal dan terangkat menutupi mulut yang tertawa kecil. Awal ngomong sama Galan, semua bikin kesel, tapi saking keselnya, dia bisa ketawa juga. Nggak ngomong apa-apa, Cuma berdecak dan memilih membuka pintu ruangan.
Melihat pintu dibuka, Dika menoleh. Lalu mendesah kasar saat melihat Galan yang ikut masuk, ngintilin kakaknya. Dika sedikit bergeser, membiarkan Tata duduk di sofa sebelah kanannya, lalu Galan mengambil duduk di sofa sebelah kirinya.
“Udah makan, mbak?” tanya Dika, melirik ke arah kakaknya yang fokus melihat sang ibu di ranjang yang ada di depan mereka.
Tata hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara.
“Eh, udah baca grup?” Dika menepuk kaki Galan.
Cowok yang memakai topi terbalik itu menaikkan satu alis dengan gelengan kepala. “Gue dari tadi nemenin mbak Tata, jadi belom pegang hape.”
Dika berdecak, mengusap layar ponselnya. “Gendis adain pesta ultah di rumahnya. Dua hari lagi.”
“Pesta apaan?” tanya Galan yang sudah menjatuhkan punggung ke sandaran sofa belakang.
“Bakar ayam keknya,” jawab Galan, ikutan jatuhin punggung. “Apaan sih!?!” kesalnya saat lengannya ditarik Galan, diminta untuk menegak lagi.
“Lo kek belek yang ngehalangi gue natap pelangi di malam hari!” lalu tersenyum saat di sebelah sana Tata menoleh padanya.
Reflek tangan Dika mendarat di kepala Galan, mentonyor cowok itu. “Setan emang!” umpatnya, tapi dia juga nurut aja, duduk menegak sembari mengusap-usap ponsel lagi.
“Mba—”
“Eh, besok bawa kado apaan?” layangan pertanyaan Dika membuat mulut Galan yang udah mangap mau ngomong itu jadi mendesah.
“Beli istimiwi noh, serebu dapat dua, di buntel koran di selipin di kado-kado yang lain,” jawab Galan ngasal dengan muka kesel.
Dika langsung tertawa, kembali dia mentonyor kepala Galan. “Lo kira apaan sih, masa’ kasih jajanan limaratusan sih! Emang dia dora, yang tiap hari nanyain peta!?”
“Beliin dia komo aja, itu di dalam suka ada hadiahnya. Kali aja pas Gendis buka, ntar nemu duit seratus rebu di lipat di dalam kemasan.” Usul Galan yang kedua.
Kembali Dika tertawa dengan suara lirih. “Yang sering ada hadiahnya, bukannya tiara ya?”
Galan menggeleng males. “Yang jelas gue kapok jajan istimiwi. Gigi gue sakit gara-gara makan tuh patung yang dicampur di dalam kemasan.”
Dika sampai membekap mulut untuk menahan tawa yang beneran pengen dia semburin. Dia ingat saat itu Galan sampai dua hari nggak cerewet karna gusinya jadi sakit perkara jajanan cilik itu.
Mendengar obrolan nggak mutu Galan dan Dika, Tata menunduk. Tertawa dalam batin. Sekarang pikirannya sedang penuh oleh ibunya yang entah keadaannya setelah ini akan bagaimana. Tetapi ada sedikit kelegaan karna operasi lancar dan tinggal menunggu bu Ratih sadar. Namun, setelah ibunya sadar, perjanjian yang sudah ia tanda tangani sangat jelas menginginkannya untuk langsung menikah dengan Rian. Jadi … dia harus berdoa yang gimana?
**
Dika mengulurkan kunci motor dengan satu tangan yang mengacak rambut. Ada percikan air yang mencuat dari rambut basah itu, bisa dipastikan jika cowok berambut cepak ini baru saja selesai mandi.
Tata menengadah, menerima kunci motornya, lalu beranjak dari duduk. “Tadi dokter udah datang. Kalau ibuk sadar, kamu langsung panggil aja suster jaganya.” Pesannya sebelum melangkah pergi.
“Mbak Tata nggak mau diantar aja?” tawar si Galan yang memang sejak tadi menemani Tata di dalam ruang rawat bu Ratih.
Kedua mata Tata mendekik, dia mengangkat tangan yang memegang kunci motor. “Bukannya kamu di sini nungguin mamamu?”
“Kan ada mas Galins yang jagain mama. Jatah gue ntar nginep sini, nungguin mama sampai pagi.” Galan berdiri, dengan sangat sengaja dia menginjak kaki Dika yang duduk di sofa mengusap-usap layar ponsel. Yang jelas nih bocah ngasih kode.
Dika hampir saja berteriak kalau nggak liat tangan Galan yang bergerak meliuk-liuk kek angin torpedo. “Mending dianterin Galan deh, mbak.”
Mendengar ucapan Dika, Tata yang memunguti sampah bekas makanannya tadi jadi menoleh dengan sati alis yang terangkat. “Ngapain?”
Dika menggaruk kepala bagian belakang. “Ya … ya biar nggak sendirian.”
“Aku udah biasa kemana-mana sendirian. Yaudah, aku balik ya.” Pamit Tata.
Melihat Tata yang sudah melangkah dan membuka pintu, Galan menepuk bahu Dika cukup kencang. Sampai membuat cowok itu meringis karna rasa panas akibat tangan Galan.
“Aaggh, bangsad! Sakit, anjiir!” umpatnya, membalas memukul kaki Galan.
“Lo kek nggak ada kata lain, sih! Otak lo emang kesumpal.” Maki Galan yang kesel karna nggak berhasil bujuk Tata buat dianterin.
“Lo udah temenin mbak Tata dari tadi, kan? Sampe harus usir gue pulang Cuma demi kalian ngobrol berdua. Masih kurang? Balik sono, temenin nyokap lo aja!” usir Dika yang kesel sama sahabatnya ini.
“Eh, bedewe, mbak Tata galak juga ya.”
Dika menyunggingkan senyum, melirik Galan sebentar. “Baru tau kan, lo!” balasnya, mentornyor sisi kepala Galan yang tertutup topi. “Mikir ulang ya, kalo mau jadi abang ipar gue!”
“Cckk, tapi mending juga mbak Tata, dari pada Si Mutia. Yang galak begitu, justru bikin makin penasaran.” Galan memasukkan ponselnya ke saku celana, lalu beranjak dari duduknya. “Gue balik ke ruangannya mama ya.” Pamitnya, dan tanpa menunggu jawaban Dika, Galan keluar dari sana.
**
Kurang lebih lima belas menit Tata sudah sampai di depan rumah. segera dia turun dari atas motor setelah mesin motornya mati. Masuk ke dalam rumah yang seluruh lampunya sudah dinyalakan oleh Dika tadi. Masuk ke kamar mandi, karena tujuan utama pulang memang untuk mandi dan berganti pakaian yang sejak pagi masih nempel di tubuhnya. Namun, sweater yang belum lama lepas dari tubuhnya itu kembali ia pakai setelah melihat shampoonya habis.
Tata kembali menaiki motor untuk pergi ke warung yang sebenarnya tak terlalu jauh. Sekitar tiga menit, Tata berhenti di depan warung. Langsung masuk dan mengambil shampoo yang dia mau.
“Ta,” sapa Desi, si pemilik toko. “Gimana keadaan bude Ratih?”
Tata meletakkan shampoonya di meja depan Desi. “Udah selesai operasi.”
“Ya Allah, jatuhnya parah berarti ya. Sampai harus dioperasi segala.” Desi memasukkan shampoo Tata ke dalam plastik. Mengambil uang lima ribuan yang Tata ulurkan. “Sekarang yang nemenin bude siapa? Dika?”
Tata mengangguk, menerima uang kembalian dan mengambil plastik kecil berisi belanjaannya. “Makasih ya, Des. Aku mau mandi, dari pagi belum mandi.”
“Iya, Ta, semoga bude cepat pulih ya. Terus cepat dibawa pulang juga.”
“Aamiin,” sahut Tata, lalu segera keluar dari warung.
Begitu ada di luar warung Tata langsung membuang muka melihat Rian yang baru saja mematikan mesin motor. Apa lagi melihat lelaki itu langsung tersenyum sok manis padanya. Dia muak!
“Ta, beli apa?” tanya Rian, sok peduli.
Tak menjawab, Tata berlalu begitu saja tanpa menatap sedikit pun. dia segera menaiki motor, tapi kunci motor yang sejak tadi tak ia cabut itu telah di rebut Rian lebih dulu. Tata melotot dengan tangan yang menengadah. “Balikin!” pintanya galak.
Rian mendesah panjang, terlihat sampai kedua bahu itu melemah. “Kamu kenapa masih galak begini sih, Ta?” keluhnya, wajahnya terlihat paling menderita. “Aku kangen sama tatapan kamu yang selalu ada cinta buat aku. Padahal aku udah bantuin kamu, kan? Tapi kenapa kamu masih seperti ini? Aku harus gimana lagi?”
Tata memejam, menarik nafas dalam lalu membuangnya dengan kasar. Sangat berharap dia tak menendang Rian di sini. Cukup terkejut ketika membuka mata, justru wajah Rian berada tepat di depan wajahnya dengan jarak yang begitu dekat. “Mas, kamu—”
“Aku tau, kamu menjadi seperti ini karena cemburu melihat aku sama Wulan. Aku janji, setelah kita menikah nanti, aku akan lebih banyak habisin waktu sama kamu.” Ngomongnya tak terlalu keras, tentu tak mau ada orang lain yang mendengar tentang ini.
Kedua mata Tata semakin melebar, dia merebut kunci yang ada di genggaman Rian dengan paksa. “Aku tak pernah cemburu, aku—”
“Eh, kalian ngapain?” Bu Esti menyepatkan langkah, lalu berdiri di samping motor Tata. “Rian ini udah punya istri, Ta. Mbok ya jangan gangguin suami orang. Kalian ini kan Cuma mantan, kudu legowo kalo memang takdirmu jagain jodohnya Wulan. Kok malah pegang-pegang tangan Rian segala! Nggak bisa mop on? Makanya masih ngejar-ngejar Rian?”
Tata tertawa miring, menatap Rian penuh kebencian. “Amit-amit!” langsung memutar kunci dan segera melajukan motor cepat meninggalkan warungnya Desi.
Bu Esti sampai memiringkan tubuh hanya untuk melihat b****g motor Tata yang menjauh. “Ati-ati lho, Yan. Dia bisa aja racuni pikiran kamu buat nyerongin Wulan.” Ngomongnya, menuding ke wajah Rian.
Rian hanya tersenyum kalem. “Saya ini setia lho, Bulek. Nggak bakalan mempan.”
Dengan begitu yakin bu Esti mengangguk. “Dia sama Wulan jelas beda. Bulek juga percaya kalo kamu enggak katarak.”