Part 11

2306 Kata
Helena tidak tahu harus berkata apa ketika mendengar kabar baik yang disampaikan oleh Wira melalui telepon. Netranya berkaca-kaca dan tenggorokannya tercekat karena saking bahagianya, seolah-olah ia menemukan sumber mata air di padang pasir yang tandus. Kini ia membenarkan sekaligus memercayai peribahasa yang mengatakan bahwa akan ada pelangi setelah hujan. Dulu ia menganggap peribahasa tersebut hanyalah perkataan orang bijak yang mencoba bersikap tegar dalam menghadapi kenyataan hidupnya. Doa yang setiap saat dipanjatkannya, kini mulai bersambut. Kesabaran yang selalu dipupuknya dalam menanti pun, sebentar lagi akan membuahkan hasil. Sepulangnya dari apartemen Felix, Helena akan ke rumah Wira untuk bertemu dengan seseorang yang berbaik hati ingin membantu kesembuhan adiknya. Selama sebulan ini sejak Mayra keluar dari rumah sakit, Helena selalu memikirkan kondisi sang adik untuk ke depannya. Namun, beban pikirannya tersebut kini sedikit terangkat karena kabar yang Wira beri tahukan tadi. Usai mematut dirinya di depan cermin yang terpasang di atas wastafel toilet dan setelah memastikan penampilannya rapi, Helena bergegas kembali ke meja kerjanya. Langkahnya tergesa ketika melihat Wisnu dan beberapa orang timnya sudah berdiri di depan meja kerjanya. “Kalian kenapa beramai-ramai ke sini? Mau mendemo Pak Felix?” Helena bertanya dengan nada bercanda. Tidak lupa ia juga menyipitkan matanya. “Aku kira hari ini kamu absen, Len. Sebab Pak Felix langsung yang menghubungiku dan menyuruhku ke sini bersama timku,” Wisnu menanggapi candaan Helena setelah menoleh ke sumber suara. “Dari mana?” tanyanya. “Biasa. Menyelesaikan panggilan alam,” Helena menjawab dan menunjuk toilet. “Kalau bukan karena hal genting dan mendesak, aku tidak mau absen, Wis. Aku tidak tega melihat gajiku dipotong,” imbuhnya terkekeh. Percakapan mereka terinterupsi saat pintu ruangan Felix terbuka dari dalam. “Kenapa kamu tidak langsung masuk setelah tiba di depan ruangan saya, Wis? Sekarang jam kerja masih berlangsung, jadi gunakan waktu kalian untuk menyelesaikan pekerjaan masing-masing, bukan malah mengobrol ria seperti yang saya lihat,” tegur Felix tegas. Karena Wisnu akan ke ruangannya, jadi Felix memutuskan untuk mengamati CCTV di sekitar meja kerja Helena melalui monitornya. Ia merasa kesal saat tayangan monitor memperlihatkan Helena dan Wisnu mengobrol sambil tertawa di depan ruangannya. Selain itu, ia sangat tidak suka melihat jika ada karyawannya yang mengobrol di saat jam kerja masih berlangsung. Terlebih topik yang mereka obrolkan tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan pekerjaan. “Maafkan kami, Pak,” pinta Wisnu dengan penuh rasa bersalah sambil menundukkan kepala. “Kali ini saya maafkan, tapi tidak untuk ke depannya. Saya akan mengambil tindakan tegas jika melihat kalian mengobrol ria seperti sekarang di saat jam kerja masih berlangsung,” Felix memperingatkan sambil memperlihatkan ekspresi dinginnya. “Terima kasih, Pak,” ucap Wisnu patuh. Sebelum kembali ke dalam ruangannya, Felix menyempatkan diri memberikan tatapan datarnya kepada Helena yang sedari tadi ikut mendengarkan peringatannya. “Kami masuk dulu, Len,” ujar Wisnu sangat pelan. Bahkan, hampir tak terdengar saat mengekori Felix memasuki ruangan. Helena hanya menjawabnya dengan anggukan kepala. Felix saat di kantor memang dikenal sebagai atasan yang memiliki sikap dingin dan tegas, sehingga membuat para karyawan sangat menyeganinya, termasuk dirinya sendiri. Helena menatap nanar pintu ruangan Felix yang telah tertutup. “Secara tidak sengaja aku telah membangunkan singa tidur,” gumamnya saat menyadari keteledorannya. “Sepertinya aku harus mempersiapkan telingaku mendengar ceramah Felix setelah laki-laki itu menyudahi pertemuannya dengan Wisnu,” imbuhnya setelah menghela napas. *** Helena melemaskan jari-jari tangannya setelah selesai mengetik laporan yang akan diserahkan kepada Felix. Sambil menunggu print out laporannya keluar, Helena memutar pelan kepalanya yang sedikit pegal karena terlalu lama menatap layar komputer. Saat hendak menuju ruangan Felix untuk menyerahkan laporannya, suara asing seseorang yang memanggil namanya membuat Helena menghentikan langkah. “Ibu Helena?” orang tersebut kembali bertanya untuk memastikan. Helena menatap seorang laki-laki muda di depannya dengan ekspresi bingung. “Iya, saya sendiri,” jawabnya gamang. “Anda siapa ya?” Walau menyelidik, tapi ia tetap menjaga nada suaranya agar terdengar sopan. “Saya Doni dari rumah makan Pak Dewa, Bu,” laki-laki tersebut memperkenalkan namanya dengan sopan. “Saya mengantarkan makanan yang dipesan atas nama Bapak Felix, Bu. Kata resepsionis di bawah, saya disuruh menghadap Ibu Helena dulu sebelum menyerahkan makanan yang dipesan kepada Pak Felix,” sambungnya. Helena mengangguk. “Kamu boleh menyerahkannya kepada saya. Nanti biar saya yang memberikannya kepada Pak Felix,” pintanya. “Baik, Bu,” ujar Doni dan menyerahkan kantong plastik di tangannya kepada Helena. Helena langsung menerima kantong plastik yang diberikan oleh Doni. “Ternyata waktu makan siang sudah lewat setengah jam,” batinnya setelah melirik jam yang menghiasi pergelangan tangannya. “Sebentar ya,” ujarnya. Helena mengambil dompet setelah melihat jumlah tagihan yang harus dibayar atas makanan pesanan Felix tersebut. “Kembaliannya buat kamu saja,” imbuhnya setelah menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribuan. “Terima kasih banyak, Bu,” ucap Doni semringah setelah menerima uang dari Helena. “Saya pamit, Bu,” Doni berpamitan setelah Helena menanggapi ucapan terima kasihnya dengan anggukan. Setelah Doni pergi, Helena membawa makanan yang dipesan Felix ke ruangan laki-laki tersebut. Ia membuka pintu setelah ketukannya direspons oleh Felix dari dalam ruangan. “Kamu pesan makanan di rumah makan Pak Dewa, Fel?” tanyanya setelah berdiri di depan meja kerja Felix. “Makanannya sudah diantarkan?” Felix bertanya balik tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar komputer. “Sudah. Istirahatlah dulu, aku akan menyiapkan makananmu.” Helena menuju coffee table setelah meletakkan laporan yang sudah diselesaikannya pada meja kerja Felix. “Kita makan bersama. Aku yakin kamu juga belum makan siang.” Felix beranjak dari kursi kebesarannya dan menyusul Helena ke sofa. “Sudah kamu bayar tagihannya?” tanyanya hendak mencomot udang goreng tepung yang sudah dihidangkan oleh Helena. Helena spontan memukul punggung tangan Felix saat melihat gelagat sang atasan. “Biasakan cuci tangan dulu, Fel,” tegurnya. Meski mendengkus, tapi Felix mengindahkan teguran Helena. Ketika tidak melihat tanda-tanda Helena memasuki ruangannya untuk memberitahukan bahwa waktu makan siang telah tiba, Felix berasumsi jika sekretarisnya tersebut terlalu larut dalam melakukan pekerjaannya, sehingga melupakan keadaan perut mereka yang harus diberi asupan. Berhubung pekerjaannya masih banyak menanti, akhirnya Felix memutuskan untuk memesan makanan di rumah makan yang terletak tidak jauh dari lokasi kantornya melalui telepon. Ia akan mengajak Helena makan siang bersama di dalam ruangannya, sehingga mereka berdua tidak banyak membuang waktunya masing-masing. “Nanti aku ganti uangmu.” Felix mengambil tissue yang tersedia di atas coffee table untuk mengeringkan tangannya setelah keluar dari toilet. Helena langsung mengangguk, karena jika ia menolak maka Felix akan marah. Menurut atasannya tersebut, jika laki-laki ditraktir oleh seorang wanita, maka itu sama saja artinya dengan meremehkan sekaligus menginjak harga dirinya. Namun menurutnya pribadi, penilaian Felix tersebut dianggap mendramatisir. Sebenarnya tidak ada salahnya seorang wanita mentraktir laki-laki, asalkan dilakukan secara tulus dan ikhlas. Apalagi mentraktir pun harus disesuaikan dengan kemampuan finansial, agar jatuhnya tidak membebani. *** Sesuai rencana yang sudah disusunnya di kantor, sepulangnya dari apartemen Felix, Helena langsung menuju rumah Wira. Helena memarkirkan mobilnya di luar pagar, sebab halaman rumah Wira hanya mampu menampung satu unit mobil saja. Saat memasuki rumah Wira yang pintunya memang tidak tertutup, Helena terkejut melihat sosok Diandra yang ternyata juga turut hadir. Dilihatnya Diandra tengah menduduki salah satu sofa di ruang keluarga rumah Wira sedang serius mengobrol bersama Sonya sambil menikmati camilan. “Hai, Len. Kamu sudah datang ternyata,” sapa Wira yang datang dari arah dapur. Laki-laki tersebut berpenampilan kasual dan membawa segelas minuman dingin di tangannya. “Ayo kita gabung bareng mereka,” ajaknya. Ia mendahului Helena berjalan menuju tempat sepupu dan kekasihnya berada. Helena membalas sapaan Wira dengan senyuman. Tanpa membuka suara, ia langsung mengekori Wira yang berjalan menuju ruang keluarga. “Kalian berdua ini ya. Ada tamu datang bukannya disambut atau dipersilakan duduk, tapi malah diabaikan,” Wira menegur Diandra dan Sonya yang terlihat asyik mengobrol. “Benar-benar tuan rumah yang buruk,” gerutunya dengan nada pura-pura marah. Secara kompak Diandra dan Sonya langsung menghentikan obrolannya setelah mendengar teguran sekaligus gerutuan Wira. Keduanya hanya menyengir saat mendapati seorang wanita sudah berdiri di samping Wira. Mereka benar-benar tidak menyadari kedatangan Helena, karena saking serunya mengobrol. “Son, buatkan minuman untuk Helena,” pinta Wira setelah mempersilakan Helena duduk. Sonya langsung mengangguk. “Minuman dingin, panas, atau hangat, Len?” tanyanya setelah berdiri. “Minuman dingin saja, Son,” beri tahu Helena. “Baru pulang dari kantor, Len?” Diandra bertanya saat menyadari Helena masih menggunakan setelan formal. Helena mengangguk. “Mayra sudah tidur, Dee?” Ia mengambil camilan yang diangsurkan oleh Diandra. Helena menanyakan sang adik kepada Diandra karena ia belum sempat pulang. “Saat aku berpamitan sebelum ke sini, Mayra masih menonton bersama Bi Mira,” jawab Diandra apa adanya. “Terima kasih, Son,” ucap Helena setelah Sonya memberinya segelas minuman dingin seperti yang dimintanya. “Oh ya, Wira, orang yang kamu maksud tadi jadi datang malam ini?” tanyanya pada Wira, sebab ia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan orang yang akan menjadi dewa penolong bagi adiknya. Wira tersenyum sambil mengangguk. “Orang tersebut sudah datang dan sekarang sedang bersama kita,” jawabnya sambil mengalihkan tatapannya pada Diandra yang duduk di samping Sonya. Helena mengikuti arah tatapan Wira. Ia mengerutkan dahi dan mulai mencerna ucapan Wira tadi. “Ada apa dengan Dee?” Helena langsung menyuarakan kebingungannya. “Orang yang akan menjadi pendonor ginjal untuk Mayra adalah Dee, Len,” beri tahu Wira sambil mengamati reaksi Helena. Helena sungguh terkejut mendengar pemberitahuan Wira. Ia menatap lekat Diandra untuk mencari kebenaran dari ucapan Wira. “Be-benarkah, Dee?” tanyanya memastikan dengan nada terbata. Air mata Helena langsung menetes setelah Diandra menjawab pertanyaannya dengan anggukan kepala. “Benarkah kamu bersedia mendonorkan salah satu ginjalmu untuk adikku, Dee?” Sekali lagi Helena memastikan. “Iya, Len, aku bersedia,” kali ini Diandra langsung menjawabnya meski suaranya tercekat, sebab ia ikut terharu melihat reaksi Helena. “Sejak tiga minggu yang lalu Dee telah menjalani serangkaian pemeriksaan untuk mengetahui kecocokan ginjalnya dengan Mayra. Baru tadi pagi pihak rumah sakit menghubungi Dee sekaligus memberitahukan mengenai hasil pemeriksaannya. Ternyata ginjal Dee cocok dan bisa didonorkan kepada Mayra,” jelas Wira secara singkat. “Doa dan kesabaranmu dalam menanti seorang pendonor untuk Mayra akhirnya terjawab, Len,” imbuhnya. Helena beranjak dari duduknya setelah mendengar penjelasan singkat Wira. Tanpa ragu ia langsung berlutut di hadapan Diandra sebagai bentuk awal ucapan terima kasihnya. Walau belum lama bertemu dan menjalin hubungan persahabatan, Diandra sudah menjadi malaikat penolong untuk sang adik. “Selain ucapan terima kasih, aku tidak tahu lagi harus mengatakan apa atas pertolonganmu terhadap adikku, Dee,” ucap Helena yang kini sudah berurai air mata. Diandra sudah tidak bisa menahan cairan yang telah mendesak di matanya untuk segera menetes. Ia memerosotkan tubuhnya dan langsung mendekap Helena yang sudah terisak. “Bertemu dengan kalian, membuatku bisa merasakan cinta kasih keluarga. Kalian semua orang asing dalam hidupku. Namun, kalian tidak ragu memperlakukanku layaknya keluarga sendiri dan sedikit pun tanpa perhitungan,” ujarnya di sela isak tangisnya. Sonya ikut meneteskan air mata melihat pemandangan kedua sahabatnya. Walau dirinya yatim piatu, tapi ia sangat bersyukur mempunyai sahabat yang bisa membuatnya tidak pernah kesepian. Wira mendongakkan kepala untuk menghalau air matanya agar tidak menetes saat melihat kedua perempuan malang di hadapannya. Diandra yang keberadaannya selalu diabaikan dan sering diperlakukan tidak adil oleh keluarganya sendiri, terutama orang tuanya. Sedangkan Helena memikul beban yang seharusnya menjadi tanggung jawab orang lain, yaitu ibu tirinya sendiri. “Aku berjanji padamu, Dee. Aku bersedia melakukan apa saja demi bisa membalas pengorbanan sekaligus pertolongan yang kamu berikan kepada adikku,” batin Helena berjanji. *** Seorang wanita tengah menatap lama layar ponselnya yang memperlihatkan foto dirinya bersama sosok laki-laki tampan. Di lubuk hatinya yang paling dalam, ia sangat merindukan laki-laki tersebut. Terlebih setelah beberapa waktu lalu ia melihat langsung laki-laki tersebut, walau dari kejauhan. Bahkan, ia juga memberanikan diri berbicara dengan perempuan yang diyakininya mempunyai hubungan istimewa bersama laki-laki tersebut. Dulu, cinta yang dimiliki oleh laki-laki tersebut sangat besar dan tulus untuknya. Namun, karena keegoisan dan rasa iri yang dimilikinya terlampau besar sehingga mampu membutakan mata serta hatinya. Ia mengabaikan sekaligus menganggap remeh ketulusan cinta yang dimiliki oleh laki-laki tersebut. Wanita yang kini menitikkan air mata karena memendam rindu sekaligus dihantam rasa bersalah tersebut bernama Priska. Nama yang dulu selalu dipuja dan diucapkan penuh kelembutan oleh kekasih hatinya. Dulu dengan penuh kesadaran dan kesengajaan ia memanfaatkan ketulusan laki-laki tersebut. Bahkan, tanpa berbelas kasihan ia mempertontonkan kegiatan asusilanya demi membuat orang yang dibencinya menangis darah. Setelah Priska berhasil meraih tujuannya, ia baru menyadari jika dirinya telah kehilangan sesuatu yang sangat besar dan berarti dalam hidupnya. Kini, hanya penyesalan yang menggerogoti hatinya. Priska sangat ingin menemui laki-laki tersebut dan meminta maaf secara langsung, tapi ia takut niat tulusnya akan mendapat penolakan. Jika permintaan maafnya diterima, ia hanya ingin diberi kesempatan untuk menebus semua perbuatannya. Namun, setelah melihat sendiri interaksi antara laki-laki tersebut dengan perempuan yang bersamanya, Priska menjadi pesimis dan kesempatan itu tidak akan pernah ia dapatkan. “Tidak ada artinya jika kamu hanya menatap fotonya terus, Pris,” ucap perempuan yang usianya hanya selisih dua tahun di bawah Priska. “Tampan juga,” komentarnya setelah mencuri pandang ke arah layar ponsel di tangan Priska. “Jika langsung menemuinya, aku takut Felix menolakku, Ris,” Priska mengutarakan ketakutannya kepada Mariska yang tidak lain adalah adik kandungnya sendiri. “Kalau begitu coba hubungi saja dulu. Bukannya kamu sudah mengantongi nomor ponsel pribadinya,” Mariska memberikan solusinya kepada sang kakak. “Aku takut,” Priska mencicit. Mariska hanya mendengkus. “Salahmu sendiri, kenapa juga dulu menyia-siakan laki-laki yang tulus mencintaimu. Bahkan, kamu sengaja bercinta dengan kakak iparnya sendiri,” cibirnya dengan santai. Ia tidak menghiraukan ekspresi wajah Priska. “Aku dengar laki-laki yang kamu campakkan itu kini sudah menjadi pengusaha sukses. Usaha miliknya kini berkembang pesat, klien-kliennya juga kebanyakan dari perusahaan besar,” imbuhnya. Priska mengangguk lemah. Semua yang dikatakan Mariska memang benar adanya. Andai saja ia dulu melupakan dendamnya dan mau bersabar, pasti keadaannya kini tidak akan sulit seperti sekarang. Bahkan, tempat tinggal tetap pun kini ia tidak punya. Ia bersama adik dan sang ibu kini tinggal di sebuah rumah kontrakan. Sang ibu kembali menemuinya setelah suami ketiganya meninggal dan hartanya dihabiskan di meja judi. Karena sudah tidak mempunyai uang untuk digunakan berjudi lagi, sang ibu pun akhirnya mau bekerja sebagai tukang cuci piring di sebuah rumah makan. Sedangkan ia dan Mariska bekerja sebagai waitress di sebuah restoran. “Selain sukses, sekarang Felix juga sudah bersama seseorang dan mereka terlihat sangat bahagia,” Priska menambahkan dalam hati. Dadanya kembali dihantam rasa sesak saat mengingat kebersamaan Felix dan pasangannya yang ia lihat secara diam-diam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN