BAB 13. Dua Pria Tampan Mengawal Brankar

1144 Kata
Vince menurunkan Zara dengan hati-hati ketika sudah sampai di samping pintu mobil. Zara tampak ragu-ragu. “Umm … nanti mobil Bapak kotor. Badanku masih sangat kotor ini.” “Nggak apa-apa. Nanti mobilku dicuci sepulang dari sini.” Zara mengangguk pelan. Namun dia membersihkan dulu badannya sekali lagi sebelum kemudian masuk ke mobil. Vince juga masuk ke mobil. Karena Zara tampak ragu untuk memegang seatbelt, maka Vince berinisiatif yang memakaikannya. Zara sampai mundur menekan sandaran kursi supaya dadanya tidak tersentuh lagi untuk yang kedua kali. Aroma maskulin dari parfum mahal Vince lagi-lagi menggoda indera penciuman Zara. Kemudian dia melihat pada dirinya sendiri yang tampak kacau. Pandangan Zara langsung melengos ke arah kaca di sampingnya. Dia merasa begitu berantakan dibandingkan dengan penampilan Vince yang masih sangat rapi. “Zara, kita lansung ke rumah sakit, ya.” Vince begitu fokus menyetir, dia sengaja menambah kecepatan. Dia khawatir kaki Zara akan semakin sakit jika tidak cepat ditangani. “Umm … tapi sepertinya aku cuma memar biasa, Pak. Yang aku butuhkan sekarang hanya mandi dan berganti pakaian, setelah itu pakai gel untuk memar dan beristirahat.” “Tidak, Zara! Yang kamu butuhkan sekarang adalah dokter dan obat. Soal bajumu yang kotor itu gampang saja, kita beli dulu nanti sebelum sampai ke rumah sakit. Jadi nanti suster bisa membantumu berganti pakaian.” “Huffttt.” Zara tidak emmbantah lagi, dia hanya menarik napas dalam-dalam. Pikirnya percuma juga membantah sang bos yang sangat keras kepala ini. Sesampainya di rumah sakit, Vince langsung melaju hingga ke depan ruang UGD. Seorang petugas keamanan dengan sigap mendorong brankar menuju ke pintu mobil. Seorang petugas lainnya yang melihat langsung mengikuti untuk membantu. “Saya bantu angkat pasiennya, Pak,” ucap petugas yang pertama begitu melihat Vince turun dari mobil. “Tidak apa, saya bisa sendiri mengangkatnya. Hanya tolong siapkan bed-nya saja,” jawab Vince lalu dia benar-benar mengangkat Zara sendirian. Begitu hati-hati sampai Zara diletakkan di atas brankar dorong. “Aduh!” keluh Zara ketika kakinya yang sakit tidak sengaja tersentuh besi pinggiran brankar. “Tolong bawa dengan hati-hati, Pak!” Vince sangat khawatir. Dia terus mengikuti hingga masuk ke dalam ruang UGD. Zara segera mendapat perawatan intensif. Selain kakinya yang diobati, Zara juga minum obat anti nyeri. Mungkin karena lelah bercampur pengaruh obat, tidak lama setelah kakinya selesai diberi penanganan pertama, Zara tertidur dengan lelap. Vince sempat memandangi wajah cantik Zara kemudian tersenyum, sebelum akhirnya dia keluar dari UGD lalu melajukan mobil keluar dari kawasan rumah sakit. Vince sempat melihat tadi melewati sebuah butik tidak jauh dari rumah sakit. Tadi dia sengaja tidak berhenti karena pikirnya sudah mau dekat ke rumah sakit. “Mbak, tolong beri beberapa optional untuk pakaian casual wanita, ahh … masih muda. Pelayan butik tersebut mengiyakan. Tidak lama kemudian dia telah membawa lima outfit casual wanita, lengkap hingga sepatu dan tas yang cocok dengan masing-masing pakain tersebut. Vince segera memilih dua pasang pakaian wanita casual dengan model simpel tapi memiliki bahan yang nyaman berkualitas. Setelah itu Vince langsung kembali ke rumah sakit, ke ruang UGD. Dia memberikan pakaian tersebut pada seorang perawat wanita, dan meminta bantuannya untuk mengganti pakaian Zara yang kotor. Kemudian Vince juga mengurus kamar inap VVIP untuk Zara. Dokter jaga mengatakan jika Zara sudah bisa dipindah ke kamar rawat. Zara masih di UGD ketika Vince melihat seorang pria berjalan tergesa mendekati pintu UGD. Vince yang sedang duduk di kursi panjang di luar ruang UGD langsung dapat mengenali siapa pria yang sudah siap menyerbu masuk ke ruang UGD tersebut. Dengan cepat Vince berdiri lalu berjalan ke tengah, untuk menghadang Glenn yang terlihat begitu cemas dari raut wajahnya. “Glenn!” Glenn sontak menghentikan langkah lalu menoleh pada adiknya yang sedang berjalan mendekat. Tanpa disangka Glenn langsung menarik kerah baju Vince begitu mereka berdua berdiri saling berhadapan. “Kamu apakan istriku? Kenapa Zara bisa tiba-tiba masuk ruang UGD?!” seru Glenn seraya menatap tajam sang adik. Tadi memang Vince sempat menjawab panggilan telepon di handphone Zara. Glenn yang menghubungi dan mencari Zara, entah ada keperluan apa Vince tidak sempat menanyakan. Glenn langsung menutup sambungan telepon setelah mendengar Zara sedang di rumah sakit karena kakinya memar sehabis terjatuh. Kening Vince mengernyit. “Istrimu? Hei! Zara itu hanya istri palsumu, ya! Ingat itu, Glenn!” Vince menepis tangan Glenn dengan kencang hingga cengkeramannya terlepas. Segera Vince merapikan kerah kemejanya. “Ahh terserah saja! Sekarang bagaimana kondisi Zara?” Glenn balas menatap lekat-lekat pada sang adik. “Jangan khawatir, sebentar lagi Zara akan dipindahkan ke ruang rawat inap VVIP,” jelas Vince apa adanya. Glenn sempat menghela napas lega. Pikirnya, jika sudah akan dipindahkan ke kamar inap itu berarti kondisinya tidak kritis. Memang hanya Glenn saja yang tadi tiba-tiba langsung terpikir hal buruk ketika mendapat kabar Zara di UGD. Padahal dia belum menanyakan kronologisnya secara jelas. Brankar Zara didorong keluar ruang UGD oleh dua orang perawat. Kening Zara langsung mengernyit keheranan ketika dia melihat dua pria tampan bertubuh tinggi atletis, telah menunggunya di depan ruang UGD. Sampai-sampai dua perawat yang mendorong brankar ikut keheranan melihat dua pangeran tampan tersebut. Pasalnya keduanya sama-sama sigap berjalan di sisi kanan dan kiri brankar. Perawat tersebut bertanya-tanya, yang mana kekasih dari pasien ini? Dua orang pria tampan itu begitu mirip. Ataukah mereka berdua adalah kakak laki-laki dari pasien ini? “Vince? Glenn?” Terdengar suara Zara yang pelan. Sudut bibir Vince terangkat membentuk bulan sabit. Dia tersenyum karena merasa senang. Sebab namanya yang dipanggil lebih dulu ketimbang Glenn. Setelah Zara dibaringkan di kamar inap yang sangat nyaman itu dan dipasangkan selang infus, kedua perawat pamit ke luar ruangan. Glenn langsung berdiri di samping bed pasien dan memandang sendu pada Zara yang justru tampak canggung. Lalu Glenn beralih memandang kaki kanan Zara yang diperban. “Kaki kamu kenapa bisa sampai terluka begini, Sayang?” Suara bariton Glenn terdengar begitu lembut di telinga. Mendangar itu, sontak kedua bola mata Zara melotot galak. “Kan sudah aku bilang jangan pernah memanggilku lagi dengan sebutan ‘sayang’, Glenn!” semprot Zara dengan nyaring. “Ahh iya maaf, aku lupa. Aku hanya—” Glenn tidak melanjutkan kalimatnya karena melihat ekspresi wajah cantik Zara yang berubah tiba-tiba seperti seekor macan asia betina yang siap menerkamnya hidup-hidup. Sedangkan Vince yang sedang menyimpan baju kotor Zara pada lemari senyum-senyum sendiri melihat itu. “Hanya apa?! Kamu nggak boleh lupa! Aku nggak suka dipanggil sayang!” Zara begitu kesal karena tiba-tiba saja dia teringat saat Glenn mabuk dan hendak menciumnya waktu itu. “Hanya saja aku terbiasa memanggil sayang untuk wanita yang memang aku sayang. Itu normal kan, Sayang?” Napas Zara menderu menahan amarah. Kedua bola matanya mencari-cari sesuatu di sekitarnya. Vince cepat tanggap, dia segera memberikan sebuah botol air mineral yang masih penuh isinya ke tangan Zara. Tanpa pikir panjang, Zara langsung memukul lengan Glenn dengan botol tersebut, sekuat tenaga. “Aww!” Glenn mengusap lengannya seraya bola matanya mendelik tajam pada sang adik yang sedang tersenyum puas di seberang bed.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN