BAB 17. Dilema Glenn

1062 Kata
“Umm … ini … huffttt!” Zara mengusap wajahnya dengan pasrah. Sedangkan Vince langsung berdiri tegak. Tentu saja dia tidak mau terlihat oleh Glenn dalam posisi memalukan itu. Terjerembab di atas lantai. Glenn keluar dari kamar dengan hanya memakai celana boxernya saja. Menampilkan dadanya yang bidang berikut perut sispack yang sangat ideal. Glenn terdiam beberapa saat dengan hanya bergantian menatap antara Zara dan Vince. Kelihatan sekali raut wajahnya sangat kaget. “Siapa Sayang?” Seorang wanita membalut tubuhnya dengan selimut, tampak keluar dan berdiri tepat di belakang Glenn. Dia menatap Zara beberapa saat, lalu beralih menoleh pada Vince. Dan senyumnya langsung mengembang begitu melihat wajah Vince yang tidak kalah tampan dengan Glenn. “Dasar perempuan murahan!” umpat Zara dalam hati. Vince berdeham untuk mendominasi keadaan. “Maaf Glenn, tadi itu hanya tas Zara saja yang jatuh. Kebetulan tas-nya sudah duluan masuk kamar. Aku akan antarkan Zara ke kamar. Kalian silakan lanjutkan saja, jangan pedulikan kami.” Kemudian Vince mengulurkan tangan kanannya pada Zara. “Ayo Zara, berjalan saja pelan-pelan, tidak usah terburu-buru.” Zara melirik sebentar pada Glenn, kemudian entah kenapa dia langsung menerima uluran tangan Vince. Padahal jika dalam situasi normal, Zara jelas akan langsung menolak. Pandangan Glenn tidak lepas dari Zara dan Vince, sampai pintu kamar Zara terbuka di ujung sana. Glenn mneghela napas dalam, kemudian dia masuk ke kamar tanpa melirik sedikitpun pada wanita seksi berselimut yang terus saja menempel di punggungnya. Wanita teman kencan Glenn langsung menutup pintu kamar kembali, kali ini dengan rapat. Memang Glenn seringkali menutup pintu kamar dengan asal saja sebab tidak ada satupun pelayan yang akan naik ke atas tanpa seizinnya. Dia lupa kalau sekarang sudah ada Zara di lantai dua. Glenn masih terdiam mematung, dia berdiri menghadap ke arah kaca jendela yang menghubungkan dengan teras balkon. “Glenn.” Suara yang dibuat begitu seksi. Namun Glenn tidak menjawab sama sekali. Wanita itu menunggu, tapi tetap Glenn tidak menoleh sedikitpun. “Glenn!” panggilnya lagi, kali ini lebih kencang. “Hmm?” “Lihat sini dong, Sayang! Kamu lagi apa sih di sana? Sini dong!” Wanita itu berdiri di samping ranjang yang tadi sempat begitu panas. Dan dia menginginkannya kembali. Tadi itu sangat tanggung. “Huffttt!” Glenn akhirnya membalik badan. Dia tahu moodnya langsung berubah seperti ini bukanlah salah wanitanya. Tapi karena dirinya sendiri yang tiba-tiba hilang rasa. Wanita seksi itu langsung melempar selimut yang membelit tubuhnya hingga berserak di lantai. Tubuh seksinya hanya tinggal tertutup segitiga tipis bertali di bagian bawah. Sedangkan bagian atasnya benar-benar polos tak tertutup apapun. Biasanya Glenn pasti akan langsung menerkam mangsanya apalagi sengaja menggoda dengan pose meliuk-liuk seperti itu. Namun entah kenapa kali ini justru Glenn tidak bernafsu sama sekali melihatnya. “Kemarilah, Glenn … Sayang.” Kini sang wanita menjatuhkan diri di atas ranjang. Lalu tersenyum menggoda pada Glenn. Bahkan dengan begitu berani dia mulai membelai tubuhnya sendiri untuk menaikkan hasrat keduanya. Glenn mulai berjalan menghampiri. Wanita itu merasa rayuannya telah berhasil. Dia semakin b*******h karena tatapan Glenn begitu dalam, gerakannya pun semakin erotis di atas ranjang. Namun tanpa disangka sama sekali, begitu Glenn telah berdiri di samping ranjang, dia justru memungut pakaian si wanita dari atas lantai, kemudian mengulurkannya. “Pakailah!” “Hah?! A—apa maksudmu, Glenn? Ta—tapi ….” “Pakai bajumu dan pulanglah! Jangan khawatir, aku akan menghubungimu nanti.” Dengan kesal wanita itu merampas bajunya sendiri dari tangan Glenn. “Kamu kenapa sih, Glenn?! Apa karena perempuan tadi? Hah?! Siapa sih dia?” cecarnya dengan emosi tersulut di hati. Dia merasa sakit hati karena selama ini belum pernah diperlakukan seperti ini oleh Glenn. Hubungan keduanya sebagai sepasang kekasih atau lebih tepatnya disebut teman kencan memang baru berjalan empat bulan. Namun selama itu pula Glenn belum pernah menolak pesonanya meskipun dia hanya satu di antara deretan kekasih Glenn lainnya. “Pulanglah, Sayang. Maaf hari ini aku hanya sedang kurang enak badan. Bukan karena siapa-siapa. Percayalah, ya.” “Huh! Terserah!” Kekasih Glenn yang sangat marah itu telah selesai memakai bajunya dengan lengkap. Dia meraih tas selempang dari atas meja nakas. Kemudian berjalan cepat keluar dari kamar, tanpa menutup pintunya. Glenn menghela napas dalam. Dia duduk di tepian tempat tidur. Kemudian menjatuhkan badan di atas kasur. Menatap langit-langit kamar dengan corak awan biru. Hatinya tidak tenang sama sekali. Ini sudah yang kedua kali dirinya kepergok oleh Zara saat sedang bercinta dengan para kekasihnya. Dan ujung-ujungnya akan berakhir perasaan yang tidak nyaman seperti saat ini. Akibatnya mood Glenn akan langsung drop dan tidak ingin melanjutkan permainan sama sekali. Lebih tepatnya, hasratnya menjadi hilang seketika. “Apa Vince masih di sini?” desisnya pelan. Kemudian bangkit dan berjalan menuju pintu kamar. Dia keluar kemudian berjalan menuju kamar Zara di ujung lantai dua. Pintu kamar Zara tertutup rapat. Glenn ragu untuk mengetuk pintu kamar, tapi dia sangat penasaran. Rasa khawatirnya jika Vince ada di dalam kamar itu jauh lebih besar ketimbang rasa ragu itu sendiri. Akhirnya tangan kanan Glenn terulur lalu mulai mengetuk pintu kamar. Tidak ada jawaban dari dalam. Glenn kembali mengetuk, kali ini lebih kencang. Detik kemudian pintu kamar dibuka dari dalam, Zara berdiri di ambang pintu yang hanya dia buka selebar tubuhnya saja. Tanpa bertanya apapun, Glenn langsung melongok ke dalam kamar Zara. Sorot matanya memindai menyelidik. “Cari siapa sih?!” Zara ikut menoleh ke belakang. Celingukan apakah adsa yang aneh dengan kamarnya sehingga Glenn sampai datang kesini. Glenn berhenti melongok. Dia menatap lurus-lurus pada Zara. “Zara, apa Vince ada di dalam kamar?” “Hah?!” Kedua bola mata Zara membelalak. “Nggak salah pertanyaanmu, Glenn? Untuk apa Pak Vince masuk ke kamar ku? Jangan samakan aku dengan kelakuan mu yang m***m itu!” Zara benar-benar marah. Pacaran saja dia belum pernah, ditanya seperti itu baginya adalah menuduh. “Zara, maaf, bukan maksudku begitu, kamu jangan salah paham oke?! Aku hanya khawatir, takut kamu kenapa-napa? Itu saja. Kan … kamu istriku, Zara. Jadi yaa aku hanya nggak ingin ada pria lain masuk ke kamarmu. Walau itu hanya adik iparmu.” Bukannya membaik, emosi Zara justru semakin tinggi. “Glenn, kamu sudah lupa? Kita ini hanya menikah palsu! Sudah pergi sana, aku mau istirahat!” Glenn langsung mengangkat kedua tangannya sebagai tanda menyerah. “Oke Zara, aku akan pergi.” Namun baru dua langkah dia berjalan, sudah membalik badan lagi. “Zara, tapi tadi Vince mengantarkanmu sampai mana? Apa sampai di dalam kamar?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN