***
Setibanya di apartemen, Mary langsung bergerak menuju kamar mandi. Ia menanggalkan semua kain yang melekat di tubuhnya dengan gerakan kasar, membuatnya robek. Setelah itu, Mary melangkah ke bilik shower.
Ia menyalakan air, membiarkan tubuh telanjangnya disiram deras sambil menggosok kulitnya dengan kasar. Ia berharap, dengan cara ini, ia bisa menghapus semua bekas sentuhan pria b******n itu semalam.
Mary tak peduli lagi dengan kulitnya yang tampak memerah; ia terus menggosok tanpa ampun. Di sisi lain, air matanya bercampur dengan air shower, tetapi isak tangisnya tetap terdengar menyayat hati.
Selain karena ia memiliki seorang kekasih, dan mereka sudah merencanakan untuk melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius, Mary juga sangat membenci Victor—bahkan sejak jauh sebelum ia mengenal Nathan.
Semakin banyak ia mendengar curhatan pilu sahabatnya, Jihan, tentang semua perlakuan menjijikan Victor, semakin besar rasa jijiknya dan bencinya terhadap pria itu.
Namun kini, takdir seolah dengan sengaja menjebak dirinya dengan pria yang sangat ia benci itu. Pria yang semalam telah menikmati tubuhnya, mencumbu tubuh moleknya dengan penuh nafsu.
Sialnya, bahkan hingga detik ini, Mary tak bisa melupakan bagaimana Victor mendesahkan nama Jihan ketika menghentakkan tubuhnya. Bisikan pria itu di telinganya, ketika ia memuji betapa nikmatnya tubuhnya, membuat Mary ingin berteriak sekuat-kuatnya.
“Aku bersumpah tidak akan memaafkanmu seumur hidupku, Victor!” geram Mary, menggertakkan giginya di sela isak tangis.
Setelah beberapa menit, ketika Mary merasa puas mengguyur tubuhnya, ia keluar dari kamar mandi menuju ruang ganti. Berdiri di depan cermin full body, Mary melepaskan handuk yang menutupi tubuh polosnya hingga kain putih itu melorot ke lantai.
Dengan tatapan nanar, Mary menyorot lirih ke arah cermin, menemukan bercak merah kebiruan di sekitar leher, d**a, dan perutnya akibat ulah Victor semalam.
Pria itu menggagahi tubuh Mary dengan brutal. Tak hanya hentakan dan hujaman yang diberikan, tetapi juga jejak kepemilikan yang sangat banyak ditinggalkannya di kulit mulus sang wanita.
Mary, wanita itu, kemudian berteriak, melangkah lebar meraih botol parfum di atas meja rias, lalu melemparnya dengan kuat ke arah cermin. Cermin itu hancur, menimbulkan bunyi nyaring yang menggema di ruangan tersebut.
Mary meluruhkan tubuhnya ke lantai, menekuk kedua kaki, dengan napas terengah-engah ia membenamkan wajah di atas lutut, menangis sejadi-jadinya.
**
Di tempat yang berbeda, Nathan tampak gelisah. Pandangannya tak lepas sedikit pun dari layar ponsel. Ia bahkan tidak fokus saat menyantap sarapan.
Pikirannya penuh akan Mary. Dari semalam hingga pagi ini, wanita itu tidak membalas pesannya sama sekali, membuat Nathan semakin khawatir.
Sebelumnya, Nathan telah menghubunginya lewat telepon dan berbagai media sosial yang ia miliki, tetapi hasilnya nihil. Mary tak juga menjawab.
‘Kamu kemana, sayang?’ batin Nathan, sambil mengangkat ponsel ke telinga kanan, menempelkan benda pipih itu di sana. Sekali lagi, ia mencoba menghubungi Mary dengan harapan wanita itu akan menjawab panggilannya.
Nathan kembali mendesah gusar, seraya menjauhkan ponsel dari telinga. Usahanya tak membuahkan hasil. Panggilannya yang kesekian kali pun tidak mendapatkan jawaban.
Tok tok tok.
Ketukan pintu sontak menarik perhatian Nathan. Ia tersentak kaget, lalu menoleh ke arah pintu dan membuka suara, "Masuk!"
Detik berikutnya, pintu tersebut dibuka lebar. Seorang wanita cantik dan anggun berdiri di ambang pintu sebelum melangkah masuk.
"Selamat pagi, Tuan," sapa wanita itu dengan sikap hormat.
Nathan menatap wanita tersebut dengan lekat. "Pagi," sahutnya singkat.
“Saya hanya sekadar mengingatkan bahwa sekarang sudah jam 9. Jam 10 kita ada pertemuan dengan klien,” ucap wanita yang merupakan sekretaris Nathan itu.
Sejenak, Nathan terdiam, tampak memikirkan pertemuannya dengan klien. Apakah dia bisa fokus saat pertemuan nanti, sementara pikirannya penuh oleh Mary?
“Jadi, bagaimana, Tuan? Apakah kita berangkat sekarang atau sebentar lagi?” tanya wanita tersebut.
Nathan mengangguk pelan. “Kita berangkat sekarang. Sebentar, aku bersiap-siap dulu,” jawabnya.
Wanita itu tersenyum ramah. “Baik, kalau begitu. Saya tunggu di luar saja. Permisi, Tuan.”
Nathan mengangguk sebagai tanggapan. Wanita itu segera keluar dari kamar hotel Nathan untuk menunggu Bosnya di luar, karena sebentar lagi mereka akan berangkat bersama untuk bertemu klien.
Agenda Nathan hari ini sangat padat. Pagi ini, dia bertemu dengan klien, lalu jam 2 siang, dia bertemu lagi dengan klien yang berbeda. Jam 5 sore, dia akan rapat di perusahaan mitranya, sedangkan jam 8 malam adalah pertemuan terakhir dengan kliennya.
Setelah semua itu selesai, Nathan dan sekretarisnya akan langsung pulang. Sepertinya hari ini akan menjadi hari yang sangat melelahkan bagi Nathan. Belum lagi, pikirannya yang berkecamuk tentang Mary.
**
Di apartemen, Olso menatap Victor dengan mata melotot. “Bukankah tidur dengan jalang adalah kebiasaanmu? Bahkan setiap malam ranjangmu diisi oleh mereka. Lantas mengapa kau tampak berlebihan seperti ini?” ujarnya, lalu mendesah kasar, merasa jengah dengan keanehan Victor.
Sebelumnya, pria itu marah kepadanya karena semalam ditinggal di club sendirian dalam keadaan mabuk, hingga ia berakhir tidur bersama seorang wanita.
Protes Victor itu jelas membuat Olso menganggap dirinya berlebihan. Pasalnya, Victor bukanlah pria suci yang masih perjaka.
Sementara itu, Olso sendiri bahkan tidak dapat menghitung dengan jari sudah berapa banyak wanita yang tidur bersamanya.
“Masalahnya, wanita yang aku tiduri bukan jalang, Olso!” sergah Victor.
Olso mengerutkan kening. “Bukan jalang? Lalu siapa?” tanyanya dengan bingung.
“Mary! Kau mengenalnya!”
Seketika, Olso membelalak. “What…!” Ia kaget bukan main saat mendengar nama wanita cantik itu disebut oleh Victor. “Kau serius? Kau menidurinya? Astaga…!” Olso mengangkat kedua tangan dan meremas rambutnya dengan kuat, frustasi.
“Bagaimana bisa, Victor? Dia bekerja di sana sebagai bartender, bukan merangkap sebagai jalang! Hey! Dia itu wanita baik-baik, bung!” protes Olso, tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Victor mendengus, menanggapi reaksi Olso dengan malas.
“Dan aku dengar dia memiliki seorang kekasih. Kau malah menidurinya?” Olso menggelengkan kepala, tidak habis pikir. Sejenak, pria itu terdiam, tampak sedang memikirkan sesuatu. “Ngomong-ngomong, apakah dia masih perawan? Atau sudah dipakai?” tanya Olso penasaran.
Seketika, Victor menatap tajam ke arah Olso. “Bukan urusanmu!” dengusnya, kemudian bangkit dari duduknya dan bergerak menuju kamar mandi.
Olso terdiam mematung, memperhatikan punggung lebar Victor hingga ia menghilang di balik pintu kamar mandi.
“Dia tidak mau menjawab, artinya wanita itu masih perawan. Ck, sialan! Berarti benar isu yang aku dengar selama ini, wanita itu berbeda dengan wanita lainnya,” gumam Olso pelan.
Nightclub tempat Mary bekerja adalah salah satu tempat favorit Olso sejak dulu, sebelum ia mengenal Victor. Itulah sebabnya Olso cukup mengenal Mary. Ia banyak mendengar desas-desus mengenai wanita itu. Meskipun bekerja di club malam, Mary adalah sosok wanita yang selalu menjaga diri.
Itulah mengapa dulu Olso sempat tertarik pada Mary. Sayangnya, wanita itu mengabaikannya. Mary tidak menanggapi dirinya sedikit pun. Dan kini, ia mendengar bahwa wanita itu telah ditiduri oleh Victor, pria yang dianggapnya sahabat baik— juga pria yang ia kenal begitu kental dengan dunia malam. Menjelajahi tubuh berbagai jalang— bahkan tak jarang membeli gadis belia untuk menuntaskan hasrat.
Sebegitu brengseknya sosok Victor Marson di mata Olso dan yang dimana kenyataannya memang seperti itu.
“Sial! Bisa-bisanya pria b******k seperti dia dapat si cantik Mary, gadis perawan. Kebaikan apa kira-kira yang sudah dilakukan?” gumam Olso, masih tak habis pikir dengan apa yang dialami Victor semalam.
Olso menghempaskan tubuhnya ke sofa, malas. Ia meletakkan kedua tangan di wajah dan mengusapnya dengan kasar.
Tak lama kemudian, Victor keluar dari kamar mandi. Olso menatap ke arah Victor yang tengah melangkah masuk ke ruang ganti. “Bantu aku cari tahu siapa kekasihnya,” Victor berkata sambil melangkah.
Kening Olso berlipat, menandakan bahwa pria itu kebingungan. Dengan refleks, ia menegakkan tubuhnya. “Siapa?” tanyanya dengan suara tinggi agar Victor bisa mendengar.
“Mary!” jawab Victor dari dalam.
Olso mengangkat sebelah alis, kemudian bangkit dari duduk. Ia bergerak menuju ruang ganti. “Pekerjaan kita banyak, Victor. Aku harap kau tidak berbuat gila kali ini,” ujarnya sambil berdiri di ambang pintu pembatas antara ruang ganti dan ruang tidur, berkacak pinggul dan menatap jengah pada Victor.
“Zaman sudah canggih. Tidak ada yang susah, Olso. Tinggal kau buka laptopmu dan cari tahu,” ujar Victor dengan acuh tak acuh, tampak keberatan dengan reaksi Olso.
“Jadi kau akan mengejar teman one-night stand-mu? Really?” Olso menatap dengan mata memicing.
Victor buru-buru mengganti pakaian dengan yang baru. Ia melirik sekilas ke arah Olso. “Aku hanya penasaran ingin tahu seberapa sempurna kekasihnya,” jawabnya sambil mengedikkan bahu. “Tidak lebih,” lanjutnya, lalu melangkah melintasi Olso dan keluar dari ruang ganti.
Olso menegakkan tubuhnya, matanya mengikuti arah gerak Victor. “Kenapa ya, rasanya kali ini aku tidak percaya padamu. Mary sangat cantik, yakin kau tidak tertarik padanya?” Nadanya terdengar mencibir dengan alis terangkat.
Berhenti di dekat meja, Victor mengangkat gelas berisi air dan membawanya ke bibir, meminum isinya sebelum menanggapi Olso. “Tidak akan! Wanita itu sangat menyebalkan sejak dulu. Tidak ada sesuatu pada dirinya yang membuatku tertarik!” Ia berhenti sejenak, menatap Olso. “Oh ya, kecuali satu hal.”
Olso menatap penasaran. Victor melanjutkan, “Membalasnya karena dia sudah berani menghinaku.” Setelah itu, ia melangkah keluar dari kamar, meninggalkan Olso yang terdiam mematung di sana, bingung.
[“Kekasihku jauh lebih baik daripada kamu! Lantas, apakah kamu pikir aku adalah wanita gila yang menjebakmu sementara aku memiliki seorang pria yang teramat sempurna?!”]
Kalimat demi kalimat yang dilontarkan oleh Mary sebelumnya kini terngiang di kepala Victor, membuatnya semakin penasaran tentang sosok yang sangat dibanggakan oleh wanita itu.
***