"Baiklah ...." Saga narik napas untuk memantapkan hati, "akan kunikahi kamu dengan sebaik-baiknya, tanpa ada kontrak," putusnya bertekad.
Nayra ternganga. "Nikah itu gak untuk main-main, Ga."
"Aku serius ingin punya anak, Nay," sahut Saga sambil meraih tangan Nayra. "Dan hanya dari kamu, aku bisa mendapatkannya."
Nayra terhenyak. "Dari sekian banyak wanita, kenapa kamu justru memilih aku?" tanya gadis itu penasaran.
"Karena aku sudah mengenal kamu dengan baik." Lagi-lagi Saga meraih tangan Nayra. Namun, gadis itu menepis. "Kamu wanita yang baik. Dan aku membutuhkan wanita yang baik untuk melahirkan penerusku."
Nayra menelisik manik hitam nan tegas itu. Mencoba mencari kebohongan pada mata itu. Nyatanya Nayra hanya melihat kesungguhan di dalamnya.
"Lalu bagaimana jika nanti cinta tumbuh di antara kita?" Mata Nayra mengerjap pelan, "aku tidak mau pernikahan kita menyakiti istrinu," lanjutnya sadar diri.
Saga membuang muka. Sungguh dia tidak pernah berpikir sejauh itu. Namun, keinginan untuk mempunyai anak sudah tidak terbendung lagi.
Tiba-tiba ponsel di dalam tas Nayra berdering. Gadis itu mengambilnya. Nama Davi terpampang di layar.
"Assalamualaikum, Mbak Nayra." Di seberang sana suara Davi terdengar bergetar seperti tengah ketakutan. "Cepat pulang tolongin kami!"
"Memang ada apa, Vi?" tanya Nayra penasaran.
"Ibu Lia datang. Kami di suruh angkat kaki sekarang juga," lapor Davi terdengar panik. "Yang mau nyewa rumah mau datang besok pagi."
"Lho ... bukannya lusa datangnya?" Nayra ikutan panik.
"Cepetan pulang, Mbak! Ini orang-orang Bu Lia lagi ngeluarin semua barang kita," rengek Davi sebelum menutup sambungan telepon.
"Ya Allah bagaimana ini?" Keluhan itu membuat air mata Nayra kembali menitik.
"Ada apa, Nay?" Saga yang melihat perubahan air muka Nayra menjadi penasaran. Apalagi gadis itu saat mendengar napas Nayra yang tersengal akibat menahan tangis.
Nayra mengusap air matanya dengan telapak tangan. "Pemilik rumah mengusir adik dan nenekku."
Saga prihatin mendengarnya. Lelaki itu mengusap lengan Nayra pelan. "Kamu tenang saja, aku akan menolong kalian."
Tanpa menunggu tanggapan dari Nayra, Saga lekas menghubungi asistennya. Lelaki itu menyuruh sang asisten memesan dua buah kamar di hotel untuk Nayra dan keluarganya.
Nayra yang amat kalut hanya bisa menurut, saat Saga membimbingnya keluar dari restoran. Di dalam mobil, gadis itu hanya membisu. Gadis itu sudah tidak bisa lagi berpikir.
Saga sendiri benar-benar iba melihat penderitaan Nayra. Di depan gerai ATM, lelaki itu menepikan mobil.
"Kamu tunggu sebentar, ya. Aku mau narik uang dulu," suruh Saga sambil membuka safety belt.
Mendapat anggukan dari Nayra, Saga gegas menuju bilik ATM. Lelaki itu menarik sejumlah uang yang cukup banyak. Setelah merasa cukup, dia kembali ke mobil.
Di dalam mobil Nayra masih bergeming. Gadis itu terus menunduk sambil memijit pelipisnya.
"Udah gak usah dipikirin, ada aku yang akan nolongin kamu, Nay," ujar Saga mulai kembali menyetir.
"Bagaimana gak dipikirin? Malam ini kami akan bermalam di mana?" sahut Nayra sendu.
Saga tersenyum tipis. "Kalian akan bermalam di hotel. Udah tenang aja," balas Saga sembari menepuk pelan pundak Nayra.
Ada rasa hangat yang menyelimuti hati Nayra ketika mendapat pertolongan dari Saga. Kini wajah kalutnya mulai berkurang. Gadis itu sudah bisa memasang senyum manis lagi.
Senyuman manis dari Nayra bagaikan suntikan bagi Saga. Pria itu menambah kecepatan laju mobilnya. Ketika mereka tiba, tampak Davi dan nenek Nayra tengah berdiri bingung di depan rumah mereka. Sementara dua anak buah Ibu Lia tampak berjaga-jaga di pintu.
"Mbak Nay!" Davi berseru senang melihat kedatangan saudara perempuannya. "Kita mau ke mana?" tanya pemuda itu sambil menenteng sebuah tas besar berisi pakaian Nayra. Sementara pakaiannya sendiri berada di tas ransel yang ia gendong.
"Mari ikut aku!" Saga yang menjawab.
Saga ikut membantu Davi mengangkut dua tas besar ke bagasi. Sedangkan Nayra membimbing neneknya memasuki mobil. Kedua wanita itu duduk di jok belakang.
"Kita mau ke mana?" tanya nenek ketika mobil mulai melaju.
"Ke hotel, Nek," balas Nayra sambil merengkuh wanita tua itu.
"Memang kamu punya uang?" tanya nenek sangsi.
"Mas Saga yang akan menanggungnya, Nek."
Mendengar namanya disebut, Saga melukis senyum lewat pantulan spion dalam mobil.
"Terima kasih banyak, Nak Saga. Kamu memang baik," ucap Nenek tulus.
"Sama-sama." Bibir Saga kembali melengkung.
Lima belas menit kemudian mereka telah tiba di sebuah hotel bintang tiga. Saga menerima dua buah kunci dari resepsionis. Dia membawa Nayra dan keluarganya ke lantai empat. Tempat di mana kamar berada.
Ternyata Saga memesan connecting room jadi walau kamar Nayra dan Davi terpisah. Namun, ada pintu penghubung di dalam kamar. Sehingga mereka tidak perlu keluar kamar jika ingin berkunjung. Saga yang pengertian juga langsung memesan makanan lewat room servis untuk nenek dan Davi.
Setelah itu dirinya mendekati Nayra yang sedang menata baju ke lemari. Lelaki itu meraih telapak tangan gadis itu. Lalu menggenggamkan sebuah amplop putih padanya.
"Apa ini, Ga?" tanya Nayra tidak paham.
"Gunakan uang itu untuk mencukupi kebutuhanmu dan mereka," jawab Saga sambil melirik Nenek dan Davi yang tengah menikmati makanan. "Aku harus pulang sekarang."
Nayra menatap amplop yang cukup tebal ini. Munafik jika dia bilang tidak memerlukannya. Namun, ia tidak terlalu banyak berhutang budi pada Saga.
"Secepatnya aku akan nyuruh asitenku untuk nyari rumah buat kalian."
"Gak usah, Ga!" Nayra menggeleng cepat, "bagaimana nanti aku membalasnya?"
Saga memegang pundak Nayra. "Tidak perlu membalasnya, cukup dengan melahirkan anak untukku."
Nayra membuang muka. Sungguh permintaan Saga terlalu beratnya untuknya. Saga memang berwajah tampan dan mapan. Namun, Nayra tidak mungkin memiliki perasaan pada pria yang telah beristri.
"Jaga diri baik-baik."
Saga menepuk pelan pundak Nayra. Dirinya lantas pamit pada Davi dan nenek.
"Andai anak muda itu belum menikah, nenek pasti senang," ujar nenek memandangi pintu kamar hotel yang sudah tertutup. Tempat Saga tadi melambai santun padanya.
"Memangnya kenapa jika Saga masih bujangan?" Nayra yang penasaran duduk menempel pada sang nenek.
"Nenek ingin punya menantu seperti dia." Nayra tercekat mendengarnya. "Dia santun dan bertanggung jawab. Carilah suami yang seperti dia, Nay," pinta nenek memeluk lengan sang cucu.
Nayra menarik napas dalam-dalam. Saatnya meminta pendapat dari nenek.
"Nenek tahu? Saga bahkan sudah beberapa kali memintaku menjadi istrinya," jujur Nayra lirih.
"Apah?" Mata tua itu agak terbeliak.
"Menurut nenek bagaimana?"
"Nayra menyukai Saga?" tanya Nenek serius.
"Saat ini belum, tapi aku gak mau mendahului takdir, Nek," balas Nayra terlihat bimbang. "Aku takut kebaikan demi kebaikan yang Saga ulurkan membuat aku luluh."
"Jika pun kamu sudah menyukai Saga tolong hapus rasa itu, Nay," titah nenek serius, "janganlah mau menjadi perusak pagar ayu rumah tangga orang. Itu gak benar."
Nasihat sungguh-sungguh dari nenek membuat Nayra mengangguk mantap.