Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Duhai Sang Pemilik Cahaya, mengapa Engkau menutup cahaya untuk penglihatanku? Sehingga aku tak bisa menikmati keindahan ciptaan-Mu dan melanjutkan mimpiku?
Qiana Pov
Gelap.
Hanya kegelapan yang berteman akrab denganku saat ini. Rasanya, dunia sudah tak sama lagi sekarang. Hidupku, semuanya sudah hancur sejak mataku ini tak bisa lagi melihat apa pun. Sepertinya aku harus mengubur dalam impianku menjadi seorang penulis besar. Entahlah, aku tak tahu lagi apa yang bisa aku lakukan dengan segala keterbatasanku saat ini. Saat ini aku sedang sendiri di kamar rawat sedangkan Mama Elana sedang ke kantin untuk membeli makanan. Saat aku sedang merenungi nasibku, tiba-tiba saja kudengar suara pintu terbuka. Tak lama, terdengar juga suara langkah kaki yang berangsur mendekat ke arahku. Aku yakin ini bukan mama, entah siapa aku pun tak tahu.
“Siapa?” kuberanikan diri untuk bertanya.
“Aku Arshan, Qia.”
Aku tertawa tipis. “Aku sekarang buta, Ar. Apa kamu ke sini mau membatalkan rencana pernikahan kita?” tanyaku datar. Entah mengapa diriku langsung to the point dan tak ingin bertele-tele.
Arshan Lavana. Dia adalah lelaki yang telah melamarku dua bulan yang lalu. Dia adalah salah satu manajer di perusahaan penerbit. Kami kenal karena awalnya aku iseng mencoba untuk memasukkan naskah novelku ke penerbit ternama tempatnya bekerja. Aku yang masih newbie dalam hal menulis tak lolos karena masih banyak kekurangan pada naskahku. Tapi, sebagai gantinya aku berkenalan dengannya. Setelah dua bulan mengenal, Arshan menyatakan keseriusannya untuk menjalin hubungan yang lebih serius denganku. Karena aku tak ingin pacaran, maka aku tantang dirinya untuk proses ta’aruf dan ia pun menyanggupi. Ternyata kami cocok dan berlanjut khitbah, hingga merencanakan pernikahan yang akan dilaksanakan dua minggu lagi.
Tapi, kecelakaan yang aku alami mengubah semuanya. Entahlah apa Arshan masih berniat melanjutkan pernikahan ini atau tidak. Tapi, sebagai laki-laki pada umumnya, aku sangat yakin Arshan akan memilih perempuan normal yang bisa melaksanakan kewajiban dan haknya sebagai seorang istri dan tidak banyak merepotkan orang lain, seperti diriku.
“Aku datang ke sini untuk jenguk kamu, Qi,” jawabnya lagi.
“Kamu datang sendiri?” tanyaku.
“Iya, aku datang sendiri.”
Aku hanya menganggukkan kepalaku, paham. “Ya, kamu sudah lihat. Beginilah kondisiku sekarang. Ar. Aku gak bisa melihat. Mataku buta dan entah ini akan berlangsung hanya sementara atau selamanya.”
Kemudian hening menyelimuti kami berdua. Entah apa yang dia pikirkan, aku tak tahu dan tak mau repot untuk menebaknya. Aku pun memberanikan diri untuk kembali buka suara.
“Kalau kamu keberatan dengan keadaanku sekarang, kamu boleh membatalkan pernikahan kita, Ar. Semuanya masih mungkin dan belum terlambat. Aku tidak keberatan,” ucapku mantap. Ya, meski di lisan aku berucap begitu yakin, namun yang sebenarnya adalah hatiku sudah hancur berkeping-keping. Tapi, aku tak mau terlihat lemah di depannya. Qiana haruslah menjaadi perempuan yang tegar dan kuat, itulah prinsip yang berusaha akun jaga selama ini.
“Kenapa kamu berpikiran seperti itu, Qi?”
“Aku buta, Ar! Aku gak bisa ngapa-ngapain. Kalau nanti kita menikah, belum tentu aku bisa menjalankan kewajiban dan hak aku sebagai seorang istri dengan normal. Kamu mau nikahin perempuan buta kayak aku gini?” tanya berunut panjang.
“Aku sama sekali gak masalah dengan keadaan kamu sekarang, Qi.”
“Kamu gak usah sungkan sama aku, Ar. Jujur saja. Aku gak apa-apa,” tantangku lagi.
“Aku mau menikah sama kamu alasan utamanya bukan karena fisik. Tapi, karena kita punya visi dan tujuan yang sama dalam pernikahan. Mata kamu yang buta masih bisa kita ikhtiarkan untuk sembuh. Kamu gak usah putus asa, kita bisa laluin ini sama-sama berdua. Insya Allah, aku akan selalu ada di samping kamu,” jawabnya dengan lembut dan nada yang tulus.
Air mata yang sekuat mungkin kutahan akhirnya tak mampu kubendung lagi. Bolehkah hatiku berbunga atas jawabannya tadi? Kuakui, memang saat ini aku berada di titik terendahku dan akun butuh orang-orang terdekatku untuk mendukung dan menguatkanku. Bolehkah aku memercayai Arshan dan ucapannya tadi?
“Apa kamu serius?” tanyaku kembali meyakinkan.
“Sangat serius, Qiana. Aku tak pernah bermain-main dengan pernikahan apalagi itu adalah ibadah yang panjang. Aku sudah merasa kalau kamulah yang cocok untuk menjadi pendampingku. Kita sama-sama meniti jalan ke surga Allah, ya?”
Hatiku semakin dibuat meleleh olehnya. Ya Allah semoga saja lelaki ini tidak berbohong, doaku dalam hati. Dalam hati aku juga berdo’a agar Allah meridhai dan memudahkan jalan kami untuk menuju pernikahan, aamiin.
“Kamu gak perlu khawatir dengan pernikahan kita, Qia. Semua akan tetap berjalan sebagaimana mestinya. Sekarang kamu fokus dengan kesehatan kamu supaya saat hari pernikahan kita nanti, kamu sudah pulih. Tentang kelanjutan persiapan pernikahan kita, biar nanti aku yang bicarakan dengan Ayah Zaidan dan Mama Elana, kamu gak perlu cemas, ya?”
===
Hari yang kutunggu-tunggu akhirnya tiba. Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Arshan. Semula pernikahan kamu akan diselenggarakan di gedung, tetapi karena kondisiku yang belum terlalu pulih pasca kecelakaan, akhirnya akad dan resepsi diselenggarakan di rumah kedua orang tuaku. Ya, akhirnya pernikahan kami diadakan dengan sederhana.
Aku yang sudah dirias dan memakai kebaya, sedang menunggu di dalam kamar pengantin. Jujur, hatiku berdebar, perasaan campur aduk tak menentu. Mama Elana sudah berulang kali mengingatkanku untuk terus berdzikir agar hatiku tenang.
Aku ditemani oleh kedua adik lelakiku, Attar dan Mirza. Keduanya sangat aku sayangi, meski Mirza terlahir dari beda ibu, tapi aku tetap menyayanginya seperti Attar. Keduanya selalu kompak meski memiliki karakter yang bertolak belakang.
“Mbak Qia, cantik,” ucap Mirza.
“Ck, kamu udah bilang itu untuk ke yang seribu kali, Za,” ucapku berlebihan. Ya, sedari awal menemaniku dirias, dia sudah berulang kali mengatakan aku cantik.
“Aku jujur kok, ya kang Bang Attar.”
“Ya, benar Mbak,” jawab Attar.
Aku hanya menghela napas panjang. Lalu tiba-tiba Attar mendadak pamit meninggalkan kamar. Aku tak tahu dia pergi kemana. Jadi, aku hanya ditemani Mirza.
“Za?”
“Ya, Mbak?”
“Kenapa Allah bikin Mbak jadi buta, ya? Apa dosa, Mbak, Za?” tanyaku lesu.
“Mbak Qia gak boleh seperti itu. Mama sering bilang sama kita, kalau kita gak boleh mempertanyakan kenapa Allah menakdirkan ini sama kita. Allah tidak ditanya tentang apa yang Dia perbuat karena Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana, sedangkan kita makhluknya tidak tahu apa-apa. Justru kitalah nanti yang akan ditanya, apa yang kita perbuat dan kenapa kita berbuat demikian.”
“Tapi, Mbak rasanya gak kuat, Za,” ucapku melemah.
“Mbak Qia harus yakin kalau Allah tidak salah memberikan ujian pada hamba-Nya. Allha juga yang paling sayang sama Mbak Qia, melebihi sayangnya ayah, mama, aku dan Bang Attar. Mbak Qia harus yakin itu.”
Aku tersenyum tipis mendengar jawaban adikku. Meski anak bungsu, Mirza memang berpikiran lebih dewasa disbanding Attar.
“Berapa lama lagi akadnya mulai, Za? Arshan dan keluarganya udah datang kan, ya?” tanyaku gugup.
“Sebentar lagi, Mbak. Harusnya sih mereka sudah datang dan udah di bawah. Hmm, aku cek dulu gimana? Mbak aku tinggal sendiri, gak apa-apa?”
“Iya, Mbak gak apa-apa sendiri di sini. Sana kamu ke bawah,” ucapku.
Sepeninggal Mirza, entah mengapa aku merasakan firasat yang semakin tidak enak.
===
Air mata menganak sungai di wajahku. Mama Elana menangis tersedu di sampingku sambil memegang erat tanganku.
“Arshan b******k!” maki Attar. “Harusnya dia bilang aja dari awal kalau gak mau lanjutin pernikahan sama Mbak Qia. Bukan batalin pas hari H begini!” kudengar Attar berapi-api. Attar memang berwatak keras tegas dan gampang tersulut emosinya berbeda dengan Mirza yang cenderung lebih bisa untuk sabar dan lembut.
Aku hanya bisa memejamkan mata untuk menahan rasa perih yang menjalar di d**a. Ya, benar apa yang dikatakan Attar tadi. Kalau begini, secara tak langsung aku sudah membuat malu kedua orang tuaku. Artinya pernikahan ini batal, kan?
“Sudah Attar, jangan emosi,” ucap Mamaku menenangkan Attar. “Kamu yang sabar ya, Qia. Insya Allah kamu kuat dan ada hikmah dibalik semua kejadian ini,” ucap Mama menghiburku.
“Apa yang dilakukan Arshan udah benar kok, Ma. Siapa yang mau sama perempuan buta kayak aku, Arshan kan lelaki normal. Dia pasti mau istrinya yang normal juga, Ma,” jawabku.
Ya, pasti tidak ada lelaki normal yang mau mempersunting perempuan buta seperti aku untuk jadi istrinya. Aku, pasti lebih banyak menyusahkannya.
Tiba-tiba saja, aku mendengar suara Ayah Zaidan yang berucap lantang dan berita yang disampaikan membuat kami semua terkejut.
“Acara pernikahan akan tetap dilaksanakan,” ucap ayah.
“Arshan udah datang, Yah?” tanya mama.
“Nggak, Arshan gak datang.”
“Lalu?” tanya mama lagi.
“Ada lelaki yang bernama Bhanu yang siap menggantikan posisi Arshan sebagai mempelai lelaki.”
“Apaaa?!”
Siapa Bhanu?