BAB 19. Kedatangan Stella

919 Kata
Stella Nicola kesal karena sang suami menolak diajak untuk menjenguk Zara lagi di mansion Glenn. Hendy memilih bertemu dengan teman-temannya sendiri. Akhirnya Stella memutuskan untuk ke rumah Glenn sendiri. Lagipula pikirnya besok dia sudah akan kembali ke London. Stella memang tidak bilang dulu kalau akan ke tempat Glenn, hanya saja dia sempat bertanya pada Vince lewat telepon, apa Zara sudah mulai bekerja hari ini. Stella sampai di mansion Glenn dengan membawa banyak sekali bahan makanan. Dia berencana ingin memasak bersama Zara. Dia memang sudah lama merindukan ingin masak berdua dengan menantu, sebab anak laki-laki tidak pernah mau diajak masuk dapur. Dua orang pelayan menghambur menghampiri Stella ketika melihat ibu dari bos mereka itu turun dari mobil dengan membawa beberapa kantong belanja. “Terima kasih,” ucap Stella dengan senyuman ramahnya. Kemudian memasuki mansion. “Silakan duduk, Nyonya Stella. Mau dibuatkan minuman dingin atau hangat?” “Minuman dingin boleh. Pasti segar siang-siang begini.” Kemudian dia duduk di sofa ruang tamu. “Oh ya, apa Zara ada di kamarnya? Atau lagi di mana, ya?” Pelayan yang sudah akan beranjak untuk membuat minuman, menghentikan langkah dan membalik badan. “Maaf Nyonya, tapi Nyonya Zara sedang pergi keluar.” Stella sontak menegakkan punggungnya. Kedua bola matanya membulat. “Zara keluar? Tapi pergi kemana? Memang kakinya sudah sembuh betul?” cecar Stella tidak sabar. Dia memang sengaja tidak mengabari Zara jika akan datang, karena yakin bahwa istri dari putranya itu tidak kemana-mana karena kakinya belum bisa berjalan normal. “Nyonya Zara memang tadi kelihatan jalannya masih pelan-pelan. Katanya akan ke supermarket, mau belanja.” Pelayan itu mengatakan sesuai dengan pesan dari Zara tadi. “Hemm? Ke supermarket? Ya sudah, biar saya telepon Zara.” “Baik, Nyonya.” Pelayan itu melanjutkan langkahnya menuju dapur. Stella langsung mengambil handphonenya dari dalam tas. Dia telah menyimpan nomor Zara. Tanpa membuang waktu, Stella langsung menghubungi Zara. Hanya dua kali nada panggil, sambungan itu dijawab oleh Zara. [Hallo?] Suara Zara terdengar tenang dan lembut di telinga. Dia juga telah menyimpan nomor sang ibu mertua. [Hallo, Zara? Kamu di mana? Kata pelayan di sini, kamu sedang ke supermarket? Bagaimana dengan kaki mu, Zara?] Zara tersenyum mendengar rentetan pertanyaan itu. Dia tidak terkejut sama sekali mendapat telepon dari sang ibu mertua. Bahkan dia sudah memperhitungkan bahwa Stella akan mendatanginya di mansion hari ini. Karena kemarin saat di rumah sakit sang ibu mertua sempat bilang bahwa besok akan menjenguknya lagi. Sebab lusa sudah akan kembali ke London. Maka saat ini, Zara tidak cemas sama sekali. Sebab dia sudah dalam perjalanan pulang ke mansion, dengan membawa satu kantong belanja yang cukup penuh isinya. [Ma, tenang saja, meskipun kaki ini belum bisa berjalan cepat, tapi sudah tidak terasa nyeri. Aku hanya keluar ke supermarket, ada yang harus dibeli.] [Oh ya ampun, Zara! Kamu kan bisa mneyuruh sopir dna pelayan di rumah untuk membeli keperluanmu, Sayang. Atau sekalian saja kamu suruh Glenn. Bagaimanapun segala keperluanmu adalah tanggung jawabnya!] Terdengar suara kekehan kecil Zara. [Nggak perlu, Ma. Lagipula aku memang ingin menghirup udara segar. Bosan juga kemarin dua hari di rumah sakit nggak bisa kemana-mana. Mama tenang saja, sebentar lagi aku sampai kok.] [Ohh oke, Zara. Kamu hati-hati, ya. Mama tunggu di sini.] [Ya, Ma. Sampai ketemu.] Sambungan telepon ditutup. Zara tersenyum tipis. Di sedang duduk manis di dalam taksi. Dengan tenang Zara menyandarkan punggungnya, hanya sekitar lima belas menit lagi dia akan sampai di mansion Glenn. Stella memilih naik ke lantai dua sambil menunggu menantu kesayangan datang. Dia tahu pintu kamar Glenn tidak pernah terkunci. Bahkan putra sulungnya itu kerap kali tidak menutup pintu kamar dengan rapat. Meskipun begitu, sejak dulu hanya Stella dan Vincent saja yang berani leluasa keluar masuk kamar Glenn. Tidak peduli berapa kalipun Glenn bilang kalau dia tidak wajib mengunci dan menutup pintu kamar. Hanya orang lain saja yang harus tahu diri untuk tidak memasuki kamarnya tanpa izin. Stella membuka pintu kamar Glenn, aroma parfum maskulin langsung terasa. Itu pasti sisa dari parfum yang dipakai Glenn tadi pagi saat akan berangkat kerja. Lalu dia menyalakan lampu. Terlihat dekorasi kamar yang sangat tertata rapi. Dan yang paling penting adalah juga sangat bersih. Glenn selalu memanggil pelayan setiap harinya untuk membersihkan, itulah salah satu waktu pelayan bisa naik ke lantai dua. Stella tersenyum. Dia kembali mematikan lampu kamar lalu menutup pintunya. Kemudian dia melirik pada satu kamar di ujung sana. Di dekat pintu keluar menuju kolam renang. Stella penasaran sekali. Pikirnya, itu pasti adalah kamar Zara. Dia melongok ke lantai satu, dilihatnya belum ada Zara datang. Maka Stella memberanikan diri untuk memasuki kamar Zara. Tangannya terulur untuk membuka handle pintu. Ternyata tidak dikunci. Pintu terbuka sedikit, Stella semakin mendorong pintu itu perlahan. Dia sudah akan menyalakan lampu kamar ketika mendengar suara yang tidak asing di bawah. Itu adalah suara Zara. Cepat-cepat Stella menutup pintu kembali. Namun tanpa menimbulkan suara gadus. Kemudian dia berjalan cepat menuju lantai bawah kembali. “Mama?” Ternyata Zara memang sedang berdiri di sana. Dia mendongak melihat ke arah anak tangga. “Oh hai, Sayang! Kamu sudah pulang. Mama menunggumu sejak tadi sampai merasa bosan. Dan berniat mau berenang di atas. Tapi Mama nggak bawa pakaian ganti. Untung saja Mama ingat sebelum melompat ke dalam kolam,” seloroh Stella untuk mencairkan suasana. Zara terkekeh kecil. “Yaa maaf, Ma. Aku memang butuh menghirup udara luar dan sekaligus butuh membeli beberapa barang pribadi.” Dia sengaja mengangkat kantong belanja, supaya sang mama melihat kalau dia memang habis berbelanja. “Oh ya, Ma. Aku bawa dulu belanjaan ku ini ke atas.” “Oke, Sayang.” “
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN