Part 15: Brother's Love

1347 Kata
"Allah yang Maha Adil, Maha Bijaksana. Setiap amal perbuatan, entah itu amal baik atau amal buruk, akan mendapat balasan yang setimpal. Entah itu di dunia atau nanti di akhirat." Bhanu Pov Ingatanku melayang pada percakapanku dengan Bastian beberapa hari yang lalu Flashback Qiana kini sudah ditangani oleh dokter jaga dan kini kondisinya sudah stabil. Tapi perempuan itu masih berada di ruang IGD, menunggu dipindahkan ke ruang rawat inap. Aku dan Bastian sedang berada di pinggir brankar mengamati Qiana dengan perban yang yang membalut pergelangan tangannya. “Lo utang cerita sama gue, Bhan,” ucap Bastian sambil menatapku. Aku menoleh ke arah Bastian lalu kembali menatap Qiana. “Dia, Qiana Alisha, istri gue, Bas. Gue udah nikah sama dia,” jelasku dengan ekspresi datar. “Nanti gue cerita sama lo, Bas. Tapi please, gak sekarang. Gue nunggu Qia dipindah ke ruang rawat dulu baru nanti gue cerita di ruang praktik lo.” === “Gila lo, Bhan!” pekik Bastian tak habis pikir dengan apa yang dilakukan sahabatnya itu. Aku dan Bastian kini sudah berada di ruang praktiknya yang ada di rumah sakit. Aku sudah menceritakan alasan palsuku menikahi Qiana.“Terus gimana sama Ghendis, Bhan? Gimana kalau Ghendis sadar? Lo mau ninggalin Ghendis gitu aja?” tanyanya begitu emosi.“Nggak, Bas. Gue gak akan tinggalin Ghendis. Lo tenang aja.” Apa dia pikir aku sudah tidak waras meninggalkan Ghendis begitu saja?“Terus?” tanyanya sambil mengernyitkan dahi. “Nanti kalau Ghendis udah sadar, gue akan ceraikan Qiana,” jawabku dengan entengnya. Mengucapkan cerai seperti membuang sampah yang sudah tidak digunakan lagi. Sangat mudah. “Sinting lo! Kalau begitu caranya lo gak usah nikahin Qiana! Kok lo jadi mainin perempuan begini sih, Bhan? Aku yang gue kenal gak kayak begini!” dengusnya emosi. Bastian memang hafal sekali tabiat dan karakterku. Aku memang bukan pemain perempuan. Aku adalah lelaki yang menjunjung tinggi kesetiaan. Tapi demi terbalasnya dendamku, aku jadi melakukan itu. Biarlah Bastian menganggapku lelaki b******k yang memainkan perempuan. Aku memang tidak cerita jika kecelakaan yang dialami ibuku dan Ghendis diakibatkan kelalaian perempuan itu. Ia hanya tahu jika ibu dan Ghendis kecelakaan mobil biasa dan aku pun enggan menceritakannya dengan detail. Memang lebih baik dia tidak tahu apa pun tentang kejadian itu. Bastian memicingkan matanya menatapku. “Apa jangan-jangan ada alasan lain yang lo sembunyiin?” tebaknya dengan tepat. Tapi sayang, aku tidak akan jujur padanya untuk saat ini. Entah jika nanti ke depannya aku harus jujur padanya, kita lihat saja nanti. “Gue cuma nolongin dia dan keluarganya aja, Bas. Kasihan kalau dia kemarin gak jadi nikah gara-gara ditinggal calon mempelai pria-nya. Gue cuma mau nolong aja,” tegasku berbohong. “Gak masuk ke nalar gue, Bhan!”“Terserah lo!” Aku mendengus tak suka dengan sikap Bastian yang terlalu ingin tahu urusan pribadiku. “Lo gak perlu ikut campur terlalu dalam urusan pribadi gue, Bas. Cukup tolong sembuhin Ghendis aja. Masalah Qiana itu urusan gue!”Usai mengatakan hal itu, aku meninggalkan ruangan praktik Bastian menuju ruang rawat Qiana. === Aku melipat kedua tangannya sambil menatap Qiana yang belum sadar. Ia masih tak habis pikir dengan jalan pikiran Qiana yang nekad bunuh diri. Ia masih terngiang cerita dari Ina tentang kronologis Qiana bisa menyayat nadinya. “Mbak Qiana awalnya hanya minta istirahat di kamar lalu saya temani seperti biasa. Tapi dia minta saya bantu Mbok Isah di dapur. Saya awalnya gak mau ninggalin Mbak Qia tapi dia coba yakinin saya kalau dia gak apa-apa ditinggal sendiri. Akhrinya ya sudah saya tinggal. Pas saya mau simpan air minum ke kamarnya, Mbak Qiana sudah tergeletak di lantai dengan nadi yang berdarah. Habis itu, saya langsung telepon Pak Aku.” Aku telah menyuruh Ina untuk pulang karena ia ingin menjaga Qiana seorang diri. Kali ini aku harus benar-benar bersikap lembut. Aku harus menekan rasa benciku pada perempuan buta itu agar rencana balas dendamku bisa dengan mudah terlaksana. Aku kembali mendesah dan mengamati wajahnya yang pucat dari dekat. Jika diamati dengan intens, perempuan itu termasuk perempuan yang memiliki wajah yang manis, menurutku. Warna kulitnya yang kuning langsat tak membuatnya kalah cantik dengan Ghendis yang memilki kulit putih. Tubuhnya juga proporsional, tidak gemuk dan tidak kurus. Wajahnya juga bersih dan terawat. Hidungnya tidak terlalu mancung memang, alisnya juga tertata rapi, dan bulu mata yang panjang dan lentik. Komposisi tersebutlah yang membuat wajahnya terlihat manis dan menarik di mataku. Andaikan aku belum mempunyai Ghendis dan andaikan bukan dia penyebab kecelakaan yang menimpa ibunya dan Ghendis, mungkin … ya mungkin aku akan jatuh cinta padanya. Aku menggelengkan kepala dengan cepat, mengenyahkan pikiran aneh yang melintas di kepala. “Gak! Gak boleh sampai terjadi. Aku cuma cinta Ghendis!” batinku. Netraku menangkap air mata yang menggantung di sudut matanya. Lalu perlahan air mata itu jatuh membuat aliran di pelipisnya. Perempuan itu menangis dalam tidurnya? Apa yang dia impikan sampai membuatnya meneteskan air mata? Apakah tindakanku kemarin begitu melukainya sampai sedalam itu? Aku menghapus air mata di pelipisnya dengan jari tanganku. Saat aku tengah merenung, pintu kamar rawat inap terbuka dan muncullah keluarganya. Ada Ayah Zaidan, Mama Elana, dan kedua adik lelaki Qiana –Attar dan Mirza-. Aku langsung memberi ruang bagi mereka untuk berdekatan dengan Qiana. Aku pun meminta maaf karena lalai menjaganya sehingga perempuan itu nekad untuk bunuh diri. Saat Zaidan dan Elana masih sibuk memerhatikan Qia, aku merasa bahuku ditepuk oleh seseorang. “Mirza mau bicara di luar sebentar bisa, Mas? Sekalian aku mau beli kopi di kantin,” ajak Mirza dengan sopan. Aku mengangguk lalu bersamanya meninggalkan kamar rawat. Kami berjalan di lorong rumah sakit yang agak ramai menuju kantin rumah sakit. “Aku menaruh harapan besar sama Mas,” ucap Mirza membuka pembicaraan. Aku hanya menoleh sekilas lalu kembali menatap lantai lorong. “Mbak Qiana itu permata hati di keluarga kami. Jadi, aku harap Mas Aku bisa bantu Mbak Qiana biar bisa bangkit.” Tiba-tiba saja lorong rumah sakit sepi dan Mirza menghentikan langkahnya. Hal itu juga membuat aku ikut menghentikan langkahnya dan berada di samping Mirza. “Kami gak tahu apa niat Mas sebenarnya.” Jantung Aku berdetak kencang. Ia khawatir niatnya malah diketahui oleh Mirza. Tidak! Rencananya tidak boleh gagal! “Tapi kami yakin kalau gak mungkin Allah kebetulan mengirim Mas Aku saat Mas Arshan tega meninggalkan Mbak Qia di hari pernikahannya. Tolong jaga dan bahagiakan Mbak Qia ya, Mas?” Lidahku terasa kelu dan kaku untuk menjawab pertanyaan Mirza yang sederhana. Aku terdiam sejenak lalu dengan cepat menguasai diri. Rencananya tak boleh gagal. Aku harus bisa meyakinkan keluarganya jika diriku benar-benar sanggup membahagiakan perempuan itu. Aku menyunggingkan senyum lebar sambil mengangguk. Aku harus bisa berakting dengan sempurna. “Kamu tenang aja, Adik Ipar. Insya Allah Mas akan bahagiain kakak kamu.” “Alhamdulillah, aku lega dengarnya, Mas. Aku tahu kalian belum saling kenal apalagi jatuh cinta. Tapi cinta bisa datang karena terbiasa, kan? Aku harap kalian bisa secepatnya saling mencintai.” Aku hanya bisa tersenyum saja, tapi lain dengan hatinya yang menolak dengan keras. Cintaku sudah kupersembahkan hanya untuk Ghendis seorang, bukan untuk perempuan itu. === “Menurut kamu apa yang harus aku lakukan dengan si pengemudi itu, Qiana?” tanyaku pada perempuan ini. Kami memang sedang terlibat pembicaraan serius dan aku ingin tahu apa tanggapannya saat aku menceritakan kejadian yang menimpa ibuku. “Tentu saja jika begitu kejadiannya, pengemudi itu harus bertanggungjawab,” jawabnya. “Bagaimana dia harus bertanggungjawab sedangkan dia dibebaskan dari hukum yang menjeratnya?” tanyaku lagi. “Aku kurang paham tentang hukum. Tapi kurasa kamu bisa mengupayakan cara lain, Kak.” “Cara lain seperti apa misalnya?” pancingku lagi. “Ya mungkin kamu bisa sewa pengacara dan minta untuk kembali meninjau kasus itu dan membuat tuntutan baru?” Aku hanya mendesah pelan. “Aku memang sedang mengupayakan cara lain, tapi bukan melalui proses hukum. Aku hanya berdoa semoga orang itu diberi balasan yang setimpal bahkan lebih sakit dari kehilangan yang aku rasakan,” ucapku sambil menatap wajahnya dengan penuh rasa marah dan dendam. Untung saja perempuan itu tak bisa melihat. “Aamiin, semoga orang itu mendapat balasan yang setimpal.” "Aamiin, ya kuharap begitu," jawabku sambil tersenyum sinis padanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN