POV Dewi
Aku bertengkar hebat dengan Alia, ia memaksaku untuk mengembalikan jas Wildan yang ia serahkan untuk membantuku menutupi pakaianku yang basah dan menerawang.
"Ini kan, jas suamiku. Jika sampai rumah, aku juga yang membersihkannya dan membereskannya!" benakku kesal yang merasa jika Alia hanya mencari gara-gara denganku.
Benar saja, Alia begitu ngotot akan jas Wildan yang aku kenakan tersebut. Ia mengatakan jika itu adalah jas tunangannya dan tidak sudi di pakai oleh wanita kotor sepertiku.
"Baiklah, akan aku kembalikan pada Wildan di rumah saja nanti," jawabku yang sudah muak mendengar ocehannya.
Sudah pasti mendengar apa yang aku katakan. Alia semakin murka. Ia marah besar dan kembali mengomel, membentakku dan mencoba menarik jas tersebut.
Dunia begitu sempit dan takdir seolah tengah mempermainkan aku. Aku berkali-kali bertemu dengan Alia tanpa sengaja. Sebuah takdir yang seakan mengutukku karena sudah merebut tunangannya. Bahwa tak akan ada hal yang bisa disembunyikan selamanya. Seolah takdir ingin terus memperlihatkan dosa yang telah aku buat padanya dan setiap pertemuan kami, selalu tidak pernah menemukan ketenangan.
"Huft.. apa dosaku begitu besar sehingga Tuhan menghukumku dengan takdir yang begitu menyesakkan.
Sejujurnya aku sedikit mengerti kenapa Alia begitu membenciku. Jika dari sudut pandangnya. Benar, bahwa aku adalah wanita yang telah merebut tunangannya dan aku menyadari fakta itu.
Aku tahu jika aku yang salah. Aku yang melangkahinya dan setuju begitu saja pada ajakan menikah Wildan. Aku hanya mengikuti keegoisan di hatiku yang tak bisa melepaskannya. Sehingga wajar baginya membenciku, hal wajar pula jika di matanya aku adalah wanita yang hina, begitu pula dengan apa yang aku lakukan, pasti semua terlihat salah dan tidak menyenangkan baginya.
Tidak akan ada wanita yang bisa bersikap normal jika dalam posisinya, semua akan merasa marah dan geram. Saat sang tunangan ternyata malah menikahi wanita lain. Aku sangat memahami sikap Alia. Aku menyadari kesalahanku. Oleh sebab itu aku memilih diam setiap kali ia menggangguku.
"Benar, aku yang salah. Sabar, Dewi.. kamu pasti tau resikonya saat memilih menikah dengan Wildan!" dalam hati aku terus menguatkan diriku. Memupuk kesabaran yang besar akan segala resiko yang memang seharusnya aku tanggung.
"Sakitnya tidak akan lama, kamu lebih sakit saat tak bisa lagi di sisi Wildan!" benakku lagi yang berusaha meyakinkan jika tidak berada di sisi orang yang dicintai lebih menyakitkan daripada di hina oleh seseorang.
Aku sangat meyakini itu, selama Wildan ada di sisiku. Aku akan bisa bertahan dengan apapun yang akan aku hadapi.
Seperti itulah aku menguatkan diriku meski terinjak berkali-kali, meski dihina terus menerus, aku selalu kembali untuk diam dan berhenti melawan. Aku menyadari seberapa besar dosa yang telah aku perbuat padanya.
Akan tetapi, kali ini aku benar-benar sudah tak sanggup menahannya lagi, saat ia sudah mulai berani bermain tangan. Ia menarik rambutku karena tidak terima dengan sikapku.
"Kamu mau pamer karena serumah dengan Wildan?"
Alia membentakku sambil menarik kasar rambutku, rasanya sanga sakit dan perih. Aku mencoba melepas genggamannya. Namun, ia menariknya semakin kuat dan aku tidak mungkin diam saja. Aku menendang kakinya. Membuatnya menjerit dan genggamannya terlepas. Tentu kali ini aku tidak mau kalah, aku membalas perbuatannya. Menjambak kembali rambutnya, menariknya sekuat tenagaku.
Aku yakin tenagaku lebih kuat darinya, aku yang biasa kerja kasar ini mana bisa dibandingkan dengan nona besar yang bahkan tak pernah memasak di dapur. Bahkan ia enggan menggenggam erat rambutku karena kukunya yang panjang dan bercat kuku indah.
"Memangnya kenapa kalau aku serumah dengan suamiku sendiri. Wildan yang melamarku, Wildan yang memintaku untuk menikah dengannya!"
Tanpa aku sadari, aku mengungkapkan isi hatiku yang selama ini sudah aku pendam. Aku mengungkapkan semuanya padanya. Kekesalan luar biasa yang membuatku terus merasa hina dan berdosa padanya.
"Aku yang mengenalnya lebih dulu! Aku yang mencintainya lebih dulu. Tak peduli kamu yang bertunangan dengannya terlebih dahulu fakta jika dia sekarang suamiku juga tidak akan berubah!"
Untuk pertama kalinya aku membentaknya. Membentak wanita itu, karena geram. Aku mengenal Wildan sejak 13 tahun yang lalu dan aku baru mendengar nama Alia sejak 6 bulan yang lalu. Saat Wildan sendiri yang mengatakan jika Alia hanyalah anak dari rekan bisnis sang ayah.
Kasihan dengan nona manis bak putri tersebut yang kini meringgis kesakitan, aku pun melepaskan genggamanku. Aku pikir itu sudah cukup untuk memberikannya pelajaran. Untuk membuatnya jera dan tak lagi melawan.
"Aku benar-benar muak dengan cap yang kamu berikan! Hentikan saja sampai di sini. Hentikan semuanya. Tidak hanya kamu, aku juga sudah lelah!" ucapku pada Alia yang berdiri tegak di hadapanku.
"Tetap saja dia itu tunanganku. Semua orang tahu jika dia adalah milikku, aku juga punya hak atas dirinya!" Alia semakin geram. Ia mengepal tangannya seolah akan memukulku dan itu semakin memicu amarahku.
"Memangnya kenapa? Dia itu juga suamiku!" sentakku yang juga geram akan sikapnya.
"Siapa yang lebih berhak atas dirinya, aku yang adalah istrinya atau kamu?" tanyaku sambil berbisik pada Alia.
Dari mata Alia, terpancar jelas sebut amarah yang sudah mencapai puncaknya dan ia melayangkan sebuah pukulan ke wajahku. Menamparku dengan keras.
"Hei hentikan!" terdengar suara Wildan yang mencoba menghentikan kami.
Aku menatap ke arahnya, namun pandangan matanya terus tertuju pada Alia, padahal saat itu aku lah yang telah di tampar keras olehnya. Tapi, Wildan sama sekali tak melihat ke arahku.
Hatiku sesak, aku pun mulai berpikir ulang. Memikirkan segala keputusan yang telah aku ambil selama ini. Tentang apa yang Wildan rasakan untukku. Tentang perasaannya yang mencintaiku atau tidak.
Pikiranku terus melayang, mencoba mengingat segalanya dan mencari letak kesalahan yang telah terjadi. Hingga aku mendengar Wildan berteriak sangat keras.
"Tidaaaaakk!!!"
Seiring dengan teriakan Wildan, sebuah cahaya menyilaukan membutakan mataku, tubuhku terasa dihantam sesuatu, tubuhku terpental dan kepalaku terbentur. Aku sampai lupa apa yang disebut dengan rasa sakit, semua berlangsung begitu cepat.
Mataku gelap sejenak dan tubuhku mulai merasakan sakit yang luar biasa, aku tak bisa menggerakkan tubuhku sama sekali, aku tak bisa mengeluarkan sepatah katapun, hingga pandanganku mulai kembali pulih dan aku melihat Wildan memeluk Alia, melindunginya dari kecelakaan tersebut dengan tubuhnya.
"Oh, jadi begitu!" benakku yang kembali ingat jika sejak tadi Wildan memang terus menatap ke arah Alia. Bahkan saat aku dan Alia di penghujung nyawa dia memilih meraih tangan Alia.
"Ah, jika dia memang mencintaiku. Dia akan membatalkan pertunangannya dan semua tidak akan seperti ini."
Aku pun menemui kesimpulanku, aku menyadari jika Wildan mungkin hanya kasihan padaku. Pada sahabat yang sudah 13 tahun bersamanya, dia tidak meninggalkan aku tapi juga tidak meninggalkan wanita itu. Dia tidak pernah sekalipun mengatakan jika dia mencintaiku.
"Lalu, untuk apa kamu menikahiku?" Aku merasa jika hanya sekedar rasa kasihan tidak akan cukup sebagai alasan untuknya meminta menikah dengan ku. Aku ingin tahu apa alasannya, tapi kini aku tak butuh semua itu lagi saat melihat ia yang meraih tangan Alia dan melindunginya dari kecelakaan.
"Sungguh, sekali saja. Aku ingin dengar kamu mengatakan jika kamu mencintaiku."
Orang-orang mulai berdatangan, ramai dan penuh dengan suara teriakan. Aku tak bisa mendengar seluruhnya. Perlahan aku bahkan tak bisa mendengar apapun yang mereka ucapkan.
Tubuhku terasa semakin sakit, aku mulai sulit bernapas, kepalaku terasa sangat berat dan tiba-tiba saja tubuhku terasa kedinginan. Hingga tubuhku tiba-tiba kejang dan dengan wajah panik tim medis yang datang sibuk dengan segala peralatannya.
"Apakah seperti ini akhir dari kisah kita?" benakku yang sudah tak sanggup lagi mempertahankan kesadaranku dan seketika kegelapan menyelimutiku, terasa begitu damai dan tenang.
"Aku nyaman disini!" benakku yang semakin tenggelam dalam kegelapan tersebut.
****
Aku sungguh tak tahu seberapa lama aku tinggal dalam kegelapan yang nyaman tersebut. Hingga sebuah cahaya samar-samar terlihat.
Sebuah cahaya yang terus menyilaukan mataku dan sebuah suara yang terus menerus memanggil namaku.
"Dewi!"
"Dewi!"
Suara yang memanggilku dengan sangat lembut, suara tak asing yang juga aku rindukan.
Perlahan, mataku mulai bisa melihat dengan lebih jelas dan benar saja, suara itu berasal darinya.
"A- ....."
Aku ingin menyapanya, namun suaraku tercekat. Aku tak bisa menggerakkan mulutku.
"Syukurlah.. syukurlah!"
"Dewi!"
"Dewi, syukurlah!"
Dia terus menangis dan menggenggam tanganku dengan erat. Ia begitu bersyukur karena aku sudah sadar.
"Alen!"
Aku berhasil mengeluarkan suara dan tersenyum ke arahnya yang malah membuatnya menangis lebih keras.
"Dewi, begoooo, kamu mau beneran jadi 'dewi' di surga?"
Alen malah memarahiku dan mulai mengomel panjang lebar. Khas seperti Alen yang pernah aku kenal. Sosok yang aku kenal bahkan sebelum aku mengenal Wildan.