Bab 8: Makan Siang Bersama

1789 Kata
*** Jika sebelumnya Mary selalu antusias saat mengunjungi kediaman Hilton yang mewah dan megah, kali ini terasa berbeda. Ia menyadari ada sesuatu yang tidak nyaman di dalam hatinya ketika berada di tengah keluarga kekasihnya. Keluarga Nathan, yang sangat tulus dan ramah kepadanya, justru membuat Mary merasa bersalah. Dia merasa seperti seorang pengkhianat yang tidak pantas berada di sana. Meskipun tidak ada seorangpun yang tahu apa yang telah terjadi padanya, Mary merasa malu yang luar biasa. Ia merasa seolah-olah sedang ditelanjangi di depan banyak orang. Tak tahu harus berbuat apa, saat kakinya melangkah memasuki kediaman yang megah itu, dadanya berdebar-debar dan perasaan tidak nyaman semakin merayap, membuatnya gelisah. "Kamu kenapa, sayang?" tanya Nathan, yang menghentikan langkahnya dan menatap lekat-lekat pada Mary yang juga berhenti di sampingnya. Keningnya tampak berkerut, menunjukkan kebingungan atas reaksi kekasihnya yang ia sadari. "Hah..?" Mary terkejut oleh pertanyaan pria itu. Ia menatap Nathan sejenak sebelum mengalihkan pandangannya ke arah lain. Gelisah dan tidak nyaman terlihat jelas di wajahnya. "Kamu kenapa, aku tanya," ucap Nathan lembut sambil meraih pipi Mary. Ia mengulas senyum, berharap dapat menenangkan wanita itu. "Apa yang kamu pikirkan?" Mary menggelengkan kepala. "Tidak ada... Aku..." Ia terdiam sejenak, menelan saliva dengan kasar. "Aku tidak memikirkan apa-apa. Aku baik-baik saja." Ia kemudian mencoba mengulas senyum, meskipun terlihat dipaksakan. Nathan pun menyadari hal itu. "Iya... Aku baik-baik saja," tambahnya, meski hatinya bergetar. Nathan mengangguk pelan, mengusap lembut pipi mulus Mary sebelum menjauhkan tangannya. Ia menggenggam tangan Mary, menyatukan jari-jari mereka, lalu mengangkat tangan wanita itu ke bibirnya dan menciumnya dengan lembut. "Syukurlah kalau kamu baik-baik saja. Jangan ragu untuk mengatakannya padaku. Aku pasti akan mendengarkan apapun yang ingin kau sampaikan," ucap Nathan. Deg! Mary tertegun, merasakan getir di hati saat mendengar kata-kata Nathan. 'Apakah dia menyadari keanehanku? Apakah rasa takut yang menyelimutiku terlihat di matanya? Tuhan... Apa yang harus aku lakukan?' batinnya berbisik pilu. "Hei sayang..." seru Hannah, yang datang mendekat dengan senyum lebar menghiasi wajahnya, menatap Mary dan Nathan. Mary dan Nathan pun serentak menatap ke arah yang sama, tersenyum ketika melihat Hannah mendekat. "Aunty..." Mary membalas pelukan wanita paruh baya itu dengan erat dan hangat. "Akhirnya kalian datang juga," ucap Hannah setelah melepaskan pelukannya dari Mary. Ia menatap Mary dengan senyum penuh kasih sayang sebelum beralih pada ponakannya, Nathan. Sejenak, Hannah memperhatikan wajah Mary. Kerutan kecil tampak di keningnya ketika ia menyadari keadaan mata wanita itu. "Sayang, apakah kamu baik-baik saja?" tanyanya dengan suara penuh kekhawatiran. Nathan melirik sejenak pada Mary dan melihat betapa gugupnya wanita itu. "Matamu sembab. Kamu habis menangis? Kalian habis bertengkar, ya?" Cecar Hannah menatap keduanya bergantian, menciptakan suasana tegang. Nathan menarik napas dalam-dalam, lalu mengambil alih untuk menjawab pertanyaan bibi tercintanya. "Kami tidak bertengkar, Aunty... Kami baik-baik saja." "Tapi mata Mary terlihat sembab, seperti habis menangis," kata Hannah, masih tidak mau percaya begitu saja terhadap jawaban Nathan. "Iya, semalam dia menangis," ucap Nathan, membuat Mary sontak mengalihkan pandangannya padanya— menatap khawatir. Nathan melirik sejenak dengan senyuman, lalu beralih pada Hannah. "Terkadang aku bingung, mengapa wanita suka sekali menonton drama sampai membuat mereka menangis tidak jelas." Detik itu juga, Hannah pun melepaskan tawa, berpikir bahwa apa yang disampaikan Nathan adalah kenyataan. Tanpa mengetahui bahwa pria itu berbohong dan berusaha menutupi kebenaran darinya. Di sisi lain, Mary merasa lega. Ia khawatir Nathan akan menceritakan yang sesungguhnya kepada Hannah, dan ia belum siap jika harus didesak bercerita tentang apa yang telah menimpanya. "Namanya juga wanita, mereka juga butuh hiburan, sayang. Apalagi kalau prianya sibuk bekerja, kesepian. Ya sudah, daripada menghabiskan waktu dengan tidak jelas, mendingan nonton drama, kan?" Hannah menatap Mary dengan senyuman. Mary mengangguk pelan. "Ya, kamu benar, Aunty," jawabnya agak kikuk. "Ya sudah, ayo kita ke ruang keluarga. Sebentar lagi jam makan siang tiba. Kita tunggu Uncle Dominic selesai meeting di ruang kerjanya," ucap Hannah. Nathan mengerutkan keningnya. "Oh iya, tadi aku melihat mobil asing di depan. Mobil siapa itu?" tanyanya dengan penuh rasa penasaran. "Oh... Itu mobil—" Hannah belum sempat meneruskan jawabannya ketika tiba-tiba suara Dominic menggelegar di ruangan. "Uncle pikir kalian tidak akan datang karena akan makan siang di luar," seru Dominic sambil melangkah ringan ke arah mereka. Pria itu tidak sendirian; ia bersama Victor dan Olso. Hannah, Nathan, dan Mary kompak menatap ke arah Dominic. Hannah dan Nathan tampak biasa saja, menyambut Dominic dengan senyuman, namun tidak demikian dengan Mary. Wanita itu merasakan jantungnya berdegup kencang dan tubuhnya bergetar hebat ketika tatapannya bertemu dengan tatapan tajam Victor. 'D-Dia...?' pikir Mary dalam hati, diiringi dengan rasa ketakutan yang menyelimuti dirinya. Di sisi lain, Nathan tidak menyadari perubahan yang terjadi pada Mary, karena fokusnya teralihkan pada Dominic, menjawab pertanyaan pamannya bahwa ia dan Mary tentu saja memilih untuk makan siang bersama keluarga, daripada makan siang berdua. Waktu-waktu seperti ini sangat berharga bagi mereka. "Oh iya... Perkenalkan, dia Victor," ucap Dominic kepada Nathan, memperkenalkan Victor. "Kalau Olso, kamu pasti masih ingat siapa dia," tambahnya pelan. Dengan senyum ramah, Nathan mengulurkan tangan kanannya ke arah Victor, mengajak pria itu untuk bersalaman. "Senang berkenalan denganmu, Victor," ucapnya dengan nada ramah. Victor membalas dengan mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Nathan. Ia menatap dalam mata Nathan. "Terima kasih," balasnya singkat, dengan suara dingin yang jauh dari kata ramah seperti yang ditunjukkan oleh Nathan. Namun, hal itu tidak mengejutkan yang lain, karena mereka tahu bahwa begitulah karakter Victor. "Baiklah, kebetulan sekali aku sangat lapar," ucap Dominic setelah Victor dan Nathan melepaskan jabat tangan mereka. Ia melirik pada Hannah. "Apakah makan siang kita sudah siap, sayang?" tanyanya pada sang istri. "Ya, kebetulan sudah siap. Kalau begitu, mari kita ke meja makan langsung," ajak Hannah kepada mereka, lalu wanita paruh baya itu meraih lembut tangan Mary. "Ayo, sayang, kita ke meja makan." Mary mengangguk pelan, mencoba mengulas senyum di wajahnya yang terasa kaku. Ia melangkah lebih dulu bersama Hannah, sementara para pria menyusul di belakang mereka. Di dalam langkahnya, Victor terus menatap tajam punggung Mary. 'Bumi ini sungguh sempit,' batin Victor, penuh makna. Tiba di meja makan, Nathan sigap menarik salah satu kursi, mempersilakan Mary untuk duduk terlebih dahulu. Sementara itu, Victor mengambil posisi yang berseberangan dengan mereka, tepat berhadapan dengan Mary. Pria itu memperhatikan sikap manis dan lembut Nathan ketika memperlakukan Mary. "Terima kasih," ucap Mary, melirik sekilas pada Nathan. Pria itu membalas senyuman Mary dengan mengecup lembut atas kepalanya, tanpa menghiraukan kehadiran yang lain di sana. Bagi Dominic dan Hannah, perlakuan tersebut adalah hal yang biasa. Namun, masalahnya, di meja makan itu ada dua orang asing, yaitu Victor dan Olso. ‘Hem, si b******k Victor pasti panas hatinya,’ pikir Olso, menyunggingkan senyum puas ketika melihat Victor menyaksikan langsung bagaimana Mary diperlakukan lembut oleh kekasihnya. "Silakan, Victor, jangan sungkan," ucap Hannah, mempersilakan kedua pria itu untuk mengambil makanan. "Terima kasih, Nyonya Hilton," balas Victor dengan suara berat. Dengan refleks, Mary mengangkat wajahnya dan menatap ke arah Victor, merasakan debaran jantungnya yang semakin cepat. Suara berat pria itu seolah mengingatkannya pada kejadian kemarin. Ia menelan ludah dengan susah payah, berusaha cepat-cepat mengalihkan pandangannya ketika Victor menatapnya dengan tajam. "Makan sayur, hmm?" Nathan melirik pada Mary, dan wanita itu mengangguk. Ia pun sigap mengambil beberapa potong sayur untuk kekasihnya itu. "Mau ayam panggang atau yang bakar?" "Yang... yang bakar saja, s-sayang," jawab Mary dengan suara yang terbata-bata. Tanpa sengaja, ia melirik ke arah Victor dan menemukan pria itu melirik tajam padanya dengan rahang yang mengetat. Entahlah, Mary tidak mengerti mengapa Victor berekspresi seperti itu. Dengan penuh perhatian, Nathan mendekatkan menu-menu yang diinginkan oleh Mary. Ia terus memperhatikan wanita itu dan menanyakan apa yang diinginkannya. Perlakuan Nathan itu sontak membuat Dominic dan Hannah terheran-heran, karena biasanya Mary yang memperhatikan Nathan di meja makan, bukan sebaliknya. Namun, mereka pun memaklumi, mungkin karena ada Victor dan Olso, Mary terlihat canggung, sehingga Nathan berinisiatif untuk melayani kekasihnya itu. "Oh iya..." Hannah jeda sejenak, menatap ke arah Victor dan Olso. "Nanti kalian bisa datang ‘kan ke pernikahan mereka?" ucap Hannah, menetapkan pandangannya kepada mereka berdua. "Tentu, Nyonya... Dengan senang hati. Suatu kebanggaan bagi kami bisa hadir di pesta pernikahan salah satu keluarga Hilton," jawab Olso, tanpa memperdulikan tatapan tajam dari Victor. Hannah tersenyum puas mendengar jawaban pria itu. "Ah, terima kasih, Olso," ucapnya. Olso mengangguk pelan dan melempar senyum sebagai tanda hormat. "Jangan lupa ya, sayang... Mereka ini ‘kan tidak tinggal di sini, jadi kamu harus ingat agar mereka tetap bisa hadir di pernikahan Mary dan Nathan nanti," ucap Hannah kepada Dominic. Pria itu mengangguk pelan, melirik pada istrinya sambil melemparkan senyum. 'Rasakan itu, Victor... Si cantik Mary akan menikah dengan si tampan Tuan Nathan. Kau akan hidup selamanya dengan jalang-jalangmu,' batin Olso, terbahak puas dalam hati. Menit berlalu... Setelah makan siang selesai, Dominic dan yang lainnya menuju ruang tengah, sementara Hannah dan Mary berada di dapur. "Jadi Aunty bikin kue lagi?" tanya Mary, sembari memperhatikan Hannah yang menyiapkan beberapa toples cookies coklat untuknya. "Iya, sayang," jawab Hannah, melirik sebentar pada Mary dengan senyum lebar sebelum kembali fokus pada kegiatannya. "Tadi pagi, Aunty membuatnya. Sekalian dengan punya Jihan. Yang kemarin itu kita buat bersama sudah Aunty antarkan kemarin ke rumah Jihan. Ternyata dia sangat suka, dan katanya tidak membuatnya mual. Lalu tadi pagi dia telepon, bilang kuenya sudah mau habis, padahal itu banyak sekali, sayang," cerita Hannah, diikuti dengan tawa bersama Mary. "Aku rasa berat badannya semakin naik, Aunty," ucap Mary, lalu tertawa. "Sepertinya begitu, pipinya juga berisi," sahut Hannah sambil mengedikkan bahu. "Ya, meskipun kenaikan berat badan itu adalah hal yang normal dan umum bagi Ibu hamil." "Michael pasti semakin gemas padanya," sambung Mary, dan keduanya kembali tertawa. Di saat-saat seperti ini, Mary merasa sedikit terlupakan dari permasalahan yang sedang menimpanya. "Ini buat kamu. Boleh juga dibawa ke tempat kerja sebagai cemilan di sela-sela kesibukan," ucap Hannah sambil menyerahkan paper bag yang berisi beberapa toples kue di dalamnya. Mary menyambut dengan senyum. "Terima kasih, Aunty, tapi ini sangat banyak. Apa sebaiknya untuk Jihan saja? Untukku satu atau dua toples saja." "Nggak kok, sayang. Punya Jihan juga sudah banyak. Ini sudah Aunty buat khusus untuk kamu." "Terima kasih, Aunty." "Sama-sama, sayang," balas Hannah dengan senyum yang terlihat sangat tulus. "Ya sudah, ayo kita ke ruang tengah bergabung dengan mereka," ajak Hannah setelah mereka selesai dengan kegiatan di dapur. "Aunty duluan saja ya. Aku mau ke toilet sebentar. Paper bag-nya biarkan disini dulu," ucap Mary. Hannah mengangguk pelan sebagai respon dan membiarkannya pergi ke toilet. Beberapa menit berlalu, Mary tiba di toilet khusus tamu. Ia membuka pintu dan masuk. Namun, begitu pintu toilet tertutup, ia tiba-tiba menyadari kehadiran orang lain di sana. "K-Kamu...?" mata Mary sontak terbelalak ketika bertemu tatap dengan Victor yang juga berada di toilet yang sama. Mary menelan ludah dengan susah payah, lalu mundur dan memutar tubuhnya, siap keluar dari tempat tersebut. Namun sialnya, lengan kekar pria itu dengan sigap meraih pinggang rampingnya, menarik tubuhnya kembali, lalu menutup pintu dan menguncinya. "Uusstthhh... diam, Baby!" Deg! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN