BAB 11. Masih Menjadi Misteri, Mimpi Atau Sengaja?

1045 Kata
“Pantai? Kok pantai, Pak?” Zara sungguh merasa aneh. Baru kali ini dia dengar mau meeting tapi tempatnya di pantai. “Yaa memangnya kenapa? Aku hanya mau meeting dengan suasana baru, supaya pikiran ini lebih fresh, otak juga bisa bekerja dengan santai tapi lancar. Besok-besok bisa jadi aku akan mengajak meeting di taman kota atau di bioskop,” jawab Vince dengan santai. “Hooo.” Zara melongo. Lalu dia kembali menatap lurus ke depan. Sedang tidak ingin berdebat meskipun dirinya masih sangat penasaran. Dua jam perjalanan, mereka benar-benar sampai di pantai.Vince memilih pantai yang tidak dibuka untuk umum. Tapi pantai privacy sebagai fasilitas sebuah hotel bintang lima. Berhubung di hari kerja, maka pantai itu semakin terlihat sepi. Pagi ini benar-benar hanya ada mereka berdua yang sedang berjalan menyusuri tepi pantai. “Pak, jadi kita mau meeting di mana?” tanya Zara lagi. Dia tidak membawa tas laptop dan tas berkas sebab Vince melarangnya tadi. Jadi Zara hanya membawa tas selempangnya saja. “Kita duduk di sana!” Vince menunjuk suatu tempat seperti sebuah gubug kecil. Zara mengikuti langkah Vince. Dia berharap secepatnya akan ada orang lain pengunjung pantai yang datang. Dia agak risih juga hanya berdua dengan Vince di pantai seluas ini. Di dalam gubug itu sudah ada tikar yang terbentang dan juga dua buah bantal dengan alas yang terbuat dari bahan kanvas. Zara masih celingukan melihat keadaan sekitar. Sepagi ini di pantai, seharusnya perasaan merasa bahagia karena menghirup udara pantai yang bersih, jauh dari polusi udara lalu lintas. Namun tidak berlaku bagi Zara saat ini, dia justru merasa canggung karena berduaan saja dengan pria sedingin kulkas ini. Zara tersentak ketika tiba-tiba Vince justru membaringkan tubuhnya di sampingnya. Kepalanya bertumpu pada salah satu bantal. “Umm … Pak Vince maaf, bukankah kita mau meeting, ya?” Vince hanya mengangguk pelan. “Ya tentu saja, tapi setelah aku tidur sebentar, ya. Mataku sangat mengantuk. Aku kurang tidur semalam.” “Loh! Tapi Pak, aku harus bagaimana ini menunggu Bapak tidur?” Pertanyaan Zara tidak dijawab. Gadis itu menunggu beberapa detik lalu dia mengeluh panjang karena tidak juga dijawab. “Huffttt! Pak! Pak Vince!” Zara memanggil beberapa kali tapi tidak juga dijawab. Kening Zara mengernyit. Dia bertanya dalam hati, apakah bos nya ini sudah benar-benar tidur? Zara tidak dapat memastikan sebab Vince tidak melepas kacamata hitamnya. Akhirnya Zara memutuskan untuk bermain handphone saja. Namun baru dua puluh menit, dia sudah merasa sangat bosan. Ingin berjalan-jalan sendirian di tepi pantai tapi baginya tidak cukup menarik. Sebab pantai ini begitu sepi. Zara menoleh ke samping. “Pak Vince,” panggilnya pelan. Zara memutar kedua bola matanya dengan malas sebab tidak ada jawaban. “Pak Vince!” panggilnya sekali lagi, kali ini lebih kencang. Namun tetap saja masih tidak ada jawaban. Zara penasaran. Dia meletakkan handphone di atas tikar. Kemudian mulai bergerak perlahan mendekati Vince. Zara sudah berlutut di samping tubuh Vince, kemudian dia mencondongkan tubuhnya ke depan. Sampai wajahnya tepat berada di atas wajah Vince. “Pak Vince, apa Bapak masih tidur? Ini sudah hampir tiga puluh menit,” bisik Zara. Tanpa disangka, tiba-tiba kedua tangan Vince terangkat lalu memeluk Zara dengan erat. Dan karena posisi Zara yang sedang condong ke depan, dia tidak ada pertahanan. “Ahh!” Gadis itu jatuh begitu saja di atas d**a Vince. Aroma maskulin semerbak menyerbu indera penciuman Zara. Untuk beberapa saat dia hanya terdiam mematung, begitu shock. Detik kemudian kedua tangannya langsung menekan d**a Vince sehingga dia bisa terlepas dari pelukan itu dan beringsut mundur. Vince seperti orang yang kaget. Dia langsung terduduk lalu membuka kacamata hitamnya. Kening Vince mengernyit dengan tatapan penuh tanda tanya pada Zara. “Kenapa Zara?” tanyanya seperti orang tak bersalah. Zara memindai Vince untuk beberapa detik. Dia sedang menerka-nerka apakah bos nya ini hanya sedang berpura-pura atau memang sedang bermimpi tadi. “Zara, kamu kenapa? Wajahmu tegang begitu? Dan … apa tadi kamu menekan d**a ku?” Vince mengusap dadanya perlahan. Zara mengusap wajahnya. “Pak, kita jadi meeting atau tidak sih ini?” Zara memutuskan tidak mau membahas soal pelukan tadi. Dia hanya ingin cepat-cepat meeting lalu kembali ke kantor. Sebab baginya percuma pergi ke pantai kalau ini bukanlah saatnya berlibur. Ingin lari-lari mengejar ombak pun tidak mungkin. Selain karena pakaiannya begitu formal, sungguh tidak nyaman bermain air bersama sang bos yang begitu kaku. Aneh sekali rasanya, pikir Zara. “Yahh oke. Tapi sebentar.” Vince tampak merogoh handphone dari saku celananya. Kemudian dia tampak sedang mengirim pesan. Setelah itu menyimpan kembali handphonenya. Vince mendongak dan menatap wajah Zara dengan begitu serius. “Zara, kenapa kita meeting hanya berdua. Sebab ini terkait rencana kunjungan ke kantor cabang di Bandung. Kita akan melakukan kunjungan sidak alias tiba-tiba. Tidak ada satupun karyawan di sana yang tahu tentang kunjungan ini, termasuk kepala cabangnya.” Zara mengangguk seraya dengan cepat mengeluarkan buku catatan kecil serta pulpen dari dalam tas selempangnya. Dia mencatat semua ucapan Vince yang dia anggap penting. Supaya tidak perlu bertanya lagi nantinya. “Minggu depan kita berangkat ke Bandung. Lebih tepatnya hari Senin pagi. Kita akan langsung menuju kantor cabang dan masuk ke ruang keuangan.” “Ohh.” Zara mengerucutkan bibirnya yang merah muda. “Umm maaf, Pak. Apakah ini berarti Bapak sedang mencurigai adanya penyelewengan keuangan di kantor cabang?” tanya Zara tanpa basa-basi. Vince tersenyum tipis. “Tepat sekali, Zara. Aku hanya sedang mencurigai saja. Berdasarkan laporan keuangan yang kupelajari betul-betul belakangan ini. Sedangkan seluruh staff audit pusat kan sedang sibuk persiapan stock opname gudang tekstil.” Zara mengangguk-angguk. Posisi tubuhnya begitu siap siaga, untuk mulai menulis lagi. Ketika tiba-tiba dua orang menghampiri gubug mereka. “Permisi, Pak Vince. Ini pesanannya.”Letakkan saja di sini.” Vince menepuk bagian tengah tikar. Zara tampak bingung tapi akhirnya dia mundur untuk memberi tempat bagi dua orang yang baru datang itu. Mereka berdua langsung sibuk meletakkan berbagai menu makanan dan juga minuman di tengah tikar. “Silakan dinikmati makanannya, Pak Vince dan istri … eh! Maaf … mungkin masih calon istri, ya?” ralat seorang di antaranya seraya menunjukkan gestur tubuh yang sopan. Bahkan keduanya saat akan beranjak dari sana mengangguk sopan seraya beringsut mundur hingga turun dari gubug. “Kamu dengar kan katanya tadi, silakan dinikmati, bukan silakan dilihatin saja,” sindir Vince pada Zara yang sempat terbengong dengan mulut sedikit terbuka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN