WCC 7 - 10 Cara Menaklukkan Hati Danu

1443 Kata
Keesokkan harinya Keke meminta izin pada Zahra untuk tidak masuk kantor. Zahra menyetujuinya. Tidak ada alasan bagi Zahra untuk melarang Keke menghabiskan waktunya untuk berlibur. Lagi pula Zahra tahu, sebagai penulis, Keke memang sudah sewajarnya berlibur dan bersantai agar karangan yang di tulisnya tidak monoton.   Keke mengambil smartphone-nya dan langsung menelepon Zahra. Dia seperti anak sekolah yang hendak meminta izin tidak masuk kepada gurunya.   “Zara, aku izin tidak masuk.” kata Keke lewat telepon.   “Kamu mau ke mana?” tanya Zahra.   “Aku ada urusan mendadak. Ini begitu penting untuk kelangsungan hidup aku.” kata Keke pura-pura serius.   Dalam hati Keke sedang tertawa dan meminta maaf pada Zahra karena telah berbohong. Dia hanya ingin di rumah, tidak mau ke kantor. Dia sedang mengikuti cara mendekati Danu berdasarkan artikel yang dibacanya.   “Baiklah, semoga cepat selesai ya, u-ru-san-nya.” kata Zahra. Zahra menyetujuinya begitu saja tanpa melihat jadwal Keke yang seharusnya ada jadwal rapat untuk peluncuran buku terbarunya hari ini.   Zahra memberi penekanan pada kata ‘urusan’, Zahra sangat paham kalau saat ini Keke sedang berbohong padanya.   “Hahaha, kamu memang terbaik. Kututup ya, Bye. Ingat jangan rindu. Kata Dilan rindu itu berat, biar Dilan saja.” kata Keke.   “Baiklah-baiklah, terserah kau saja. Bye.” kata Zahra. Sembari memutus sambungan.   Setelah menelepon, Keke berjalan menuju meja belajar, di sana sudah ada laptop biru kesayangannya yang sedang beristirahat dengan tenang karena Si Empu sedang sibuk mengerjakan sesuatu yang dirasa sangat menarik perhatiannya.   Keke mengambil syal miliknya dari loker lalu mengikat kepalanya dengan syal tersebut, tanda dia akan berperang menaklukkan Danu bagaimanapun caranya.   TOK TOK TOK!   Setelah ketukan pintu ketiga, Rina masuk ke dalam kamar Keke. Melihat Keke yang mengikat kepalanya dengan menggunakan syal membuat Rina terkejut dan memandang Keke bingung.   “Kamu tidak pergi ke kantor, Nak? Apa yang sedang kamu kenakan, Nak?” tanya Rina.   “Ehehe..” Keke terkekeh bingung sambil menyentuh syal yang ada di kepalanya.   Keke memacu otaknya dengan cepat mencari sebuah alasan.   “Ah, iya, Ma. Kepalaku sakit sekali jadi aku ikat dengan syal ini.” kata Keke. Hanya itu satu-satunya alasan masuk akal yang ditawarkan akal sehatnya.   Rina menghampiri Keke lalu mengecek suhu tubuh Keke melalui dahi Keke dengan cara menempelkan punggung tangannya sebentar.   “Badanmu, tidak panas.” kata Rina, heran.   “Akukan mengatakan kalau kepalaku pusing Ma, bukan demam.” kata Keke tidak kehabisan akal.   “Sebentar, Mama ambilkan obat pusing dulu.” kata Mama.   Keke pura-pura memijat kepalanya yang tidak pusing sama sekali untuk mendalami sandiwaranya. “Baiklah, Ma.” kata Keke.   Mau tidak mau, Keke kembali meletakkan smartphone-nya. Lalu bergegas ke atas tempat tidur. Dia sangat afal apa yang akan dilakukan oleh ibunya. Rina pasti akan kembali ke kamar Keke.   Tak lama kemudian Rina pun langsung kembali lagi ke dalam kamar Keke. Rina membawakan obat sakit kepala dan segelas air putih.   “Ini, minum obatnya dulu, Nak.” kata Rina.   Terlepas dari segala tingkah aneh anaknya, Rina sangatlah menyayangi anak semata wayangnya itu. Baginya Keke adalah salah satu anugerah yang selalu menjadi prioritas di dalam keluarga kecilnya, selain suaminya.   “Nanti saja, Ma. Nanti aku minum sendiri.” kata Keke.   Belum sempat Rina mengatakan sesuatu, tiba-tiba dari bawah, Adi memanggil Rina, “Ma!” seru Adi.   Keke tersenyum dalam hati, tanpa sadar Papanya menyelamatkan kebohongannya.   “Mama ke bawah saja, Ma. Aku akan meminumnya dan istirahat.” kataku.   “Tunggu sebentar, Pa!” sahut Rina. “Baiklah, kamu minum obatnya ya, lalu istirahat. Mama ke bawah ya?” kata Rina.   Keke mengangguk. Rina mencium kening Keke yang masih berlapis syal lalu keluar kamar. Setelah memastikan Rina sudah jauh, Keke langsung bangkit, menutup pintu, dan langsung mengunci pintu.   “Untung Mama langsung keluar.” kata Keke pada dirinya sendiri. Dia mengelus dadanya lega. Lalu berjalan menuju meja belajarnya. Meski tdak lagi sekolah ataupun kuliah namun Keke sangat suka mempelajari sesuatu, jadi meja itu meski dia sudah tidak menyandang predikat siswa/mahasiswa tetaplah bernama meja belajar.   Keke duduk di kursi lalu mengambil smartphone-nya lalu mulai mencari trik menaklukkan laki-laki yang kemarin baru di lakukan secara amatir. Kali ini dia merasa tidak akan ada lagi yang bisa mengganggunya.   Keke menyiapkan pulpen dan buku untuk mencatat.   “Aku akan mencatat semua trik yang valid berdasarkan data!” serunya pada diri sendiri. “Semangat Keke!” serunya menyemangati dirinya sendiri.   Diapun mengambil pulpen dan mencatat trik-trik yang akan dia gunakan untuk mendekati Danu. Catatan itu berisi hal-hal berikut:   10 Cara Menaklukkan Hati Kak Danu 1.     Tersenyum Anggun 2.     Menghilang beberapa hari 3.     Memakai pakaian sexy 4.     Cari tahu hobbinya 5.     Memberikan perhatian 6.     Memulai percakapan 7.     Ceria 8.     Hargai saat dia cerita 9.     Selalu menyapa 10.  Sering menyentuh.   “Selesai!” seru Keke.   Keke pun menempelkan tulisan itu di dinding meja belajarnya. Poin nomor satu dan dua ia coret karena dia merasa sudah melakukannya. Setelah dia menulis itu. Diapun kembali merebahkan tubuhnya. Dia memandang langit-langit sambil tersenyum. Di kepalanya bayangan dia dan Danu yang bersama semakin jelas.   ***   Keesokkan harinya Keke memaksakan masuk kantor karena dia tidak tahan bila tidak bertemu Danu barang sehari. Padahal, di catatan 10 Cara Menaklukkan Hati Kak Danu, dia harus menghilang selama beberapa hari. Namun, karena Keke tidak kuat lagi jadi dia memutuskan untuk kembali ke kantor.  Bagi Keke sehari tidak masuk kantor seperti sudah berabad-abad.   “Pakai baju sexy!” seru Keke dalam hati.   Kekepun langsung mencari baju terseksi yang pernah dia miliki. Pilihannya pun langsung jatuh pada dres hitam yang ketat, memperlihatkan lekuk tubuhnya, dan leluasa mengeksplor leher hingga ke atas d**a Keke.   “Mama pasti tidak membolehkanku menggunakan pakaian seperti ini.” gumamnya di depan kaca setelah memakai dres hitam pendek tersebut.   “Blazer!” pekiknya.   Diapun mencari blazer berwarna putih.   “Sempurna!” seru Keke.   Kini Keke mulai memoles wajahnya dan memakai lipstick ‘mahal’ yang pernah dia pamerkan pada Zahra beberapa hari yang lalu. Setelah puas merias diri, dia mengambil secarik kertas tips pedekate-nya lalu memasukkannya ke dalam kantong blazer.   Setelah mengambil kertas tersebut, Keke pun langsung mengambil tas kecilnya dan turun ke bawah untuk sarapan. Selesai sarapan, seperti biasanya Keke menumpang Papanya untuk pergi ke kantor. Saat berjalan menuju mobil, tiba-tiba Papa Keke memperhatikan rok yang dipakai anaknya.   “Keke! Ganti rok kamu!” seru Adi.   “Pa, aku sudah telat. Ayolah, tidak ada rok lagi.” kata Keke, berbohong.   “Ganti atau Papa tidak izinkan kamu ke kantor!” seru Adi.   “Iya, Nak. Ganti saja rokmu ya. Itu terlalu pendek, Nak.” kata Rina.   Melihat tidak ada kelonggaran dari kedua orang tuanya. Keke pun berjalan menuju kamarnya dengan wajah dongkol. Dia pun kembali ke lemari. Setelah memikirkan cara agar dia tetap memakai dres ketat itu, diapun mengambil rok hitam yang bisada dipakainya lalu mendobelnya.   Setelah puas, diapun kembali lagi menghampiri Sang Ayah.   “Sudah, Pa.” kata Keke. Dalam hati dia terus berdoa agar tidak lagi dikomentari Sang Ayah.   “Nah, seperti itukan sopan. Ayo, kita berangkat, kamu cepat masuk ke dalam mobil!” seru Adi. Meski menyuruh Keke untuk masuk ke dalam mobil, dia menghampiri istrinya berniat untuk berpamitan.   Keke mencium pipi Rina, “Aku berangkat dulu, Ma.” kata Keke berpamitan.   “Hati-hati di jalan!” seru Rina pada anaknya.   “Papa berangkat ya, Ma.” kata Adi pada Rina lalu mengecup kening Rina singkat.   Dalam mobil, Keke memperhatikan orang tuanya, dalam hati dia sangat senang melihat pemandangan tersebut. Kedua orang tuanya memang sangatlah romantis, jadi tidak jarang Keke atau siapapun yang melihat merasakan ingin memiliki pasangan seperti itu.   Mobilpun melaju. Adi menurunkan Keke di depan Kantor Penerbit Nara.  “Dah, Papa!” seru Keke setelah mencium pipi Adi, ayah yang sangat disayanginya.   “Nanti pulang Papa jemput ya?” tanya Adi.   “Tidak mau, aku ingin naik busway seperti biasanya.” jawab Keke.    “Baiklah.” kata Adi.   “Hati-hati di jalan, Papa!” seru Keke.   Adi hanya membunyikan klaksonnya lalu berjalan menjauhi kantor Keke. Keke melambaikan tangan hingga mobil Adi tidak lagi terlihat.   “Aku benar-benar tidak sabar untuk bertemu Kak Danu. Aku benar-benar merindukannya. Di mana dia ya?” kata Keke.   Keke mengedarkan pandangannya dan kini matanya berbinar. Keberuntungan sedang berpihak kapadanya. Di depannya, dia melihat Danu baru saja keluar dari mobil sport hitam terbarunya.   “Kak Danu!” seru Keke. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk menyapa pujaan hatinya.   Danu sangatlah afal dengan suara itu. Dia bisa menebak kalau suara itu milik Keke, seorang yang selalu dihindarinya karena merasa terganggu dengan keberadaan Keke. Lagi pula di kantor ini hanya ada satu orang yang berani memanggilnya dengan sebutan Kakak. Hanya Keke lah yang berani melakukannya. Namun, herannya meski terganggu dengan panggilan Keke, Danu tidak pernah memprotes cara memanggil Keke. Sepertinya dia sudah sangat terbiasa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN