***
“Akkhh…” teriakan kesakitan Mary terdengar memilukan, tetapi Victor tidak peduli.
Pria itu mendorong pinggulnya hingga berhasil menerobos inti tubuh Mary, merobek selaput darah keperawanan wanita itu.
“Argh… f*****g s**t!” erang Victor, menyadari betapa nikmatnya penyatuan yang dia rasakan ini. “Tubuhmu nikmat sekali,” bisiknya di telinga Mary.
***
Beberapa jam sebelumnya…
London, UK…
“Halo sayang.”
“Ya sayang,” sahut wanita cantik bernama Mary Poppins itu. Ia memanfaatkan bahu untuk menahan ponsel di telinga, sementara kedua tangannya sibuk menyiapkan tas kerjanya dan beberapa barang yang dibutuhkan.
“Kamu habis ngapain sampai terlambat begini, hem?” tanya seorang pria di ujung telepon yang merupakan kekasih Mary. Namanya Nathan.
“Tadi aku sempat ketiduran setelah mengobrol dengan Jihan, sayang. Aku lupa menyetel alarm,” jawab Mary sambil menegakkan tubuh dan berputar ke kiri dan kanan sekadar memastikan tidak ada barang yang ketinggalan.
Di ujung telepon, terdengar helaan napas pelan dari Nathan. Pria itu tak banyak bertanya lagi, ia sengaja memberi waktu untuk kekasihnya bersiap-siap, sementara dirinya saat ini sedang menunggu di bawah untuk mengantar Mary ke tempat kerja.
“Halo, Nath?” panggil Mary. Sejenak ia menjauhkan ponsel dari telinga, menatap layar yang menyala otomatis untuk memastikan bahwa panggilan masih terhubung dengan Nathan.
“Ya, aku masih di sini, sayang,” sahut Nathan di ujung telepon.
Mary sontak tertawa pelan, menyadari kekonyolannya di tengah kesibukan. Tadi dia pikir sambungan telepon dengan Nathan terputus karena dia tidak mendengar suara pria itu sama sekali.
“Aku sudah selesai, aku turun sekarang ya,” kata Mary, dibalas dengan deheman singkat oleh Nathan.
Setelahnya, cepat-cepat Mary melangkah menuju pintu, keluar dari apartemennya, dan bergerak turun ke lantai dasar dengan langkah terburu-buru.
Di tengah hiruk-pikuk kota London ini, Mary hidup sebatang kara. Sejak usia 16 tahun, dia ditinggalkan Ibunya untuk selamanya. Sedangkan Ayahnya? Bahkan sampai detik ini, Mary tidak pernah mengetahui sosok Ayah kandungnya.
Semasa Ibunya masih hidup, Mary pernah bertanya tentang sosok Ayahnya. Namun, jawaban yang diharapkan tak pernah ia dapatkan. Ibunya hanya menangis, membuat Mary bingung sendiri hingga akhirnya ia memutuskan untuk tak pernah bertanya lagi soal Ayahnya.
Setelah kepergian Ibunya, Mary bekerja banting tulang untuk bertahan hidup. Ia bekerja paruh waktu di sebuah restoran sebagai pelayan. Setelah lepas dari pekerjaan tersebut, Mary akhirnya menemukan pekerjaan baru di sebuah Nightclub.
Di sana, Mary bekerja sebagai bartender profesional. Sejak remaja hingga kini, di usianya yang sudah 27 tahun, Mary masih bekerja di tempat itu. Mary juga pernah berkuliah bahkan sampai selesai, di mana ia berkesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, seperti di kantoran.
Akan tetapi, Mary sangat mencintai pekerjaannya ini. Dia telah menekuni pekerjaan tersebut sejak dirinya masih remaja, dan yang paling penting, Mary merasa nyaman dengan pekerjaan itu.
Menit berlalu, Mary tiba di lantai dasar. Dia segera menuju lobi dan bergerak menghampiri mobil Nathan yang tengah menunggu di depan sana.
Mary segera masuk ke dalam mobil, menatap sekilas pada Nathan, dan melempar senyum manis padanya. Setelah menutup pintu, Nathan mencondongkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya pada Mary.
Dengan lembut, Nathan meraih tengkuk wanita itu dan mencium bibirnya, mengulum dan menghisapnya dengan lembut. Mary menutup mata, menyambut sentuhan lembut Nathan. Dia pun membalas ciuman tersebut, dan mereka berdua terhanyut dalam momen itu selama beberapa saat.
“Besok pulang sama sopir ya,” ucap Nathan setelah melajukan kendaraannya meninggalkan gedung apartemen Mary.
“Aku pulang sama temanku saja, sayang,” sahut Mary sambil menatap Nathan dengan senyum. Dia tahu kekasihnya itu sangat perhatian dan selalu mengutamakan kenyamanannya.
“Biasanya ‘kan juga begitu. Selama ini aku pulang sendirian dan sering nebeng sama teman. It's okay,” dengan lembut Mary mengusap tangan Nathan seolah memberi ketenangan pada pria itu.
Nathan melirik sejenak pada Mary; mengangguk pelan sebelum mengalihkan perhatian sepenuhnya pada jalan yang terbentang luas di depannya.
“Kamu berangkat kapan?” tanya Mary.
“Nanti jam 9,” jawab Nathan. Dia akan keluar kota malam ini untuk urusan pekerjaan.
“Pulangnya kapan?” Mary bertanya lagi.
Dengan senyum, Nathan menjawab, “Paling besok malam aku sudah pulang.”
“Oh, sehari saja?”
“Hmm, semoga saja tidak ada pekerjaan tambahan supaya aku tidak usah berlama-lama di sana,” jawab Nathan. Mary tersenyum mendengar jawaban tersebut.
Keduanya terlihat amat romantis, dengan Nathan yang membawa tangan Mary menuju bibirnya dan menciumnya dengan lembut.
Hubungan mereka berawal dari persahabatan, hingga perlahan-lahan rasa nyaman tumbuh di hati masing-masing. Seiring berjalannya waktu, mereka meyakini bahwa perasaan yang mereka miliki itu adalah cinta. Akhirnya, keduanya memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih serius, dan keputusan itu didukung oleh orang-orang terdekat mereka.
Tak berapa lama, Mary tiba di club. Sebagai salam perpisahan, dia mencium bibir Nathan dengan lembut sebelum pria itu pergi, dan dia segera masuk ke dalam club, bersiap memulai pekerjaannya seperti biasa.
Beberapa jam kemudian…
Victor Marson, pria dewasa berusia 37 tahun, dikenal dengan kepiawaiannya dalam menyelesaikan permasalahan di pekerjaannya. Serumit apapun situasinya, jika Victor yang menangani, tak ada yang tak mungkin.
Victor terlahir dari keluarga yang terlibat dalam dunia Mafia. Ayahnya adalah seorang Mafia yang kini telah tiada, dan setelah dewasa, Victor menggantikan posisi Ayahnya sebagai pemimpin.
Namun, satu kesalahan di masa lalu membuat Victor kehilangan segalanya. Dia dijebak oleh musuhnya dan mendekam di balik jeruji besi selama bertahun-tahun. Tak hanya itu, ia juga kehilangan harta dan kekuasaannya.
Di saat terpuruk di dalam penjara, Victor justru bertemu dengan seseorang yang menurutnya sangat baik. Orang itu adalah Dominic Hilton, yang kini menjadi Bosnya.
Dominic membebaskan Victor dari penjara. Setelahnya, Dominic memberi Victor kepercayaan untuk mengurus bisnis haramnya di Florida. Selama setahun, Victor bekerja keras dan akhirnya berhasil membuktikan kemampuannya di hadapan Dominic. Bisnis di Florida berkembang pesat bahkan jauh dari ekspektasi Dominic sebelumnya.
Victor terbilang sukses dalam hal pekerjaan, tetapi tidak dalam hubungan asmara. Pria yang gemar menjalin hubungan satu malam ini; One Night Stand sangat terobsesi dengan satu wanita, bahkan sejak dia masih remaja. Wanita yang dia ketahui adalah adik sepupunya, tetapi ternyata dia adalah anak kandung dari Bosnya. Lebih parahnya lagi, wanita itu kini sudah menjadi milik pria lain.
Victor mengalami patah hati terhebat dalam hidupnya setelah kehilangan wanita itu. Malam ini, Victor mengunjungi sebuah Nightclub bersama sahabatnya, Olso, yang selalu setia berada di sampingnya.
“Mungkin, kau perlu bertemu dan bicara dari hati ke hati dengan Nona Jihan, Vic,” kata Olso, memberikan saran bijak pada Victor.
Saat ini mereka berada di tempat VIP, hanya berdua di sana. Victor menginginkan ketenangan dan belum ingin wanita-wanita penghibur itu masuk untuk bersenang-senang dengannya.
Victor mengangkat gelasnya, membawa ke bibir. Diteguknya tequila di dalamnya hingga tandas. Ia menutup mata dan menggelengkan kepala kala cairan itu menghantam tenggorokannya. Panas. Menyengat.
“Tidak mungkin. Jihan tidak akan mau bertemu denganku. Dia sangat benci padaku,” Victor tertawa miris.
“Makanya, usahakan dulu. Apa salahnya kau mencoba? Daripada seumur hidup perasaanmu akan menggantung seperti ini,” kata Olso, tertawa berusaha membuka pikiran sahabatnya.
Victor menoleh menatap Olso. Pria itu membalas dengan anggukan pelan. “Kau harus bertemu. Kau harus bicara. Selesaikan semuanya dengan baik-baik jika kau serius ingin melanjutkan hidupmu,” kata Olso lagi.
Olso menghela napas pelan. “Setelah urusanmu dengan Nona Jihan selesai, kita akan segera kembali ke Florida. Kita akan menetap di sana selamanya dan… kau bisa memulai kehidupan baru di sana. Lupakan Nona Jihan dan temukan penggantinya.”
Victor menggelengkan kepala dengan senyuman miris. “Rasanya aku tidak mungkin bisa, Olso. Jihan tidak akan tergantikan.”
Olso terdiam, menatap serius padanya.
“Kau tidak akan mengerti karena kau bukan aku,” tambah Victor.
“Kau benar,” sahut Olso. “Mana mungkin aku paham. Tapi setidaknya, di sini aku berusaha mengingatkanmu agar hidupmu tidak sia-sia. Victor… banyak wanita cantik di luar sana. Kau hanya belum pernah mencoba membuka diri kepada mereka.”
Victor terdiam. Kali ini, ia terlihat enggan memberi respons atas ucapan Olso karena jawabannya hanya satu: Victor hanya mencintai Jihan. Sampai kapan pun, hanya Jihan. Wanita itu tidak akan bisa tergantikan oleh yang lain.
Victor kembali menuangkan tequila ke dalam gelas. Kali ini, tuangannya asal-asalan, terlihat lebih banyak dari sebelumnya. Tanpa ragu, ia mengangkat gelas kecil itu menuju bibir sebelum kemudian meneguknya hingga tak tersisa.
Victor melakukannya berulang kali, tanpa memperdulikan rasa panas yang menyengat di tenggorokannya. Bahkan seruan Olso yang memintanya untuk berhenti minum karena sudah terlalu banyak pun tak dihiraukannya.
Menit demi menit berlalu, dan waktu terus berjalan. Kini, Victor benar-benar sudah mabuk. Terlalu banyak menelan minuman dengan kadar alkohol yang sangat tinggi itu membuatnya kehilangan kesadaran.
Olso hendak membawanya pergi dari Nightclub tersebut, tetapi Victor, setelah sadar sejenak, menolak. Pria itu tetap ingin disini dan melanjutkan kegilaannya. Berulang kali ia meminta Olso untuk memesan minuman, tetapi pria menyebalkan itu menolak, membuat Victor menggeram. Ingin marah, namun tak ada daya.
Di samping itu, Olso tiba-tiba mendapat telepon dari asisten Bosnya, yang mengatakan ada suatu hal penting yang ingin dibicarakan. Dengan terpaksa, Olso meninggalkan Victor di Nightclub itu. Namun sebelum pergi, ia sudah mengantarkan Victor terlebih dahulu ke sebuah kamar VVIP.
**
“Malam ini tidak seperti biasanya. Pengunjung sangat banyak. Kau setuju, kan, Mary?” lontar salah seorang rekan kerja Mary di bar.
Mary tengah meracik minuman dengan penuh konsentrasi. Tanpa mengganggu fokusnya, dia mengangguk sambil tersenyum menanggapi ucapan temannya.
Setelah selesai, Mary menyodorkan gelas berisi minuman yang ia racik sebelumnya ke seorang pria yang duduk di kursi bar di depan meja bartender. Lalu, Mary melirik sekilas pada temannya. “Ya, aku merasa juga seperti itu. Lihat, mereka terlihat sibuk mengantar pesanan,” kata Mary seraya memperhatikan beberapa pelayan yang berlalu lalang mengantarkan minuman ke meja pengunjung.
“Mungkinkah karena besok hari Minggu? Jadi malam ini mereka berpuas diri untuk menghabiskan malam di sini?” kata teman Mary, lalu mendekat dan melanjutkan berbisik di telinga Mary, “Tapi pengunjung malam ini kebanyakan pria tua. Istri mereka pasti mengira mereka sedang lembur akhir pekan di kantor, bukan?”
Mary menarik diri, menatap temannya sebelum kemudian tertawa. “Kau ini ada-ada saja!” serunya sambil mencubit gemas.
“Mary…” seseorang memanggil, menarik perhatian Mary. Ternyata orang itu adalah sang manajer.
“Yes, Sir,” sahut Mary dengan ramah.
“Tolong antarkan pesanan ke kamar VVIP nomor 105,” sembari menyodorkan sebuah kertas; catatan pesanan tamu yang di maksud. “Yang lain lagi penuh semuanya. Saya khawatir tamu kita menunggu terlalu lama,” kata pria paruh baya itu.
Sejenak, Mary melirik temannya. “Aman, biar aku yang tangani bagianmu,” kata teman Mary.
Mary mengangguk pelan sebelum beralih kepada sang manajer. “Baik, Sir. Saya segera antarkan.”
Setelah sang manajer pergi, Mary segera menyiapkan pesanan dua botol tequila dan mengantarnya ke kamar nomor 105 yang posisinya berada di lantai tiga.
Menit berlalu, kini Mary sudah berdiri di depan pintu kamar 105. Dengan satu tangan yang bebas, dia mengetuk pintu.
Tok tok tok.
Setelah menunggu sekitar satu menit tanpa mendapat sahutan dari dalam, Mary akhirnya membuka pintu kamar tersebut. Dia masuk dan tidak lupa menutup pintu di belakangnya.
Saat Mary melangkah lebih jauh, keningnya tampak berkerut. Matanya menyorot ke arah ranjang yang masih dalam keadaan rapi sebelum kemudian beralih ke sofa. Ternyata penghuni kamar ini duduk di sana.
Seorang pria duduk sendirian di sofa, terkulai dengan wajah menengadah ke atas, matanya tertutup rapat. Mary melangkah mendekat, merasa khawatir. “Permisi, Tuan,” serunya dengan suara pelan.
Pria itu tidak merespons, dan Mary mulai berpikir bahwa dia mungkin pingsan atau sangat mabuk. Dengan cepat, dia meletakkan dua botol tequila yang dibawanya di atas meja.
“Jihan…” pria itu tiba-tiba berseru, wajahnya terangkat menatap ke arah Mary.
Mary terlonjak kaget, hampir menjatuhkan salah satu botol. “Victor?” gumamnya ketika wajah pria itu menjadi jelas di matanya.
Tanpa peringatan, tangan besar Victor menarik lengan Mary, membuatnya jatuh ke pangkuannya. “Victor! Lepaskan aku!” pekik Mary, meronta-ronta berharap bisa bebas.
“Kau… kau sangat cantik malam ini, Jihan,” racau Victor, keliru mengenali Mary sebagai Jihan, wanita yang dicintainya.
Mary tertegun, tidak percaya apa yang sedang terjadi. “Victor, lepaskan aku! Jangan sentuh aku!” teriaknya ketika Victor mengunci pergerakannya dan mulai mencumbu lehernya.
“Victor, tolong…” rintih Mary, merasa putus asa.
Victor bangkit dari sofa dan menyeret Mary menuju tempat tidur, melemparkannya ke atas kasur. Mary terkejut, segera berusaha untuk bangkit dan turun dari ranjang, tetapi Victor lebih cepat. Dia menarik salah satu kaki Mary dengan kasar.
“Victor… jangan, aku mohon…” Mary merintih, berusaha menahan tubuh pria itu.
“Sadar, Victor. Ini aku, Mary. Aku bukan Jihan,” ujarnya, suaranya mulai bergetar.
Namun, Victor tampak tidak mendengarkan. Rintihan Mary dianggapnya sebagai desahan yang merdu. Dengan cepat, ia mulai melucuti pakaian Mary, membuatnya terbaring dalam keadaan tubuh polos tanpa sehelai benang.
“Akkhh…” teriakan kesakitan Mary terdengar memilukan, tetapi Victor tidak peduli.
Pria itu mendorong pinggulnya hingga berhasil menerobos inti tubuh Mary, merobek selaput darah keperawanan wanita itu.
“Argh… f*****g s**t!” erang Victor, menyadari betapa nikmatnya penyatuan yang dia rasakan ini. “Tubuhmu nikmat sekali,” bisiknya di telinga Mary.
Mary terisak antara menahan rasa sakit yang mendera tubuhnya dan menahan rasa pilu. Kini semua telah hancur. Satu-satunya mahkota berharga yang ia miliki telah direnggut dengan cara menjijikan. Terlebih itu oleh Victor, pria yang sejak dulu dia benci karena terobsesi dengan sahabatnya.
Di sisi lain, Mary memikirkan kelangsung hubungannya dengan Nathan. Bagaimana jika pria itu tahu apa yang sudah terjadi padanya?
“Aahhh… Jihan…” desah Victor sambil terus menghujam tubuh Mary. Pria itu mendesahkan nama Jihan berulang kali, mengira wanita yang dia setubuhi ini adalah Jihan.
Mary hanya terisak. Tak ada lagi yang bisa dia lakukan. Melawan pun percuma; dia tak akan sanggup. Tenaga yang dia punya tak sebanding dengan tenaga pria itu.
“Maafkan aku, Nathan,” isak Mary terdengar memilukan.
***