Part 12: He Knows

1250 Kata
"Hati memang tidak bisa dibohongi. Kadang, aku merasa lelah dan ingin mengakhiri ini semua, tapi aku kembali marah saat mengingat apa yang terjadi dengan dua perempuan yang kusayangi. Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan?" Bhanu Pov Hubunganku dengan perempuan buta itu masih renggang. Aku memang sempat pulang ke rumah bertepatan dengan insiden yang menimpanya. Aku juga sempat mengobati lukanya. Tapi belum sembuh luka di tangannya aku malah menambahnya dengan luka hati yang baru. Apalagi perempuan itu dengan cerobohnya merusak barang kesayangan ibu. Aku jadi tambah kesal. Entahlah, aku tak mau peduli dengan perasaannya. Jika dia merasa sakit hati, itu belum seberapa dengan sakit yang kurasakan. Apa aku salah menempatkannya di rumahku? Apakah aku seharusnya menempatkan dia di apartemen saja agar tak merusak barang-barang pecah belah peninggalan ibu karena kecerobohannya? Supaya dia juga tidak kenal Mbok Isah dan mengorek informasi tentangku? Huh, rasanya kepalaku ingin pecah karena memikirkan itu semua. Aku mendesah pelan sambil menikmati kopi pagiku dan menatap pemandangan gedung bertingkat dari jendela ruang kantorku. Sambil menyesap kopi, pikiranku berkelana tentang rencanaku pada perempuan buta itu. Jika melihat hubungan kami sekarang, tentu aku senang karena inilah yang aku mau. Aku sempat terpikir untuk tetap mengabaikan dia di rumah. Toh masih ada Ina dan Mbok Isah yang menemaninya. Dengan pengabaian yang kulakukan sekarang, ia pasti merasa menderita karena aku tak menganggapnya ada. Tapi, aku merasa ini terlalu cepat apalagi jika keluarganya tahu jika memang aku tidak bermaksud baik padanya. Sakit yang kutorehkan padanya belum sebanding dengan sakit yang kurasakan. Aku menggelengkan kepalaku. Bukan, bukan itu yang kumau. Sepertinya aku harus tetap menjalankan rencana awal. Menjadi Bhanu yang manis dan menerimanya, membantu dirinya bangkit dari keterpurukan dan membuatnya jatuh cinta padaku. Setelah ia cinta dan bergantung padaku, barulah aku akan menceraikannya. Ya, sepertinya rencana kedua ini akan lebih membuat efek kesedihan yang mendalam dibanding rencana pertamaku. Namun, kekurangan untuk rencana ini adalah aku harus bisa berpura-pura dan menutupi perasaan benciku yang masih sering muncul. Tapi, aku memang harus berkorban bukan demi terbalasnya rasa sakitku pada perempuan buta itu? Ah, sepertinya aku harus mulai memperbaiki hubunganku dengannya. Semoga saja perempuan buta itu dengan bodohnya mau menerimaku lagi yang sudah mengabaikannya. === Aku bekerja seperti biasa. Hubunganku dengan Arshan juga masih professional dengan mengesampingkan apa yang sudah terjadi antara kami berdua. Jika menuruti egoku sebagai seorang pimpinan, aku ingin sekali memecatnya karena berani membicarakan urusan pribadi di kantor. Apalagi kami juga sempat terlibat adu fisik tempo hari saat ia menghadap ke ruanganku. Namun, aku tidak bisa bertindak seperti itu. Aku adalah lelaki yang professional tidak mencampuradukkan urusan pribadi dan pekerjaan. Aku melihat kinerjanya masih tergolong baik di perusahaanku, maka aku tidak punya alasan yang valid untuk memecatnya. Setelah pembicaraan kami berdua sore itu, berakhir dengan adu bogem. Tak ada orang kantor yang berani menyelidiki meski wajah kami sama-sama babak belur. Aku memang mendengar selentingan kabar gossip yang beredar di kantor tentang aku dan Arshan dari sekretarisku tapi aku membiarkannya saja. Toh nanti lama kelamaan akan hilang, pikirku. Kini aku sedang rapat dengan tim editor dan juga Arshan. Kami membicarakan buku-buku penulis yang akan terbit bulan depan. Namun, di tengah rapat tiba-tiba aku mendapat panggilan yang membuat jantungku rasanya berhenti berdetak saat itu juga. === Aku meninggalkan meeting di kantor saat mendapat telepon dari rumah sakit. Pihak RS kembali mengabarkan jika kondisi Ghendis kritis. Tanpa pikir panjang, aku langsung menyerahkan rapat pada wakilku dan bergegas menuju rumah sakit. Ghendis adalah satu-satunya yang aku punya sekarang dan dialah yang jadi prioritas utamaku. Ghendis tak boleh meninggalkanku seperti ibu. Aku berlari dari parkiran menuju ruang ICU. Terlihat Bastian sedang memandangi Ghendis dari kaca luar ruang ICU. Aku yang terengah segera menepuk bahu Bastian. “Ghendis gak apa-apa kan, Bas? Dia baik-baik aja, kan?” “Alhamdulillah kondisinya udah membaik, Bhan. Tadi memang sempat drop, tapi Alhamdulillah atas izin Allah kondisinya kembali baik.” Aku merasa beban berat dan sesak di d**a terangkat begitu saja ketika mendengar kabar baik yang disampaikan Bastian. Aku mencoba untuk menormalkan napas yang terengah sambil menatap sendu ke arah Ghendis. “Sampai kapan dia begini, Bas?” tanyaku parau. Kondisi Ghendis sempat drop beberapa kali dan itu membuatku was-was. Mau sampai kapan kamu begini, Sayang? Bastian hanya bisa memandang penuh empati pada sahabatnya itu. “Gue sebagai dokter cuma bisa berusaha, Bas. Gue bukan Tuhan. Gue gak bisa prediksi kapan Ghendis bisa sadar dan sembuh. Kita cuma bisa banyak berdoa aja.” Bastian kembali memberikan jawaban yang sama. Aku menghela napas panjang. “Gimana kalau kita ngobrol sambil ngopi di café depan? Gue udah beres praktik dan kayaknya kita udah lama banget gak ngopi bareng,” tawar Bastian. “Lu duluan aja, nanti gue nyusul. Gue masih mau di sini sebentar.” Bastian menganggukkan kepalanya lalu menepuk bahuku. Setelah itu ia melenggang meninggalkan kamar ICU. Aku mendekati Ghendis dan menggenggam tangannya dengan pelan, khawatir menyakiti perempuan yang amat kusayangi itu. Jujur, saat mendengar kabar Ghendis yang kritis, jantungku seakan lepas dari tempatnya. Aku tak punya alasan untuk hidup lagi jika dia juga pergi meninggalkanku seperti ibu. Aku hanya punye Ghendis dan begitu juga sebaliknya, mengingat dia perempuan yang sebatang kara tak punya keluarga lagi. “Dis, ini Mas, Sayang. Mas datang jenguk kamu.” Aku mengelus telapak tangan Ghendis sambil menitikkan air mata. “Mas selalu berdoa supaya kamu segera sadar dan sembuh seperti dulu. Biar kita bisa melanjutkan rencana pernikahan yang tertunda karena musibah sialan ini!” Amarah kembali menggelegak di dadaku saat mengingat kecelakaan yang menghancurkan hidupnya. Aku bahkan tidak berniat untuk memperbaiki jarak yang membentang di antara kami. Aku masih butuh waktu entah sampai kapan. “Bangun, Sayang. Mas akan selalu ada buat kamu, tolong jangan tinggalin Mas seperti ibu. Mas gang sanggup, Dis.” Aku tak bisa membayangkan apa jadinya aku tanpa Ghendis di sisiku. Aku berusaha menekan perasaan untuk menghalau air mata yang hendak mengalir deras. Prinsipku adalah boleh menitikkan air mata, tapi untuk menangis terisak dan tergugu, aku sebisa mungkin untuk menahannya. Meski Ghendis tak sadar, tapi tetap saja aku harus terlihat kuat dan tegar di depannya. “Mas pulang dulu ya, Sayang. Mas janji akan membalaskan ini semua sama perempuan itu! Dia harus tanggung jawab buat semua ini!” tekadku sudah bulat. === Aku dan Bastian kini sedang berada di café kopi depan RS. Kami menempati meja yang menghadap ke arah jalanan dan menikmati kopi Americano sambil menatap padatnya jalanan. “Lo kelihatan agak kurus, Bhan.” Bastian coba berkomentar. Aku hanya tersenyum miris usai menyeruput cairan hitam di cangkir. “Gue mana bisa enak nelen makanan setelah ibu gue meninggal dan Ghendis koma, Bas. Gue rasa lo bisa bayangin itu.” “Justru itu, lo masih punya Ghendis, Bhan. Lo harus tetap kuat dan sehat demi dia. Jangan sampai lo kurang makan dan istirahat terus jadi sakit. Siapa yang bakalan jagain Ghendis kalau lo sakit?” Bastian terus memprovokasi Aku. Aku terdiam sejenak. Ah ya, benar juga! Kalau diriku sakit lalu nanti siapa yang akan membalaskan dendam sang ibu dan Ghendis pada Qiana? Tidak, perempuan itu tidak boleh lepas dan hidup bahagia begitu saja! Tiba-tiba saja ponselku berdering dan memunculkan nama Ina. Bastian sempat mengernyitkan dahi, penasaran akan sosok Ina. “Kenapa, Na?” …. “Apa?!” ….. “Kamu bawa ke rumah sakit sekarang juga! Saya nanti nyusul.” Aku langsung menutup panggilannya. “Kenapa, Bhan?” “Tolongin gue, Bas! Qiana lagi dibawa ke rumah sakit lo, dia mau coba bunuh diri!” “Siapa Qiana?” “Dia … dia … dia istri gue.” “Istri?!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN